The
Case for God
Oleh
Azyumardi Azra
Buku
ini adalah karya menarik dan sangat bermanfaat sebagai bacaan, khususnya pada
Ramadhan yang merupakan bulan 'tadarus', saling belajar dalam rangka meningkatkan
pengamalan dan pengalaman keagamaan kita. Inilah karya terbaru Karen Arsmtrong,
yang beberapa karyanya lebih awal telah tersedia dalam bahasa Indonesia. Judul
lengkapnya, The Case for God: What Religion Really Means (London: The
Bodley Head, 2009); secara bebas artinya 'Membela Tuhan: Apa Sesungguhnya Arti
Agama'.
Bagi
saya, karya-karya Karen Arsmtrong, mantan biarawati, senantiasa menarik; dan
beberapa kali saya bersama dia dalam panel yang membahas agama dalam kaitannya
dengan isu-isu kontemporer. Saya juga sama-sama menjadi anggota Council on
Faith, World Economic Forum, Davos, yang mengkaji berbagai perkembangan dunia
seperti kekerasan yang berwarna agama, dan bahkan krisis finansial global dalam
hubungannya dengan agama-agama dunia; peran apa yang bisa dimainkan agama dalam
turut meringankan beban dan masalah yang dihadapi dan dialami umat manusia
dewasa ini.
Berbeda
dengan karya-karyanya terdahulu, Armstrong dalam Case for God tampil
lebih tegas membela agama, yang di masa kita sekarang mendapat serangan
bertubi-tubi dari beberapa pemikir ateisme semacam Richard Dawkins, Christopher
Hitchens, dan Sam Harris, yang pernah juga saya ulas dalam Resonansi,
beberapa waktu lalu. Ateisme mereka ini merupakan perlawanan terhadap citra
Tuhan seperti dipersepsikan dan diperjuangkan mati-matian oleh kaum
fundamentalis Kristen Protestan; kerangka fundamentalisme kemudian juga
diterapkan pada kelompok-kelompok fundamentalis agama lain, termasuk Islam.
Bagi
Armstrong, pemahaman keagamaan di masa modern sudah sangat 'terrasionalisasi',
sehingga apa pun doktrin dan praktik keagamaan yang tidak rasional mestilah
ditolak. Tetapi ironisnya, dalam refleksi saya, sikap seperti ini justru
melahirkan pandangan dan persepsi yang tidak logis tentang agama. Dan, dalam
pandangan Armstrong, penafsiran keagamaan yang telah 'dirasionalisasikan'
memunculkan dua fenomena modern yang cukup distingtif; fundamentalisme dan
ateisme.
Fundamentalisme
agama pada awalnya bersumber daripada kesalehan defensif, yang semula berkembang
di kalangan kaum Kristen Protestan Amerika, yang pada waktu yang tidak terlalu
lama juga menggejala terhadap agama-agama. Seperti diungkap Armstrong, kaum
Protestan fundamentalis berkeinginan menghasilkan pemahaman keagamaan yang
saintifik dan sepenuhnya rasional; karena itu mereka menghapuskan mitos
keagamaan demi logos. Hasilnya adalah pemahaman yang sangat literal
terhadap kitab suci, yang pada gilirannya memunculkan 'ideologi' keagamaan yang
dikenal sebagai creation science yang meyakini Bible akurat secara
saintifik.
Pada
pihak lain, ateisme klasik Barat yang berkembang sepanjang abad 19 dan awal
abad 20 lewat pemikiran Feuerbach, Marx, Nietzsche, dan Freud pada hakikatnya
merupakan respons terhadap pandangan-pandangan teologis tertentu terhadap
Tuhan. Dengan demikian, pada dasarnya mereka tidak menolak Tuhan itu sendiri;
tetapi mereka memiliki persepsi sendiri yang berbeda jauh dengan kerangka
teologis yang dominan. Jelas, ateisme tidaklah monolitik; bahkan dalam
perkembangannya, ateisme kontemporer menampilkan diri sebagai reaksi terhadap
meningkatnya persepsi teologis fundamentalis tentang Tuhan.
Apakah
pemahaman dan penafsiran agama harus selalu rasional? Hemat saya, dalam batas
tertentu boleh jadi sangat perlu, sebab jika tidak, orang-orang beriman dapat
terjerembab ke dalam mitologi berlebihan. Dan, bahkan lebih parah lagi, boleh
jadi pemahaman dan praktik agama lebih bersumber pada mitos dan tradisi yang
kemudian dipersepsikan sebagai pemahaman dan praktik paling benar tentang
agama.
Pandangan
Armstrong tentang agama dan rasionalitas ini menarik untuk disimak. Bagi dia,
agaknya kita berbicara terlalu banyak tentang Tuhan; dan dalam masyarakat
demokratis sekarang ini, banyak orang beranggapan, konsep tentang Tuhan
pastilah mudah dipahami. Orang-orang beriman mengetahui bahwa Tuhan adalah
Mahatinggi, tetapi kadang-kadang di antara mereka menampilkan diri sebagai
orang yang paling tahu persis tentang Tuhan. Hemat saya, hal inilah yang
membuat orang-orang seperti ini dengan mudah mengecam, memusuhi, dan bahkan
menghalalkan darah orang-orang beriman lain yang memiliki pemahaman yang
sedikit berbeda tentang Tuhan.
Karena
itulah bagi Armstrong, Tuhan dan agama bukanlah sesuatu yang harus selalu
dipikirkan dan dirasionalisasikan; agama semestinya merupakan sesuatu yang
mesti selalu dikerjakan. Kebenaran agama tidak selalu bisa diperoleh melalui
rasio, tetapi lebih-lebih lagi melalui pengalaman dan amal saleh. Dengan
demikian, agama adalah disiplin praktis yang mengajak kita untuk menemukan
kapasitas-kapasitas baru hati dan kalbu. Tulis Armstrong: you will discover
their truth if you translate these doctrines into ritual or ethical action
religion requires perseverance, hard work and discipline. [*]
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 3 September 2009
Sumber:
Kamis,
03 September 2009 14:31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar