Pesawat-pesawat
tempur pertahanan,
Mengitari tinggi
langit empat kota
Hingga busuk
serakah dan nestapa
Tak bisa
menggapai mereka.
— Bertolt Brecht
Pesawat tempur
yang mengoyak langit memang hanya peduli akan satu hal: meniadakan yang hidup
di bawah sana. Puisi Brecht tentu saja tak menjelaskan ganasnya kapal-kapal
terbang pancar gas Israel di Libanon hari ini. Sajak itu lebih bicara tentang
hubungan kapitalisme dan perang: keperkasaan militer adalah indi-kasi niat
bertahan yang lucu, ketika yang berkuasa tak hendak mengakui betapa busuknya
”serakah dan nestapa”.
Tapi bukankah ”serakah”
(Gier) tak hanya berarti hasrat memperbesar milik—modal atau wilayah—melainkan
juga keinginan memperluas rasa jeri di hati musuh dalam tingkat yang tak
sebanding dengan ancaman sang musuh itu sendiri? Yang terjadi di Libanon
bukanlah ”satu mata dibalas satu mata”, melainkan ”satu mata dibalas
berpuluh-puluh mata”. Belum sampai 60 orang Israel tewas, termasuk prajurit,
setelah dua orang tentara ditangkap gerilyawan Hizbullah dan roket-roket
dilontarkan ke kota-kota Israel, tapi diperkirakan telah 600 orang Libanon
mati—sebagian besar warga yang tak hendak berperang.
”Nestapa” dalam
sajak Brecht punya arti khusus: kesengsaraan si miskin yang diisap si kaya.
Tapi kini ”nestapa” adalah yang dialami Palestina dan Libanon—dua negeri yang
jauh lebih lemah ketimbang musuh yang menyerbunya. Tapi tak hanya itu:
”nestapa” tampaknya akan menenggelamkan semua pihak di Timur Tengah dalam
bentuk balas-membalas berdarah yang entah sampai kapan akan berakhir.
Tentu saja semua
dilakukan atas nama ”pertahanan”. Keperkasaan militer—biarpun dengan kebusukan
yang ter-sirat di dalamnya—selalu punya daya pikatnya sendiri. Hanya ada
beberapa puluh orang Israel turun ke jalan memprotes perang kali ini, sementara
sebagian besar tidak. Perbandingan ini berlaku di Amerika Serikat, dan mungkin
juga di tempat lain: suara populer adalah suara marah, dari rasa terancam atau
terhina yang tersebar, dan sebab itu senjata dan kata-kata galak disambut
beramai-ramai.
Dari sini juga
dapat dilihat makin meluasnya dukungan terhadap Hizbullah di negeri-negeri
Arab, di kalangan Sunni atau bukan—bahkan juga di kalangan pengikut Michael
Aoun, tokoh Kristen yang pernah menentang kehadiran pasukan Suriah di Libanon.
Itu berarti
”pertahanan” telah jadi sesuatu yang demikian mendesak tapi sekaligus demikian
tak jelas; inilah sebuah periode sejarah dengan sebuah khaos yang destruktif.
”Pertahanan” telah jadi sebuah struktur yang begitu kaya artinya tapi sekaligus
begitu terbatas: ia bisa ditafsirkan tak habis-habis, tapi pada saat yang sama
bisa mengimbau segala golongan hingga tak terasa perlu dipikirkan lagi.
Apa gerangan yang
dipertahankan? Bagaimana mempertahankannya? Ketika satu kekuatan militer yang
tak terkait dengan satu wilayah resmi dan tak mewakili satu bangsa (dan
Hizbullah adalah salah satu contohnya) berhasil mengobarkan perang dengan
sebuah bangsa yang mendefinisikan dirinya dengan posisi teritorial, perbedaan
antara perang dan terorisme pun luruh. Akhirnya Israel menerobos perbatasan
Libanon seakan-akan garis itu tak ada, sebagaimana Amerika Serikat menggebuk
Afganistan untuk menghancurkan Al-Qaidah yang entah di mana. ”Perang adalah
terorisme dengan anggaran yang lebih tinggi,” demikian tertulis dalam salah
satu poster protes di Tel Aviv.
”Perang
pertahanan” memang bukan lagi mengenai terra dan territorium, ketika batas
wilayah dinafikan. ”Pertahanan” jadi sejenis tata yang menggantikan pengertian
”perdamaian”—ia diimpikan dan tak kunjung tercapai—ketika tata yang ada
terus-menerus dianggap tak adil tapi tak dapat diruntuhkan.
Berangsur-angsur,
di wilayah tempat para Nabi pernah bicara dan berjanji itu, tata yang diimpikan
itu telah jadi eskatologi: pengharapan akan sebuah surga di masa ketika dunia
berhenti sebagai dunia. Akhirnya tata itu tak sekadar sebuah kata yang
ditafsirkan dengan perspektif yang terbatas, dan sebab itu nisbi. Ia telah jadi
penanda yang isinya terpatri di langit, absolut tapi tak teruraikan.
Pada saat itu
pula tata itu—yang telah identik dengan ”pertahanan”—membuat perang jadi
semacam ritual pengorbanan: darah dan nyawa dipersembahkan, keabadian diseru.
Demikianlah semakin jauh tata itu tercapai, semakin besar peran
agama-agama—terutama Islam dan Yudaisme—di Palestina, Israel, dan Libanon.
Nasionalisme yang bicara soal wilayah di permukaan bumi telah digantikan oleh
sebuah semangat yang didasarkan pada asumsi tentang langit yang menjamin.
Tentu saja dengan
begitu tata itu jadi bagian sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar. Ia bukan lagi
ada di dunia yang ruwet tempat manusia, dalam kondisi yang serba terbatas,
bertindak dan memutuskan. Eskatologi dan kesiapan menyelenggarakan ritual
pengorbanan bahkan membuat manusia seakan-akan jadi anasir yang suci, pasti,
dan tegak di tataran yang tinggi—seperti pesawat-pesawat tempur pertahanan yang
digambarkan Brecht: ”Hingga busuk serakah dan nestapa/Tak bisa menggapai
mereka.”
Mereka yang
angkuh. Mereka yang tak peduli akan cacat dunia dan retaknya gading dalam diri
sendiri. Kehidupan politik pun digantikan pembinasaan. Tak ada negosiasi. Tak
ada penyelesaian konflik yang dilakukan dengan keadilan yang diakui sebagai
genting. Sebab keadilan telah jadi sesuatu yang begitu lurus, keras, dan
menakutkan.
Tragis, memang.
Sebab dulu di wilayah ini pernah ada berita bahwa Yang Suci bisa merasuk ke
dalam yang sehari-hari dan Yang Kekal datang di tengah yang temporal—bukan
sebaliknya—dan bahwa keadilan digantikan dengan sesuatu yang tak keras dan
menakutkan, yakni cinta kasih dan kemampuan merasakan nasib mereka yang
dinestapakan. (*) [Juli 31, 2006]
~Majalah Tempo Edisi 23, 31 Juli-6
Agustus 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/07/31/libanon/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar