Megawati dan KLB
PDI
Oleh
Abdurrahman Wahid
KONGGRES Luar Biasa (KLB) Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) berakhir tanpa hasil yang diharapkan. Forum
tertinggi
partai berlambang kepala banteng itu secara praktisnya berakhir dengan
kegagalan dan orang tetap tidak tahu bagaimana kemelut PDI akan
diselesaikan.
Masalahnya sebenarnya sederhana saja.
Satu pihak menginginkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI yang baru harus
disusun
melalui pilihan langsung oleh para delegasi KLB. Pihak yang lain menolak
cara
itu dan berkeras harus dilakukan melalui proses pembentukan tim
formatur.
Mengapakah tidak dapat pertemukan antara keduanya? Jawabnya sederhana,
yaitu
faktor kepentingan.
Mereka yang menghendaki pemilihan
langsung berkeras untuk memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua
Umum DPP
PDI periode yang akan datang plus personalia lainnya harus dipilih.
Dengan kata
lain, kekuatan berupa dukungan para delegasi KLB digunakan untuk lebih
dari hanya mencalonkan 'banteng betina' itu sebagai ketua umum saja,
melainkan juga untuk melakukan pembersihan dan pemurnian pimpinan PDI di
tingkat pusat. Pembersihan dari para politisi konvensional yang dinilai
sudah
terlalu opportunistik dan korup. Dimurnikan dari penyimpangan dari
cita-cita
perjuangan.
Sebaliknya, mereka yang menghendaki
sistem formatur menganggap tradisi tersusunnya DPP yang menyuarakan
kepentingan
semua pihak yang ada dalam partai itu harus dijaga tetap berkelanjutan.
PDI adalah perwakilan rakyat
dalam lembaga politik di luar lembaga negara, karenanya pendukung PDI
datang
dari semua golongan itu berarti personalia DPP PDI harus mencerminkan
bagian-bagian penting dari golongan penduduk pendukungnya. Tanpa hal itu
dikhawatirkan dukungan kepada PDI akan merosot.
Demikian pula para politisi konvensional menganggap perlu dipertahankan
keikutsertaan tokoh-tokoh berpengalaman dari lingkungan mereka dalam
personalia
DPP yang baru. Dan hanya dengan sistem formaturlah hal itu akan
terlaksana.
***
SEMULA tampaknya para pendukung
Megawati sudah jelas akan memenangkan 'adu kemauan' (contest of will)
tersebut.
Melalui suasana persidangan yang panas, mereka akhirnya berhasil
melaksanakan
sistem pemilihan langsung dipertimbangkan oleh komisi organisasi dalam
Komisi
Organisasi. Namun, mereka tidak melaksanakan agar pimpinan sidang berada
di
tangan mereka yang dipilih oleh delegasi. Dengan demikian pimpinan
sidang
dipegang para tokoh Caretaker atau DPP peralihan.
Kelalaian dalam suasana mabuk kemenangan
itu akhirnya harus dibayar mahal. Pimpinan sidang komisi dan para
delegasi yang
bersikeras menolak sistem pemilihan langsung tetap tidak mau mengalah
sampai
saat ini berakhirnya batas waktu izin KLB keputusan belum diperoleh,
mana di
antara kedua cara itu yang akan dilaksanakan.
Karena polisi berpegang pada legalitas
formal berakhirnya waktu izin berkongres, dengan sendirinya KLB lalu
dibubarkan
tanpa ada keputusan mengenai siapa yang akan memimpin PDI selanjutnya.
Orang boleh saja menganggap KLB dirusak
dan digagalkan hanya oleh segelintir orang dari DPP Peralihan dan
sementara
delegasi. Memang demikian kenyataannya karena lebih 80 persen delegasi
menginginkan Megawati dipilih untuk menjadi ketua umum. Orang bisa saja
menganggap pemerintah berkolusi dengan mereka untuk menggagalkan KLB,
delegasi
yang berkeras menginginkan sistem formatur itu adalah 'selundupan'dari
luar
alias bukan pengurus PDI yang sebenarnya, karena itu pula KLB itu dari
awal
sudah diejek sebagai 'konggres sospol'.
Apa pun argumentasi orang, dalam
kenyataannya Megawati tidak jadi terpilih sebagai formatur, betapa
kuatnya
sekalipun dukungan yang ia peroleh dari bawah. Ini berarti kegagalan
'arus
bawah' dari partai politik yang mewakili sekitar seperdelapan penduduk
negeri
ini untuk mengatasi 'hadangan dari atas'. Efektivitas 'arus bawah' dalam
percaturan politik kita ternyata masih belum dapat menandingi 'pola
pembinaan'
yang diterapkan oleh aparat pemerintah atas gerakan kemasyarakatan.
***
BAGAIMANAKAH ini harus dibaca? Jawabnya
ditemukan secara obyektif dalam perspektif dua sudut pandangan. Yaitu
sudut
pandangan pihak Megawati dan sudut pandangan para pesaingnya, yang
bagaimanapun
juga telah diuntungkan oleh sikap pemerintah dan campur tangannya dalam
urusan
intern PDI.
Dari sudut pandangan pihak pemerintah
ini secara obyektif haruslah dikembangkan sikap untuk mengakomodasikan
kenyataan faktual akan dukungan besar warga masyarakat kepada putri Bung
Karno
itu. Artinya, tidak hanya sekedar menerima dia sebagai ketua umum,
melainkan memberikan
porsi dan tempat yang layak kepada para pendukungnya.
Tanpa hal itu dalam praktek pemerintah
telah mengingkari konstitusi PDI dan mencoreng muka Demokrasi Pancasila
sendiri. Karena, bagaimanapun juga Mega tidak akan memimpin sendirian
saja
tanpa ada orang-orang yang dipercayainya. Kalau Harmoko boleh menjadi
ketua
umum DPP Golkar dengan pasangan yang diseganinya sebagai sekjen,
seharusnya
Megawati-pun harus memperoleh hak yang sama.
Kejujuran sikap politik inilah yang
justru ditunggu oleh masyarakat, sebagai substansi yang riil dan konkret
dari
klaim pemerintah bahwa Demokrasi Pancasila telah berkembang di negeri
ini.
Sebaliknya tentu ada tuntutan agar
Megawati-pun harus melakukan kompromi dengan menerima kehadiran sebagian
pesaing-pesaingnya dalam susunan DPP yang baru.
Kompromi seperti ini memang tampaknya
sudah menjadi ciri khas 'tradisi politik' Orde Baru sejauh ini. Namun,
itu
berarti sikap memberikan toleransi kepada oportunisme dan
praktek-praktek
politik kotor untuk tetap berkembang di lingkungan PDI. Masihkah
Megawati dapat
menerima tanggung jawab memimpin PDI dengan memberikan toleransi seperti
itu?
Bukankah ia hanya akan tampak mengejar posisi ketua umum saja tanpa
melakukan
perubahan berarti dalam pola yang ada selama ini?
Kalau Megawati memang lebih
mementingkan prinsip dan menolak kompromi dengan sendirinya akan timbul
masalah
baru. Patutkah para pesaingnya yang sudah bercitra politik demikian
buruk
diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk memimpin PDI? Ataukah justeru
bukan
lalu dicarikan 'orang ketiga' yang disetujui kedua belah pihak yang
nantinya
bertugas lebih banyak mematangkan tradisi politik PDI yang bersih tetapi
tetap
menampung aspirasi yang beragam dari para pendukungnya? Orang pernah
menyebut
nama mantan mendagri Rudini dalam hal ini.
Namun untuk mewujudkan gagasan ini
harus dipenuhi dua syarat: benarkah dia dapat diterima kedua belah pihak
PDI
itu, dan bagaimana proses ke arah itu harus dimulai? []
*)
Tulisan ini dimuat di Harian KOMPAS Jumat, 10-12-1993. Halaman: 1
Sumber:
http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=53/hl=id/Megawati_Dan_KLB_PDI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar