Demokrasi diberi
cap buruk dan akhirnya dibuang dari Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959.
Konstitusi yang
disusun pada tahun 1950, yang salah satu sendinya adalah hak-hak asasi manusia,
dihapus. Sebuah majelis penyusun undang-undang dasar yang dibentuk berdasarkan
hasil sebuah pemilihan umum yang bebas pada tahun 1955—majelis yang disebut
”Konstituante”—dibubarkan.
Praktis, Presiden
Soekarno mengambil-alih kekuasaan. Dengan ”Dekrit 5 Juli” itu pula,
Undang-Undang Dasar yang disusun pada tahun 1945 diberlakukan kembali. Orang
tahu, juga saat itu, bahwa dengan undang-undang dasar itu—yang disingkat dengan
”UUD 45”—kekuasaan terpusat di tangan presiden. Sebuah sistem yang disebut
sebagai ”demokrasi terpimpin” diterapkan.
Bagi Presiden
Soekarno, itulah jalan ke arah ”penemu-an kembali revolusi kita”.
Segera sesudah
itu, kata ”Revolusi” (ditulis dengan ”R”) berkembang jadi kata yang sakti: ia
bisa menggetarkan, ia bisa menggugah, ia menghalalkan atau membabat apa saja
yang dikehendaki sang penafsir. Sang penafsir tentu saja sang ”Pemimpin Besar
Revolusi”, dan itu adalah Bung Karno.
Agak aneh,
sebenarnya. Jika kita baca buku Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerin-tah-an
Konstitusionil di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959,
kita akan melihat pada mulanya Bung Karno sendiri ragu untuk memberlakukan
kembali UUD 1945. Yang paling gigih mendorongnya adalah Angkatan Darat yang
dipimpin Jenderal Nasution.
Dalam memoarnya
yang terbit pada tahun 1984, Na-sution menulis bahwa pada 28 Oktober 1958 ia
mengutus dua orang kolonel untuk meminta ketegasan Bung Karno. ”Kedua perwira
menengah itu kemudian dengan gem-bira melaporkan kepada saya bahwa Presiden
kini telah se-tuju kembali ke UUD 1945.”
Tak berarti dalam
diri Bung Karno tak ada kecenderungan menyukai apa yang dikehendaki militer:
memberi cap buruk pada demokrasi—yakni cap ”liberal” atau ”Barat”. Sudah pada
tahun 1945, sebagaimana yang tercantum dalam notulen yang merekam perdebatan
antara anggota panitia persiapan kemerdekaan waktu itu, Bung Karno meminta
dengan sangat agar hak-hak manusia dan warga negara tidak dicantumkan dalam
undang-undang dasar Indonesia. Tak mengherankan bila sebelum ”Dekrit 5 Juli” ia
juga termasuk penganjur utama ”demokrasi terpimpin”.
Tak mengherankan
pula bila ia kemudian menganggap ”UUD 1945” dapat dipertahankan selama-lamanya.
Tampaknya Bung Karno dan para pendukung ”UUD 1945” alpa, bahwa pada saat sebuah
konstitusi diperlukan dan dijalankan, ia pun masuk ke dalam sejarah. Ia diuji,
dan ia tergantung pada yang tak abadi. Tapi dalam riwayat Republik ini, ”UUD
1945” itu akhirnya diletakkan di atas sejarah, bagaikan pusaka.
Itu juga yang
telah diperingatkan Asmara Hadi, seorang anggota Konstituante yang pernah
dikenal sebagai seorang pengikut dan anak angkat Bung Karno. Sebagaimana
dikutip dalam Aspirasi Pemerintahan Konstitusionil, Asmara Hadi ”menolak
pendapat Soekarno bahwa UUD 1945 dapat dipertahankan selama-lamanya”. Pandangan
seperti itu, menurut Asmara Hadi, ”bersifat sombong dan menghina generasi yang
lebih muda—seakan-akan gene-rasi yang membentuk UUD 1945 merupakan generasi
yang terbaik, puncak jenius bangsa yang tidak akan dapat dilampaui oleh
generasi mendatang.”
Memang sebuah
kontradiksi: di satu pihak ada kehendak kembali ke ”UUD 1945” yang menunjukkan
sikap memuliakan sebuah keputusan masa silam yang ingin ”dipertahankan
selama-lamanya”, di lain pihak ada retorika ”revolusi” yang, sebagaimana
laiknya revolusi, hendak mengubah dunia jadi baru.
Memang kemudian
ternyata—ketika kata ”revolusi” tak lagi sakti dan Bung Karno, sang ”Pemimpin
Besar Revolusi”, dimakzulkan pada tahun 1966—kehendak mempertahankan ”UUD 1945”
berlanjut dalam sebuah pemerintahan yang justru antirevolusi. ”Orde Baru”, yang
didesain oleh pemikiran Angkatan Darat, adalah ”demokrasi terpimpin” dalam
variasi lain.
Tapi seperti
dalam revolusi, di dalamnya ada kehendak yang tak sabar. Ia mengasumsikan
adanya subyek yang utuh dalam tubuh bangsa, untuk menggerakkan seluruh proses.
Sejarah
membuktikan asumsi itu keliru. Pelbagai usaha membentuk sebuah subyek yang
utuh—dengan penyatuan ideologis, dengan retorika yang diulang-ulang, dengan
mithos tentang Pemimpin yang bagaikan gading yang tak retak—akhirnya gagal.
Maka sebuah
sistem politik yang punya asumsi lain diperlukan: sebuah demokrasi yang tanpa
ilusi, yang menganggap tak ada dasar a priori apa pun yang memberi posisi
istimewa kepada seseorang sebagai sang Subyek. Artinya tak dapat kita elakkan
pluralitas, tak dapat ditiadakan persaingan politik, dan tak mungkin ada
kekuasaan yang mutlak membentuk masyarakat. Yang ada hanyalah hegemoni yang tak
abadi.
Demokrasi dibuang
dari Indonesia 5 Juli 1959 karena ia mengakui pelbagai tak itu. Pengakuan itu
bukan pandangan negatif tentang hal-ihwal. Justru yang tak a priori, tak
mutlak, tak tunggal dan tak utuh itu mengacu kepada sesuatu yang positif: tiap
sistem akan berbatas kepada se-suatu yang tak dapat dijangkaunya.
Manusia selalu
mengandung yang tak dapat dijangkau itu. Sebab itu akan selalu tampil liyan,
”sesama” yang ”beda”, yang tak dapat ditelan ataupun dimuntahkan sebuah sistem.
Maka sebuah sistem politik harus siap menghadapi itu, menghargainya, dan
mengelolanya. Tak mudah. Sistem apa pun tak mungkin jadi jembatan emas.
Asmara Hadi, yang
pada tahun 1930-an dikenal sebagai seorang penyair, bahkan menyamakan sistem
politik yang berdasar ”UUD 1945” dengan shiratal mustaqim, titian serambut
dibelah tujuh menuju ke surga. Kita harus pandai-pandai berjalan di sana.
Sebab, katanya, ”di bawah-nya terdapat api neraka kediktatoran dengan
beribu-ribu lidah api.”
Ia benar. Sejarah
Indonesia pernah menyaksikan itu sejak ”Dekrit 5 Juli”. (*) [Juli 17, 2006]
~Majalah Tempo Edisi. 21, 17 – 23
Juli 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/07/17/5-juli/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar