NU dan Negara
Islam (2)
Oleh
Abdurrahman Wahid
Ketika berada di Makasar dalam minggu
ke tiga bulan Februari 2003, penulis di wawancarai oleh TVRI di studio
kawasan
tersebut, yang di relai oleh studio-studio TVRI seluruh Indonesia Timur.
Penulis memulai wawancara itu dengan menyatakan, menyadari sepenuhnya
bahwa
masih cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara Islam (NI).
Pengaruh
almarhum Kahar Mudzakar yang dinyatakan meninggal dalam paruh kedua
tahun-tahun
50-an, ternyata masih besar. Karenanya, penulis menyatakan dalam
wawancara
tersebut, pembicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan tentang NI
seperti
Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan, bahwa ia menganggap tidak ada
kewajiban mendirikan NI, tapi ia juga tidak memusuhi orang-orang yang
berpikiran seperti itu.
Dalam dialog interaktif tang terjadi
setelah itu, penulis dihujani pertanyaan demi pertanyaan tentang hal
itu.
Bahkan ada yang menyatakan, penulis adalah diktator karena tidak
menyetujui
pemikiran adanya NI. Penulis menjawab, bahwa saya menganggap boleh saja
menganut paham itu, dan berbicara terbuka di muka umum tentang gagasan
tersebut, itu sudah berarti saya bukan diktator. Salah satu tanda
kediktaktoran
adalah tidak adanya dialog dan orang menerima saja sebuah gagasan dan
tidak
boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka. Dari dialog interaktif
itu
dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus dipikirkan, seperti
pengaruh dari
berbagai kawasan dunia Islam yang juga di dasarkan pada kadar
pengetahuan agama
yang rendah.
Rendahnya pengetahuan agama yang
dimiliki itu, digabungkan dengan rasa kekhawatiran sangat besar melihat
tantangan modernisasi terhadap lembaga/institusi ke-Islam-an, membuat
mereka
melihat bahaya di mana-mana terhadap Islam. Proses pemahaman keadaan
seperti
itu, yang terlalu ditekankan pada aspek kelembagaan/institusional Islam
belaka,
dapat dinamakan sebagai proses pendangkalan agama kalangan kaum
muslimin.
Pihak-pihak lain yang non-Muslim juga mengalami pendangkalan seperti
itu, dan
juga memberikan responsi yang salah terhadap tantangan keadaan. Kalau
kita
melihat pada budaya/ kultur kaum muslimin dimana-mana, sebenarnya
kekhawatiran
demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan mereka. Cara
hidup,
membaca Al-Qur'an dan Hadist, main rebana, tahlil, berbagai bentuk "seni
Islam" dan lain-lainnya, justru mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang
besar, dalam diri kaum Muslimin.
Salah sebuah pertanyaan dalam dialog
interaktif itu adalah kutipan Al-Qur'an "Barang siapa tidak (ber)
pendapat
hukum dengan apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir "
(Wa Man lam Yahkum Bima Anzala Allah Fa-hula Ika Hum al-Kafirun).
Lalu
bagaimana mungkin kita menjalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawabnya,
karena ada
masyarakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita agar
melaksanakan
hukum Allah, maka negara dapat saja ditinggalkan. Untuk memelihara
prularitas
bangsa, tidak ada kewajiban mendirikan NI atau menentang mereka yang
menentang
adanya gagasan mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenarnya
jadi
pandangan Islam dalam soal wajib adanya gagasan mendirikan NI.
Netralitas ini sangat penting untuk di
junjung tinggi, karena hanya dengan demikian sebuah negara kesatuan
Republik
Indonesia dapat didirikan. Dengan gagasan mendirikan NI, maka pihak
minoritas
-baik minoritas agama maupun minoritas lain-lainnya-, tidak mau berada
dalam sebuah negara dan menjadi bagian dari negara tersebut. Dengan
demikian,
yang dinamakan Republik Indonesia tidak dapat diwujudkan, karena
ketidaksediaan
tersebut. Akhirnya, Indonesia akan tidak terwujud sebagai kesatuan,
karena ada
negara Aceh, negara bagian Timur dan Selatan dari Sumatra Utara, negara
Sumatra
Barat, Jambi. Bengkulu., Sumatra Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa,
NTB,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan sebagian Maluku yang lain-lainnya,
berada
di luar susunan kenegaraan, karena berdasarkan agama seperti itu.
Karenanya, keputusan para wakil
berbagai organisasi Islam dalam panitia persiapan kemerdekaan Indonesia
untuk
menghilangkan Piagam Jakarta dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
pada
tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebuah sikap yang sangat bijaksana dan
harus di
pertahankan. Keputusan itu diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad,
yang
dikeluarkan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang
sangat
mendasar: pernyataan bahwa mempertahankan wilayah Republik Indonesia
adalah
kewajiban agama bagi kaum Muslimin. Dengan rangkaian kegiatan seperti
itu,
termasuk mendirikan Markas Besar Oelama Jawa -Timoer (MBODT) di Surabaya
dalam
bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari kegiatan bermacam-macam
untuk
mempertahankan Republik Indonesia, yang notabene bukanlah sebuah NI.
Diteruskan
dengan perang gerilya melawan tentara kependudukan Belanda di
tahun-tahun
berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan pesantren-pesantren yang
mereka
pimpin, selamatlah negara kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar
negeri,
hingga tercapainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 - 1950.
*****
Perkembangan sejarah setelah itu
menunjukakan bahwa agama Islam tidak berkurang peranannya dalam
kehidupan
bangsa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan Republik
Indonesia
(NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam Dewan Konstituante di tahun
1956-1959. Demikian juga beberapa kali pemberontakan bersenjatan
terhadap NKRI
dapat digagalkan seperti DI-TII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak
berarti
Islam dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kiprah
yang
dilakukan oleh Al-Azhar di Kairo.
Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa
Indonesia adalah memiliki jumlah terbesar kaum Muslimin. Ini berbeda
dari
bangsa-bangsa lain, Indonesia justru memiliki jumlah yang sangat besar
kaum
"Muslimin statistik" atau lebih di kenal dengan sebutan "Muslim
abangan". Walaupun demikian, kaum muslim yang taat beragama dengan nama
"kaum santri" masih merupakan minoritas. Karena itu, alangkah tidak
bijaksananya sikap ingin memaksakan NI atas diri mereka.
Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci
Al-Qur'an yang di sebutkan diatas? Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk
menegakkan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Dalam hal
ini,
berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah berjalan 1000 tahun
lamanya
yaitu penafsiran ulang (re-interprensi) atas hukum agama yang ada.
Dahulu kita
berkeberatan terhadap celana dan dasi, karena itu adalah pakaian
orang-orang
non-Muslim. Sebuah diktum mengemukakan, "Barang siapa menyerupai sesuatu
kaum ia adalah sebagian dari mereka" (Man sabaha bi Qoimin fahuwa min
Hum). Tetapi sekarang, tidak ada lagi persoalan tentang hal itu karena
esensi
Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak
yang
dilaksanakan.
Karena itu, kita lalu mengerti mengapa
para wakil berbagai gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia
(PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari UUD 1945.
Mereka
inilah yang berpandangan jauh, dapat melihat bersungguhnya kaum Muslim
menegakkan ajaran-ajaran agama mereka tanpa bersandar kepada negara.
Dengan
demikian, mereka menghidupi baik agama maupun negara. Sikap inilah yang
secara
gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga agama Islam terus
berkembang
dan hidup di negeri kita. Ini adalah sebuah disiplin intern yang patut
di
kagumi, mudah kedengarannya tetapi sulit dilaksanakan bukan? []
Jakarta, 24 Maret
2003
Sumber:
Kamis,
05 Mei 2011 10:58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar