Bola api tampak
di langit Pangandaran, suara ”glung” dan ”bleg” terdengar di bawah bumi Yogya.-
Orang pun gentar, setengah terkesima: apa arti semua itu?
Barangkali itu
isyarat, bisik sebagian mereka, entah dari angkasa luar, entah dari palung
lautan. Barangkali itu waham, kata yang lain. Barangkali alam dan rasa takut
telah berkait, barangkali alam dan suasana berkabung tumpang-menumpang, dan tak
jelas lagi mana yang menyebabkan dan mana pula yang disebabkan.
Apa boleh buat:
bencana menghantam kita berturut-turut—dua kali tsunami dalam jarak waktu belum
dua tahun, dua kali gempa yang membunuh ratusan manusia, Gunung Merapi yang
memuntahkan lumpur panas ber-hari-hari…. Dengan kata lain, kesadaran kita
dengan serta-merta digebrak oleh sesuatu yang tak dapat sepenuhnya dijinakkan
penjelasan ilmu, tak dapat ditata oleh wacana, tak terjangkau utuh oleh tata
simbolik. Bahasa kita jadi gagap, dan bola api itu terasa semakin besar, suara
”glung” dan ”bleg” itu terasa semakin menakutkan, dan kita semakin berkabung.
Amir Hamzah
pernah menggambarkan situa-si manusia dan alam yang dilimbur bencana dalam
sebuah puisi yang dengan plastis memantulkan bunyi-bunyi yang mengerikan bahkan
sejak dari konsonan dan aliterasi kata-kata yang dibariskannya: ”terban hujan,
ungkai badai, terendam karam, runtuh ripuk tamanmu rampak.”
Dan nun di sana tampak
Manusia kecil lintang pukang
lari terbang jatuh duduk
air naik tetap terus
tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh redam terbelam
dalam gagap gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Sajak itu
sebenarnya bercerita tentang air bah yang didatangkan Tuhan untuk
menenggelamkan dan menghabisi manusia yang tak hendak mengikuti jalan Nuh.
Apabila yang dilukiskan Amir Hamzah terasa relevan se-karang, itu karena di
sana juga tergambar bukan orang-orang yang berdosa, melainkan orang-orang yang
tak berdaya—”manusia kecil” yang dilihat dari atas yang jauh.
Hanya Nuh yang
disebut ”bebas lepas” dan ”lapang”. Hanya ia yang dikatakan duduk dalam
kepastian, bisa bersuara ”sentosa” ketika manusia lain ”di tengah gelisah”.
Sang penyair
sendiri tak seperti nabi itu.. Ia bimbang dan galau: kekuatan destruktif Tuhan
bisa demikian menakutkan demi menegakkan kepastian, tapi tetap saja sang
penyair tak dapat memutuskan mana yang harus dipilihnya di tengah sistem
kepastian yang berbeda-beda. Akhirnya ia mengatakan, semua itu tak ada gunanya.
Akhirnya ”hanya satu kutunggu hasrat”, katanya, yakni merasa ”dekat rapat” dengan
Tuhan sendiri.
Bola api, suara
gemuruh yang ganjil, lahar yang mengancam, kematian yang menyebar—alam dan
ketakutan jemput-menjemput, bersama kemurungan. Para pakar g-eologi,
klimatologi, dan psikologi dapat berbicara fasih men-jelaskan semua itu, tapi
benarkah mereka bisa menjangkau alam itu sendiri? Bukankah ilmu-ilmu
pengetahuan tak pernah menangkap alam itu an sich, melainkan hanya menangkapnya
sesudah dijinakkan dalam kerangka sebuah wacana, dalam keadaan disetel
(Gestell, kata Heidegger)? Dengan kata lain sebenarnya tak ada yang dapat
”de-kat rapat” dengan yang dirindukan untuk dijangkau itu—yakni yang benar,
yang memukau, yang membuat gentar?
Bahkan saat Musa
di pucuk Tursina (yang oleh Amir Hamzah dianggap sebagai momen yang
dihasratkannya, momen ”dekat rapat” dengan Tuhan) manusia itu tetap mustahil
menangkap ”Wajah” itu..
Mungkin ada yang
dapat memberi kita kearifan dari tsunami di Aceh dan Pangandaran serta gempa
dan ancaman magma di Yogyakarta: kita sadar akan kemustahilan seperti itu dan
sebab itu kita berkabung, seperti saya katakan tadi. Kita berkabung karena kita
merasa bersatu dengan yang ditinggal mati dan hilang. Kita juga berkabung
karena kita tak bisa merasa ”bebas lepas”, ”lapang”, dan ”sentosa” di tengah
sesama yang gelisah ketika bahkan ilmu tak dapat lagi bicara pasti.
Berkabung itu
memberi kita kearifan, sebab dari sanalah kita sadar betapa mustahil kita untuk
tak menjadi ”manusia kecil”. Kita akan senantiasa ”lintang pukang”. Tapi pada
saat yang sama, justru karena itulah kita merindukan itu: bisa bersentuhan
dengan yang abadi, biarpun sejenak. ”Aku berkabung untuk keabadian, aku
berkabung untuk ia yang dalam dirinya kutanam dan kupupuk keabadian”, tulis
Hèlène Cixous dalam Deluge.
Dikatakan secara
lain, justru karena kita tak kunjung mendapatkan kepastian, justru karena kita
terbatas, kita pun—seperti Amir Hamzah—menunggu hasrat untuk ”d-ekat rapat”
dengan yang sama sekali lain: yang Maha Tak Terbatas, transcendens yang mutlak.
Kata ”maha”
menegaskan betapa radikalnya sifat ”lain” di situ: sifat ”lain” yang tak dapat
dirumuskan, tak dapat dibandingkan, yang hanya dapat disebut, meskipun de-ngan
menyebutnya kita sadar kita hanya mencoba sejenak menafsirkannya. Sebab sifat
”lain” yang radikal itulah yang menyebabkan kita tak akan pernah rampung dan
usai menerjemahkannya: kita tak akan mungkin membuatnya sedemikian rupa
sehingga ”sama” dengan kita.
Agaknya itulah
yang membentuk sikap ethis kita: berhadapan dengan yang berbeda, kita tergetar,
tak akan jumawa, bahkan kita menatapnya dengan hormat yang berkabung.
Sebab kita tahu
ada yang tetap tersembunyi. Ada misteri yang tak mungkin dianggap sekadar
sebagai problem untuk kecerdasan kita. ”Dunia tak pernah merupakan sebuah obyek
yang tegak di depan kita dan dapat disimak”, kata Heidegger. Dunia selalu tak
berlaku jadi sasaran subyektif kita, selama ”jalan kelahiran dan kematian,
rahmat dan kutuk, tetap membawa kita ke dalam ada”.
Maka bola api itu
mungkin tampak mungkin tidak di langit Pangandaran, bunyi ”glung” itu mungkin
terdengar mungkin tidak di bawah Yogya…. (*) [Juli 24, 2006]
~Majalah Tempo Edisi 22, 24-30 Juli
2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/07/24/glung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar