Saya Juga Keturunan Lembu
Peteng
Oleh
Abdurrahmam Wahid
Secara umum diterima
"kebenaran", Ken Arok merebut keraton Singasari dari tangan Tunggl
Ametung, orang yang mengawini ibunya-dan berimplikasi membunuh ayahnya.
Beberapa tahun yang lalu muncul versi lain. Ternyata Ken Arok tidak
membunuh
pembunuh ayahnya, melainkan membunuh ayahnya sendiri. Siapa sang ayah?
Tidak
lain Tunggul Ametung.
Lalu apa motif pembunuhan? Karena Ken
Arok anak kandung di luar pernikahan resmi keraton, alias anak dari
garwa
selir.
Tetapi, bahkan, harus diragukan,
benar-benarkah ia melakukan pembunuhan. Mungkin, ceritanya hanya
simbolik saja.
Seorang anak yang bukan putera mahkota memaksakan diri menjadi raja. Kan
sama
dengan membunuh ayahnya.
Jika benar pula versi baru itu, berarti
Ken Arok termasuk barisan sejumlah pangeran yang memiliki status
tersendiri,
yakni lembu peteng, anak yang tidak diakui sah sebagai pewaris tahta,
tidak
termasuk dalam daftar suksesi keraton.
Dan "lembaga" lembu peteng
memang memiliki banyak keunikan, meski sepintas lalu tampak sepele.
Pertama, ia
memberikan status kekeratonan kepada seseorang tanpa memberikan
kedudukan
formal yang jelas dan pasti. Kedua, ia membawakan implikasi adanya
tempat bagi
"elite tandingan" di keraton yang masih berada dalam sistem kekuasaan
tanpa menjadi bagian mekanisme kerjanya. Ketiga, ia menyediakan jenjang
yang
sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mengajukan klaim atas tahta, jika
keadaan
menjadi sangat kritis dan diperlukan kepemimpinan yang dapat
menyelesaikan
kemelut. Yang terakhir ini hampir sama fungsinya dengan doktrin
dwifungsi ABRI.
Tidak heran jika "lembaga"
lembu peteng lalu bernilai tinggi di bursa kepangeranan keraton Jawa
masa
lampau. Banyak raden dari berbagai tingkatan mengaku keturunan lembu
peteng
anu. Bahkan, kalangan luar ningrat cukup berminat- seperti silsilah kiai
Pondok
Tebuireng yang berujung pada lembu peteng Keraton Majapahit, seorang
anak selir
Prabu Brawijaya, entah yang keberapa. Keturunan kiai Tebuireng yang
tidak
bangga anaknya menjadi mahasiswa Universitas Brawijaya di Malang itu
ternyata
cukup berdebar-debar meluruskan garis silsilah ke Majapahit, kini
Mojokerto.
Mahluk Aneh
Kenyataannya, faktor keturunan, atau
tedak, di kalangan pesantren memberikan legitimasi bagi klaim
kepemimpinan
masyarakat di luar kepemimpinan resmi yang jumeneng di takhta kerajaan.
Untuk
memperoleh kedudukan menjadi pemimpin di luar pemerintahan dalam budaya
masyarakat
Jawa, masih diperlukan pengesahan dan penerimaan oleh pihak yang
berkuasa.
Zaman sekarang menggunakan SK dan "jasa-jasa baik pemerintah". Dahulu
menggunakan lembu peteng.
Dapat ditarik kemudian dari sejarah
lama kita, seperti yang terjadi di keraton-keraton Jawa, pentingnya
memperoleh
legitimasi pemerintah dalam segala hal. Kekuasaan raja (Jawa: ratu)
begitu
mutlak, hingga tidak ada yang tidak terjangkau. Semua penjuru kerajaan
yang
masih masuk negara maupun mancanegara adalah wilayah yang sama mutlak
dikuasainya. Tidak ada kegiatan bermasyarakat yang secara teoritis dapat
dilakukan tanpa pengetahuan dan persetujuannya.
Karenanya, dapat dimengerti betapa
risaunya para pejabat Republik yang masih bermental keraton kalau
mendengar
istilah oposisi. Mahluk aneh ini memang tidak ada dalam kamus keraton
Jawa.
Bagaimana mungkin orang menentang raja dan dibiarkan hidup? Apalagi hal
itu
dilakukan dengan tidak mempedulikan asal-usul dirinya sendiri, apakah
memperoleh perkenan sang nata atau tidak. Tidak membutuhkan legitimasi
bagi
kehadiran sendiri, dari penguasa yang oleh Yang Merbehing Dumadi sudah
dititahkan menjadi prabu.
Dari orang yang begitu rendah
kepribadiannya, hingga berani tidak meminta hak hidup dari sang
junjungan,
bagaimana dapat diharapkan kesetiaan yang tidak tergoyahkan kepada
negara?
Negara adalah raja. Tidak memerlukan yang satu berarti menolak yang
lain.
Bukankah akan rusak tatanan negara karena itu? Dan kalau tatanan negara
rusak,
bukankah tatanan hidup semesta juga berantakan? Memang terlalu. Dalam
struktur
kehidupan yang sudah begitu harmonis, masih ada yang kurang ajar.
Perbedaan pendapat akan diayomi selama
tidak berarti robohnya tatanan. Pertentangan pikiran diperkenankan
selama masih
dalam kerangka kekuasaan yang sudah tegak. Permusuhan boleh dilakukan
selama
tidak ditujukan kepada sang nata. Ini saja kondisinya, lain tidak.
Lembu peteng boleh saja menyusun
kekuatan diam-diam dan suatu kali merebut pemerintahan dari tangan
ayahnya atau
saudara-saudara. Itu pantas karena pelaku utamanya juga orang keraton.
Kalau
kalah, kepala dipancung. Kalau menang akan memerintah.
Karenanya, kalau pihak yang tidak
setuju dengan pemerintah dalam beberapa hal melakukan koreksi dan
menuntut
penghapusan suatu kebijaksanaan, syaratnya hanya tidak dalam konteks
menjadi
alternatif pemerintah. Melainkan secara yuridis-formal merupakan pihak
yang
dilindungi pemerintah. Karenanya pula siap-siaplah Anda yang masih
bermimpin
menjadi oposisi. Kalau didatangi petugas keamanan, hendaknya dapat
berucap:
saya juga keturunan Lembu peteng! []
Jakarta 11 Juli 1983
Sumber:
Senin,
02 September 2002 00:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar