Di tahun 2020,
dunia baru akan lahir. Kekhalifahan Islam akan menang, dan “umat manusia sekali
lagi akan dituntun ke pantai rasa aman dan oasis kebahagiaan…”.
Waktu itu
berakhirlah “konfrontasi total” antara kaum.”mukminin” dan “orang kafir” yang
berlangsung di seluruh dunia – dan tahap ketujuh dalam rencana besar Al Qaidah
akan terpenuhi.
Jika benar
seperti yang diuraikan Fouad Hussein dalam buku yang versi Inggrisnya disebut Al-Zarqawi:
The Second Generation of Al Qaida, rencana Al Qaidah untuk menang itu –
yang terdiri dari tujuh tahap – sudah mulai tampak sekarang. Tahun 2006
termasuk “tahap kedua”, ketika Iraq jadi tempat Al Qaidah menemukan tenaga baru
dari anak-anak muda yang ingin menyerang Amerika – musuh yang angkuh dan bodoh
yang masuk ke dalam perangkap yang dibuatnya sendiri..
Tapi sebelum saya
lanjutkan cerita ini, baiklah saya perkenalkan sedikit Fouad Hussein. Ia
seorang wartawan Yordania. Dari sosoknya yang kurus dan sikapnya yang tenang –
ia sering tampak di Café Vienna di Kota Amman — kita tak akan menduga ia punya
bahan cerita yang mengagetkan. Tapi 10 tahun yang lalu Fouad – yang
tulisan-tulisannya tak selamanya menyenangkan raja — disekap pemerintah di
Penjara Suwaqah. Di situlah ia bertemu dengan dua tahanan lain. Yang satu
seorang Palestina, Abu Muhammad al-Maqdisi. Yang lain Abu Musab al-Zarqawi.
Maqdisi sudah
lama dikenal sebagai perumus ideologi gerakan “Islamis” radikal yang menganggap
najis penguasa Kerajaan Saudi. Bukunya mengutuk kerajaan itu sebagai sumber
bid’ah — dan agaknya berpengaruh. Di tahun 1995, tempat latihan Garda Nasional
Saudi diledakkan orang. Maqdisi menghilang.
Ketika ia berada
di Peshawar, Pakistan, di awal 1990-an, ia berjumpa Zarkawi. Keduanya berteman,
meskipun tak selamanya Maqdisi membenarkan langkah temannya itu. Zarkawi adalah
seorang Badui asal Yordania, seorang man of action yang menurut pelbagai
penuturan, hidup dengan aksi sebagai impuls, tanpa pemikiran, tanpa strategi.
Ia pasti berbeda dari Maqdisi. Tapi keduanya beraliansi dalam kemarahan dan
nasib yang sama. Kembali dari Pakistan dan Afghanistan, mereka membentuk
kelompok perjuangan. Mereka ditangkap. Di tahun 1993 keduanya masuk bui. Di
situlah Fouad Hussein dapat menimba bahan untuk bukunya.
Yang menarik dari
buku yang terbit di tahun 2005 itu – yang menguraikan rencana besar Al Qaedah
tadi – adalah ia bisa mirip sebuah ramalan.. Di sana sudah disebutkan apa yang
diharapkan Al Qaedah: menyulut konflik antara Iran dan AS. Menurut Zarkawi
kunci strategi Al Qaedah adalah menyeret Bush hingga mesin perangnya harus
melayani medan yang terlampau luas.
Tak berarti
rencana besar itu seluruhnya masuk akal. Mendirikan kekhalifahan Islam –
meniadakan pelbagai republik dan kerajaan yang sekarang ini tak tampak akan
runtuh – memerlukan revolusi yang menjalar dari tempat ke tempat. Mungkin
antara 2013 dan 2016 hal itu bisa terjadi di Saudi dan Suriah – yang legitimasi
pemerintahannya selalu rapuh – tapi sudah berabad-abad Islam tak pernah bisa
mempersatukan orang muslim. Kini bahkan iman dan tekad yang sama tak membentuk
konsensus di antara pelbagai kelompok perang jihad.
Bagi Zarkawi (ini
saya pinjam dari tulisan Lawrence Wright di The New Yorker 11 September
2006) menteror dan membunuh orang Syi’ah itu sesuatu yang perlu. Agustus 2003,
ia membom sebuah masjid Sy’iah. Lebih daru 100 orang tewas, termasuk Ayatullah
Muhammad Bakr al-Hakim.
Maqdisi mengecam
kebrutalan yang berlebihan itu, terutama setelah di bulan Mei 2004 Zarkawi
membuat dan menyebar-luaskan rekaman film penyembelihan Nicholas Berg, seorang
Amerika yang dikontrak Pentagon sebagai penjaga keamanan di Irak. Dalam
tulisannya di Website yang ia pakai untuk menyiarkan ide-idenya, Maqdisi
bersuara seperti seorang yang jauh dari dunia terorisme. ”Tak ada alasan untuk
menuntut balas dengan cara menakut-nakuti orang, memprovokasi seluruh dunia
hingga membenci kaum mujahiddin, dan mendorong dunia memerangi mereka”.
Maqdisi agaknya
salah satu dari sedikit ideolog “Islamis” yang tahu, bahwa pada akhirnya
perjuangan untuk menegakkan suatu tata di dunia adalah perjuangan politik:
mencari dukungan, mendapatkan pembenaran, mengajak, menarik, merangkul. Tak ada
tata yang di abad yang penuh sesak ini bisa berdiri di atas bangkai dan puing.
Hal ini yang
tampaknya mulai jadi tema “oto-kritik” para penjihad. Tulisan Wright
menyebutkan nama Abu Bakr Naji, yang tak diketahui identitasnya, tapi kritiknya
muncul di musim semi 2004 di internet. Ada langkah politik di samping langkah
militer, kata Naji, tapi ia mencatat bahwa pelbagai kelompok Islamis menganggap
politik sebagai “aktivitas jorok sang Setan”.
Dan Naji
sebenarnya bertanya: bisakah politik dihindari?
Citra Al Qaedah
di kalangan muslim rusak, kata Naji, sebab kurang usaha meraih dukungan. Maka
langkah pertama, tulisnya, “adalah…memfokuskan usaha, untuk secara rasional
memberikan pembenaran langkah kita.. …”. Langkah berikutnya: “mengkomunikasikan
pembenaran ini secara jelas kepada khalayak…”
Suara seperti ini
memang seharusnya tak ganjil. Tapi kata “jihad” telah membangkitkan kultus
kepada darah dan besi, bukan kesadaran akan rasionalitas sesama manusia.
Retorika pun bergerak dalam pemujaan kepada kekerasan dan kematian. Ada
penampikan kepada hidup di mana keintiman sehari-hari punya harganya sendiri.
Ada sikap destruktif kepada apa yang bisa mengimbau orang lain. Ada sikap alpa,
bahwa soal kita ialah bagaimana mengubah dunia, bukan meloncat ke surga.
Tapi siapa yang
memutlakkan kemurnian memang harus memilih keterpencilan. Siapa yang memilih
keterpencilan lewat pembunuhan memang tak dimaksudkan untuk menang di
kehidupan. Juni 2002, konon seorang putra Bin Ladin, Hamzah, memasang satu
pesan dalam Website Al Qaedah: “Oh, ayah! Aku lihat telatah bahaya di
mana-mana…”.
Dia benar. (*) [Oktober 9, 2006]
~Edited version of Majalah Tempo
Edisi. 33/XXXV/09 – 15 Oktober 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/10/09/2020/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar