Soft
Diplomacy Indonesia
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 15 Januari 2009
Oleh
Azyumardi Azra
DALAM
beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia terlihat kian aktif dalam
percaturan internasional. Gejala ini berbeda dengan masa paruh pertama
dasawarsa pasca-Soeharto. Dalam masa paruh pertama itu, pemerintah Indonesia
yang silih berganti dalam waktu relatif singkat sejak dari presiden Habibie,
presiden Abdurrahman Wahid, dan presiden Megawati Soekarnoputri terlihat tidak
terlalu memberikan prioritas pada peningkatan kembali dan revitalisasi postur
Indonesia dalam kancah internasional. Keberhasilan duet kepemimpinan nasional
berikutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla,
mewujudkan perdamaian di Aceh pada 2005 memberikan leverage cukup besar bagi
Indonesia untuk kembali memainkan peranan penting dalam percaturan
internasional, khususnya dalam upaya menciptakan dunia yang lebih aman dan
damai.
Tidak
heran kalau kemudian berbagai pihak internasional, baik secara resmi maupun
tidak meminta bantuan Indonesia untuk menyelesaikan konflik yang mereka hadapi,
mulai dari konflik di Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan Srilanka. Bahkan,
Presiden Yudhoyono pernah mengundang faksi-faksi yang bertikai di Irak dan
Palestina untuk duduk bersama membicarakan perdamaian di antara mereka. Begitu
juga, Presiden Yudhoyono menawarkan mediasi ketika Thailand dan Kampuchea ribut
tentang wilayah perbatasan kedua negara yang mencakup sebuah candi tua belum
lama ini; juga pada peristiwa terakhir awal tahun ini, ketika Israel
mengerahkan kekuatan militernya menghancurkan Jalur Gaza.
Memang,
upaya-upaya mediasi itu belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Tetapi
setidaknya, dengan upaya-upaya itu Indonesia kembali berusaha memainkan peran
penting dalam percaturan internasional. Sebagai negara terbesar di kawasan Asia
Tenggara, yang pernah memainkan peran penting dalam kancah internasional, sudah
sepatutnya meninggalkan postur yang pernah saya sebut sebagai the sleeping
giant Asia Tenggara pada paruh pertama dasawarsa pasca-Soeharto.
Bersama
sejumlah program lain pada tingkat internasional yang melibatkan inisiatif
Indonesia seperti ASEM Interfaith Dialogue, ASEM Media Dialogue, dan
seterusnya, Indonesia meningkatkan peran dan posturnya dengan pendekatan soft-power
diplomacy, diplomasi melalui dialog, persuasi, pertukaran gagasan, dan
best-practices.
Soft-power
diplomacy tentu saja merupakan alternatif terbaik daripada pendekatan
hard-power yang melibatkan penggunaan ancaman, boikot, dan bahkan kekuatan militer
seperti tidak jarang kita saksikan dalam masa pasca-peristiwa 11 September 2001
di Amerika Serikat.
Sekali
lagi, Indonesia kini kembali memiliki leverage, bobot, dan postur yang cukup
disegani untuk memainkan peran lebih besar dalam kancah internasional. Salah
satu faktor lain yang memperkuat leverage Indonesia adalah keberhasilannya
dalam mengembangkan demokrasi; dan ini menjadi lebih istimewa lagi, karena
pengembangan demokrasi itu berlangsung di negara yang paling banyak penduduk
Muslimnya. Hasilnya, Indonesia dikenal tidak hanya sebagai negara Muslim
terbesar, tetapi juga sekaligus sebagai demokrasi ketiga terbesar setelah India
dan AS.
Memang,
demokrasi Indonesia masih jauh daripada sempurna; seperti juga tidak ada negara
demokrasi manapun di dunia ini yang dapat mengklaim sebagai contoh ideal
demokrasi. Demokrasi punya batas dan kelemahan tertentu; dan karena itu perlu
terus disempurnakan dan diberdayakan, sehingga bisa lebih fungsional, tidak
hanya menciptakan kondisi politik yang lebih ideal, tetapi juga dalam mendorong
percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dalam
konteks itu, Indonesia berada dalam posisi yang pas untuk mengambil inisiatif
penyelenggaraan Bali Democracy Forum (BDF) pada 10-11 Desember 2008 lalu.
Dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, BDF dihadiri PM Australia, Kevin
Rudd; Sultan Hassanal Bolkiah; PM Timor Leste, Xanana Gusmao; BDF diikuti 32
negara Asia-Pasifik dan delapan negara peninjau. Dilihat dari tingkat
partisipasi negara-negara tersebut, BDF dapat dikatakan sebagai sebuah success
story Indonesia dalam soft-diplomacy-nya.
Percakapan
tentang demokrasi dalam BDF lebih bersifat inklusif; tidak ada upaya
'menggurui' apalagi 'menekan' negara-negara yang belum demokratis untuk segera
melakukan transformasi politik menjadi demokrasi. Ini agaknya merupakan
pendekatan khas diplomasi Indonesia, yang lebih cenderung merangkul daripada
memojokkan.
Hasilnya,
negara-negara peserta BDF sepakat tentang perlunya bagi negara-negara di
kawasan Asia-Pasifik untuk terus melakukan konsolidasi demokrasi, yang harus
dikembangkan dari bumi sendiri, bukan dipaksakan kekuatan manapun dari luar.
Demokrasi bisa unik dari satu negara ke negara lain karena pertimbangan
realitas sejarah, kondisi ekonomi, sosial-budaya dan seterusnya. Tak kurang
pentingnya adalah bahwa demokrasi merupakan unsur kunci untuk kedamaian dan
stabilitas di kawasan ini. [*]
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 15 Januari 2009
Sumber:
Kamis,
15 Januari 2009 16:35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar