Logos
Pada mulanya logos. Kemudian keraguan.
Adapun logos, menurut para pakar, berasal dari kata
Yunani legein, ”menghimpun”. Tapi kita akan terkecoh bila menyangka kata
dari zaman kuno itu tak berkait dengan rasionalitas.
Ketika dalam puisi Illiad Homeros menggunakan kata
kerja yang akarnya sama dengan logos untuk menggambarkan laku menghimpun
senjata, baju zirah, roti, dan lain-lain, di sana telah tersirat penyusunan
kategori—sesuatu yang kemudian kita kenali dalam katalogus. Yang termasuk
”senjata” punya anasir yang berbeda dengan ”makanan”. Ada proses abstraksi yang
membentuk konsep: ”panah” lain dari ”lembing”, tapi keduanya dirumuskan sebagai
senjata.
Logos pun berarti ”kata”, sesuatu yang merumuskan (dan
juga memberi bentuk) benda atau laku yang beraneka ragam sebagai satu acuan.
Logos pula yang menyusun alur dan struktur cerita dalam prosa, mengatur
argumentasi dalam discourse.
Artinya, yang centang perenang diletakkan ke dalam
sebuah tata. Keanekaragaman yang tampak sebagai chaos ditiadakan. Dari
”kekacauan” perbedaan itu ada yang bisa diidentifikasikan sebagai sejenis,
digolongkan sebagai satu. Agaknya sebab itu Herakleitos mengatakan, siapa yang
mendengarkan logos (yang universal) akan mengakui bahwa semua hal adalah satu.
Tapi ”satu” bisa palsu. ”Satu” juga bisa kaku. Ketika
yang bhineka ditampilkan jadi eka, tidakkah keanekaragaman itu disembunyikan,
atau abaikan, mungkin sejenak, mungkin pula terbungkam seterusnya? Sebuah tata
atau ”order” bisa sangat represif. Bahkan undang-undang yang kita terima
sebagai kemestian sosial juga mengandung sikap yang menekan dan mengetam: kita tahu
ancaman penjara yang sama diberlakukan atas satu perbuatan yang mungkin sekali
konteksnya tak sama.
Itu sebabnya hukum memerlukan hakim. Ia seorang yang
diharapkan akan menimbang adilkah penyamaan itu, adakah yang ”logis” dengan
sendirinya ”benar”. Hakim adalah unsur yang diperlukan untuk mempersoalkan
sejauh mana undang-undang yang terpatri di kitab itu bisa diterapkan pada
kejadian yang masing-masing sebenarnya unik, tak bisa dipatri. Hakimlah yang
mesti bisa mengimbangi prinsip ekuivalensi—bahwa pelbagai hal perlu dianggap
setara—dengan prinsip perbedaan—bahwa banyak hal niscaya berlainan.
Hakim, seorang manusia, adalah beda itu sendiri. Ia,
juga aku dan engkau, tak mungkin sama sepenuhnya dan selama-lamanya. Siapa pun
tak bisa diringkus dalam esensi yang tunggal. Seorang buruh tak hanya seorang
anggita ”kelas” proletar, tapi mungkin juga seorang istri yang ditindas
suaminya yang juga buruh; atau ia seorang yang memiliki sepetak tanah, sebuah
alat produksi.
Sejak menjelang akhir abad ke20, kian kuat desakan
untuk mengakui bahwa ”satu” memang bisa palsu dan kaku. Logos digugat.
Rasionalitas yang tersirat di dalamnya mulai dilihat sebagai alat untuk
mengkotak-kotakkan, mengontrol dan menguasai dunia dan orang lain. Weber dengan
muram menyebutnya sebagai ”nalar instrumental”, bagian dari modernitas yang
akhirnya akan membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”. Kaum feminis, seperti
Hélène Sixous, melihat ada hubungan antara ”logosentrisme” dan kecenderungan
patriarki yang menindas, dan sebab itu memperkenalkan kata ”phallogosentrisme”.
Gilles Deleuze memuji karya termasyhur Marcel Proust, A la recherche du temps
perdu, sebagai pembawa Antilogos: berbeda dari kecenderungan Yunani yang
meletakkan tanda di bawah kendali logos dan membentuk sesuatu yang sebenarnya
telah rusak karena dipermak, dalam novelnya Proust menghidupkan keragaman yang
tak bisa diringkus ke dalam Kesatuan.
Salahkah Kesatuan? Mungkin tidak dengan sendirinya.
Tapi Kesatuan bisa terasa sebagai horor di sebuah zaman yang telah menyaksikan
ngerinya totalitarianisme Hitler, Stalin, dan Mao. Kesatuan bisa terasa sebagai
palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan karena dianggap tak satu
golongan, tak cocok untuk ”berSatu”: perempuan, orang hitam, orang ”kiri”,
orang ”kanan”, gay, dan entah apa lagi.
Yang jarang diingat ialah bahwa Kesatuan itu tak
sekadar hasil pemikiran metafisik. Ketika Kesatuan ditandai dengan satu
bendera—”manusia”, ”Kristen”, ”Islam”, ”Barat”, ”Asia”—yang jarang ditanyakan
ialah siapa yang memilih bendera itu dan memancangkannya. Kita lupa ada unsur
proses kekuasaan di dalamnya, kita tak melihat ”the political” terpaut erat di
situ. Kita tak selalu sadar bahwa tiap proses kekuasaan adalah bagian dari
dunia yang tak kekal, terbatas, dan tergantung.
Memang ada yang merisaukan dalam pandangan yang
menggugat Kesatuan itu, yang tak mengakui fondasi bersama manusia yang kekal
dan dapat dijadikan pegangan semua. Ketika Paus dua pekan lalu mengingatkan
bahwa ”pada mulanya adalah logos”, ia sebenarnya mengungkapkan sebuah peringatan
dan kecemasan: bagaimana dialog antarmanusia mungkin, jika Kesatuan itu
ditampik? Tidakkah ada sesuatu yang lain yang bukan ”mengkotakkotakkan” dan
”mengontrol”, dalam logos, ketika kita ”menghimpun”, legein—dan itu
hanya bisa dimengerti bila logos, seperti dalam iman Kristen, juga diartikan
Kasih Allah yang turun ke bumi?
Maka Paus pun menganjurkan perluasan makna kata
Vernunft, (yang dalam bahasa Indonesia lebih dekat ke ”akal budi” ketimbang
”nalar” yang instrumental). Bukan penyempitan, apalagi penampikan.
Kita bisa memahami Paus di sini. Namun tentu saja jadi
soal bila pada saat yang sama ”Eropa”lah yang dinilai mewakili ”akal budi” yang
seperti itu. Di Indonesia kita tak perlu membaca kritik Adorno dan Horkheimer
(dua pemikir yang pada suatu saat tersingkir dari Eropa) untuk melihat ”Eropa”
juga bisa berarti penjajahan, ketika pada mulanya logos, kemudian kita tak bisa
lolos. (*) [September
25, 2006]
~Majalah
Tempo Edisi. 31/XXXV/25 September – 01 Oktober 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/09/25/logos/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar