Percakapan Ke-7
NASKAH itu berupa 26 percakapan yang dilupakan orang.
Semuanya berlangsung menjelang akhir 1391. Waktu itu Bizantium belum jadi
wilayah Turki, tapi penguasanya, Manuel II, harus merendah: ia masih disebut
”raja” atau ”Autokrator”, namun praktis ia cuma seorang vasal di bawah daulat
sultan yang bertakhta di Anatolia.
Sejak 1379, Bizantium berdiri rapuh dan tergantung.
Karena perselisihan takhta dengan adiknya, Manuel yang waktu itu berumur 29
minta proteksi dari Sultan Murad I. Mulai dari sinilah Bizantium harus bayar
upeti dan ikut dalam aliansi militer dengan negeri tetangganya di Selat
Bosporus itu. Manuel selalu siap patuh.
Pada tahun 1391 itu ia dititahkan ikut dalam
peperangan di pantai Laut Hitam. Tapi agaknya di Ankara ia punya waktu untuk
hal lain. Sejak Oktober sampai Desember ia berbincang dengan seorang ”kadi”
kota itu. Dari sinilah–meskipun mungkin tukar-pikiran itu tak sepenuhnya
terjadi–lahir naskah Dua Puluh Enam Dialog dengan Seorang Parsi.
Dokumen ini umumnya tak ditengok lagisampai ketika Paus Benediktus XVI
mengutipnya di sebuah ceramah di Universitas Regensburg, Jerman, pekan lalu.
Saya tak pernah membaca sendiri tulisan Manuel II.
Tapi saya tak akan heran jika di sana sikap anti-Islam bergema kuat. Sang
Autokrator adalah ahli waris konflik dan kekalahan di hadapan kekuasaan Turki,
nama yang waktu itu berarti ”Islam”. Ayahnya memerintah dalam situasi gawat setelah
Daulat Usmaniah menaklukkan Macedonia dan Serbia pada tahun 1380-an; ia juga
harus menghadapi usaha perebutan takhta di dalam negeri. Untuk mempertahankan
ayahnya sebagai Raja Bizantium, Manuel menyediakan diri jadi vasal di istana
Sultan. Ia siap menanggungkan pelbagai penghinaan. Ketika Sultan Bayazid I
melarang tembok Kota Konstantinopel diperkuat, larangan itu disertai ancaman:
jika konstruksi itu tak dihentikan, Manuel akan dibikin buta.
Manuel diam, tapi ia punya kesimpulan. ”Hanya mala dan
sifat yang tak manusiawi,” kata Manuel tentang ajaran yang dibawa Muhammad,
Rasul Allah di Mekah itu….
Sumber Manuel memang tak perlu jauh dicari: kitab
”Pembelaan Buat Iman Kristiani” [terhadap Islam] yang disusun kakeknya, Johanes
Cantacuzenus, yang bertumpu pada polemik yang ditulis Bruder Ricoldo dari
Montecroce (meninggal pada 1320), Confutatio Alchorani, risalah yang
membantah Quran.
Tapi tiap polemik mengandung politik kutipan. Ketika
Manuel mengutip surah Quran yang mengatakan ”Tak ada paksaan dalam agama”, ia
katakan kalimat itu datang ketika posisi kaum muslimin lemah. Dengan kata lain,
ia memberi konteks sejarah kepada teks. Tapi ke-sejarah-an itu tak
dikemukakannya ketika dalam Percakapan Ke-7 ia menyebut teks lain, yakni
perintah sang Rasul yang katanya ”menyebarkan iman dengan pedang”. Dengan kata
lain, Manuel tak mencoba mencari latar historisnya ketika pedang, dan bukan
tegur sapa yang baik, dianjurkan Nabi.
Islam hanya membawa ”mala dan sifat yang tak
manusiawi”, kata Manuel. Tentu saja ini tipikal suara esensialis, yang
menganggap tiap identitas ditentukan ”esensi” yang tak pernah berubah, dan yang
tak mengakui bahwa tiap ”esensi” sebenarnya hasil bentukan wacana.
Seperti Manuel, Paus Benediktus juga seorang
esensialis. Ia mengutip Theodore Khoury (editor penerbitan kembali Dua Puluh
Enam Dialog), yang mengutip R. Arnaldez, ”pakar tentang Islam” dari
Prancis, yang pada gilirannya mengutip Ibn Hazn, bahwa Tuhan tak pernah bisa
dikekang bahkan oleh Sabda-Nya sendiri. Dalam pandangan ini, yang tampil adalah
”citra tentang Tuhan yang semau-maunya (Willkür-Gott), yang tak dibatasi
kebenaran dan kebaikan.”
Harus dicatat, Paus tak menganggap itulah citra
yang disiarkan Islam; ia hanya menyebut itulah pandangan Ibn Hazn. Lebih
penting lagi, ia mengemukakan, dalam sejarah pemikiran Kristen ada Duns Scotus
yang hidup pada abad ke-13, yang beranggapan mirip, bahwa kita hanya tahu voluntas
ordinata Tuhan: di atas itu, sepenuhnya kemerdekaan. Tuhan dapat bertindak
bertentangan bahkan dengan yang pernah dilakukan-Nya sendiri.
Sebenarnya tak hanya Ibn Hazn dan Duns Scotus. Tak
disebutkan Paus adalah filosof ”okasionalis” Islam dan Kristen, seperti
Al-Ghazali di Iran pada abad ke-11 dan Malebranche di Prancis abad ke-17. Bagi
mereka ini, tiap perubahan dalam obyek dan pikiran adalah karena iradah Tuhan:
”kapas terbakar api bukan karena disulut geretan, tapi karena dibuat demikian
oleh Allah”. Tak ada hubungan sebab-akibat seperti ditemukan ilmuwan dan
disimpulkan mereka yang memakai nalar. Tuhan ada di atas akal budi.
Tapi bagi Benediktus, nalar adalah logos, kata
Yunani yang juga berarti ”sabda” seperti terdapat dalam Kitab Kejadian. Maka
nalar bertaut dengan iman. Manuel, kata Paus, sekadar mengatakan bahwa tak ada
tindakan dengan nalar yang bertentangan dengan Tuhan.
Di sinilah, menurut Paus, pertautan yang intrinsik
antara Alkitab dan siasah Yunani. Buahnya mengubah duniadan terbentanglah
fondasi yang disebut ”Eropa”.
Eropa? Tapi jika ”Eropa”, dengan unsur Yunaninya, sama
dengan ”Kristen”, bagaimana si non-Eropa bisa percaya kasih Yesus? Bukankah
”fondasi” itu hanya konstruksi wacana, yang disusun untuk membedakan diri
daridan menyingkirkanyang harus dibuang dibisukan, dulu Yahudi, kini imigran
muslim?
Tampaknya tesis di kampus Regensburg itu hanya sebuah
polemik: proses politik kutipan dan ingatan, ketika informasi A dicatat dan B
disembunyikan.
Artinya polemik yang serupa juga bisa dilontarkan
orang muslim, dengan menegaskan Islam-lah yang punya landasan rasional dalam
iman, sebab Hadith mengatakan ”agama adalah akal”. Islam pula, dalam sosok Ibn
Rushd, yang memperkenalkan alam pikiran Yunani ke Eropa.
Artinya agama lain bebal semata….
Dan soal agama dan kekerasan: bukankah yang tergurat
jelas dalam sejarah Islam juga tergurat di masa silam Eropatapi dilupakan hari
itu? (*) [September
18, 2006]
~Majalah
Tempo Edisi. 30/XXXV/18 – 24 September 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/09/18/percakapan-ke-7/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar