Ayaan memulai
pemberontakannya di sebuah gedung bioskop. Ketika itu ia tinggal sebagai anak
keluarga pengungsi di Kenya di akhir 1980-an.
Pada usia remaja
itu ia jatuh cinta kepada seorang pemuda yang ia beri nama rahasia “Yussuf”.
Bagi keluarga Ayaan, hubungan itu salah. Pacaran terlarang bagi tiap gadis
Muslimah.
Maka di dalam
gelap di depan layar itulah Ayaan menemukan jalan bagaimana bisa dekat dengan
“Yussuf”. Mereka bersentuhan tangan. Tapi hatinya berdebar keras oleh gairah
dan rasa bersalah. Sementara itu, di depan mereka A Secret Admirer –
sebuah komedi Hollywood — diputar, dan mereka melihat nun di sebuah dunia lain,
anak-anak muda berciuman tanpa takut.
Ayaan bukannya
tak datang dari sebuah keluarga terpelajar. Ayahnya, Hirsi Magan Isse, ahli
bahasa yang pernah belajar di AS. Ia seorang aktivis. Somalia berada di bawah
kediktaturan Mohammad Said Barre, dan Hirsi melawan. Ia dipenjarakan. Ketika
itu Ayyan lahir. Keluarga itu pun berpindah-pindah, ke Nairobi, Saudi Arabia,
Kenya, dalam pengungsian yang panjang dan lewat perubahaan yang tak selamanya
terduga.
Anak gadis itu
pernah duduk di sebuah sekolah Islam. Seorang gurunya mengilhaminya untuk
menutup brukut tubuhnya dari ubun sampai ke kaki. Tapi kemudian nasib
membawanya ke Belanda, menjadikannya seorang yang menuding Islam sebagai
penyebab pikiran terbelenggu dan petrempuan tertindas – sebuah perubahan yang
benar-benar radikal. Sebuah konfronasi yang sengit..
Di awal November
2004 konfrontasi ini mencapai klimaksnya (bukan akhirnya) pada pembunuhan di
sebuah jalan di Amsterdam: Theo van Gogh ditembak dan disembelih. Dalam Murder
in Amsterdam (terbitan The Penguin Press, New York, 2006), Ian Buruma
dengan prosa yang cerah dan kepekaan akan nuansa dan hal-hal pelik dalam
konfrontasi itu, menampilkan sosok Ayaan dan mereka yang membencinya – para
pelaku dalam drama Eropa kini, dengan dilema, ketakutan, rasa curiga dan benci,
juga hipokrisi ketika di benua yang pernah bangga akan Pencarahan itu
terhenyak, ketika ternyata ide tentang toleransi dan ke-universal-an Aufklärung
tampak gagap dan kacau menemui realitas baru.
Kita ingat
pembunuhan itu. Pembuat film, pengasuh acara debat talk-show yang
bermulut kasar itu, Theo Van Gogh, dihabisi nyawanya dengan buas oleh seorang
pemuda keturunan Maroko, Mohammad Bouyeri. Di pisau kecil yang tertancap di
dada korbannya, Bouyeri menyematkan sepucuk statemen buat Ayaan Hirsri.
Ayaan, disebut
sebagai “serdadu iblis”, adalah sasaran berikutnya: ia telah meninggalkan
agamanya, dan kemudian bersama Van Gogh membuat film 12 menit berjudul
Submission yang memang dimaksudkan untuk menunjukkan buruknya Islam bagi
perempuan.
Ada apa dengan
Ayaan? Apa yang dimauinya?
Dalam kisah yang
dicatat Buruma, konfrontasi Ayaan berjalan setapak demi setapak sejak di
bioskop di Kenya itu. Ia yang pernah tergerak oleh gagasan “Ikhwanul Muslimin”
untuk mengubah dunia jadi “Islam” adalah gadis yang pada akhirnya merasakan,
betapa atas nama “Islam”, perempuan ditampik: perempuan bukan sebagai sesama
manusia yang berhak. Pada usia 22, Ayaan diperintah jadi isteri seorang sepupu
yang hidup di Kanada. Ia dikirim ke sana. Tapi ketika di perjalanan itu ia
singgah di Frankfurt, ia melarikan diri.
Dibantu sebuah
organisasi Belanda yang bekerja untuk menolong para imigran, Ayaan masuk ke
negeri itu – berpura-pura jadi pengungsi dari perang saudara di Somalia, dan
memakai nama yang diubah: “Ayaan Hirsi Ali”. Bahwa ia berniat keras untuk jadi
bagian negeri angkatnya tampak dari perjalanan hidupnya: pekerja pabrik itu
akhrinya jadi anggota Parlemen. Tentu ia tak menyangka ia akhirnya akan diusir,
ketika Belanda makin ketakutan untuk menerima para penetap dari dunia lain.
Ayaan yakin, di
negeri tempat Spinoza lahir, — filosof besar yang di pertengahan abad ke-17
diusir para rabbi Yahudi karena dianggap murtad — seorang pembangkang iman akan
punya tempat.
Pembangkang,
itulah dia sejak membaca “Manifesto Atheis” dari tangan pacarnya sampai dengan ketika
ia jadi wakil Partai VVD yang ingin menjaga “nilai-nilai Eropa” dari ancaman
“asing”, dan “asing” kali ini berarti “Islam” – meskipun Islam, seperti
dikatakan sarjana Prancis Olivier Roy, kini juga sebuah agama Eropa.
Tentu saja bagi
Ayaan Islam bukan “asing”, tapi tetap harus ditolak. “Yang dibutuhkan
kebudayaan Islam”, begitu tulis Ayaan, “adalah buku, puisi, lakon dan lagu…
yang mengejek aturan agama”. Ia ingin berperan sebagai Voltaire yang di abad
ke-18 menghajar Gereja Katolik. Eropa bisa bangkit karena meninggalkan sebuah
keyakinan yang menyempitkan manusia dan masuk ke pemikiran yang universal,
pemikiran “Pencerahan”.
Bagi Ayaan, Islam
terus menerus menampik yang universal itu. Ia tak sabar menyaksikan penyempitan
diri itu kian keras dan kian menteror. Yang tak ia lihat ialah bahwa kaum
“Islamis” juga, seperti dikemukakan Buruma, hendak memperjuangkan sesuatu yang
bukan ”Pencerahan”, tapi juga universal: ajaran yang satu untuk siapa saja di
mana saja kapan saja.
Tapi
yang-universal sering berakhir seperti rumus ilmu pasti: tak merasa bermula
dari yang-partikular dan sebab itu menista yang-partikular. Acap dilupakan,
baik ide-ide Pencarahan maupun Islam sebenarnya berangkat dari sebuah sudut
bumi di suatu masa. Meskipun keduanya bersemangat hendak mewakili nilai-nilai
yang universal — sebuah semangat yang mulia tapi tak kunjung terpenuhi, dan
sebab itu sebenarnya harus tiba di kerendahan hati.
Tragedi kita
ialah bahwa baik kaum “fundamentalis Pencerahan” dan “fundamentalis agama” tak
mengenal kerendahan hati itu. Akibatnya ialah penyingkiran, dengan darah atau
bukan. Dua tahun setelah Van Gogh dibunuh, Ayaan diusir dari Belanda oleh
pemerintah yang dulu didukungnya. Ia didakwa memalsu alasan yang dipakainya
ketika ia masuk jadi imigran. (*) [Oktober 2, 2006]
~Edited version of Majalah Tempo
Edisi. 32/XXXV/02 – 8 Oktober 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/10/02/ayaan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar