Empat bulan
sebelum meninggal, Dan Lev menjemput saya di tempat saya menginap di University
District, Seattle. Ia masih melangkah gagah pada umur 72. Ia mengenakan jas
abu-abu dan pull-over putih. Hari itu di musim semi, Seattle agak dingin.
Kami berpelukan.
Saya lihat rambutnya menipis dan ia pucat.
Saya ingat
sepucuk sur-el yang ia kirim di pekan ketiga Januari 2006: ”Baru saja, sesudah
biopsi, ternyata saya kena kanker paru-paru. Belum terang apakah para dokter
bisa berbuat apa-apa…. Akibatnya, saya nggak bisa ke Indonesia tahun ini.
Macam-macamlah.”
Seakan-akan
kanker itu gangguan yang sepele.… Tipikal Dan: ia tak hendak membuat
persoalannya dramatis. Hari itu dibawanya saya ke sebuah restoran dim-sum di
International District.
Sambil menyetir
mobilnya memasuki 24th Avenue East ia mengatakan kemo- dan radioterapi pada
paru-parunya telah dihentikan. Tumornya hanya susut sedikit. Dokter
bilang—katanya, sambil terus memandang ke jalan di depannya—ia akan hidup
mungkin hanya enam bulan sampai setahun lagi. Ia ucapkan itu seperti ia
mengulang ramalan cuaca.
Ia tak ingin
siapa pun sedih. Terutama hari itu: ia bebas dari kemo- dan radioterapi. Dalam
salah satu surat-elnya ia memang menyebut: ”Kemo itu racun memang… campuran
radiasi semacam penyiksaan yang mungkin bisa saja… dalam imajinasi Bush cs.” Ia
masih melucu–seraya menyodok Presiden Amerika yang tak pernah disukainya itu.
Dan saya pura-pura tak murung.
Di restoran yang
tak saya ingat namanya itu ia makan tujuh potong dim-sum tanpa sambal. Ada yang
terasa sakit jika ia menelan yang pedas, katanya. Saya terdiam mendengar itu.
Tapi ia tak melanjutkan. Ia hanya bicara tentang topik yang disukainya akhir-akhir
ini: lahirnya sebuah generasi muda Indonesia yang bagi-nya mengagumkan.
Ia menyebut dua
kelompok: pertama, mereka yang bergerak di sekitar ”Islam liberal” dalam
berbagai variasinya, yakni anak-anak muda yang seraya berangkat dari latar
sejarah Indonesia telah membuka cakrawala pemikiran yang tak terjadi di tempat
lain di Dunia Ketiga. Kedua, yang ia kenal lebih dekat, ”anak-anak PSHK”—Pusat
Studi Hukum & Kebijakan—yang bekerja di sebuah kantor di wilayah Kuningan,
Jakarta.
Sejak 1999, tiap
kali Dan ke Jakarta, ia akan berjam-jam di situ, berdiskusi, menolong mahasiswa
yang perlu dibantu, minum kopi tubruk, merokok, mendengarkan. Bagi Dan mereka
ini harapan masa depan: mereka bukan saja penelaah kehidupan hukum di
Indonesia, tapi juga aktivis yang memperjuangkan perbaikan peradilan seraya
menyiarkan informasi tentang hukum tak henti-hentinya, antara lain dalam satu
situs di internet. Bagi Dan, merekalah contoh bahwa tak semua orang Indonesia
menyerah kepada air busuk dunia yudikatif Indonesia selama ini, tempat polisi,
jaksa, hakim, advokat, sipir bui, dan entah apa lagi, berkubang dalam uang
suap, akal-akalan, dan pemerasan.
Sambil
mendengarkan itu saya sadar: Dan tak pernah bicara tentang dirinya sendiri.
Rasanya ia tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Ia menahan rasa sedih dan
cemasnya entah di mana. Ketika beberapa tahun yang lalu Arlene, istrinya yang
lembut hati itu, sakit, ia berada di sampingnya dengan tekun, tapi Dan tak
pernah menunjukkan wajah waswas. Seakan-akan ini juga kewajibannya: membuat
hidup orang lain tak muram, sebab kita perlu bekerja untuk sebuah dunia yang
tak jadi gila.
Khususnya ia
ingin mengabarkan berita baik tentang Indonesia.
Indonesia, bagi
Dan Lev, bukanlah sebuah karier akademis. Seperti banyak ”Indonesianis”, Dan
begitu dekat dengan negeri ini; suka-duka yang terjadi di sini seakan-akan ikut
mempengaruhi pandangan tentang diri sendiri dan tentang dunia. Dengan kata
lain, Indonesia bukan hanya satu persoalan ”pengetahuan”.
Ia tetap seorang
ilmuwan yang tangguh dari sebuah universitas Amerika. Kelebihannya adalah,
sebagaimana dikatakan sahabatnya, Benedict Anderson, pengarang The Imagined
Communities yang termasyhur itu, kepada The Seattle Times, Dan mau go down the
trenches, ”turun ke dalam parit-parit pergulatan”, bersama orang seperti Yap
Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution, Marsillam Simanjuntak, Nursyahbani
Kacasungkana, dan sederet nama lain yang nekat bekerja untuk sebuah dunia yang
tak jadi gila—khususnya untuk sebuah Indonesia di mana hukum tegak dan hukum
adil.
Dan tentu saja
sadar ia bukan seorang Indonesia. Yang mengagumkan, ia bisa mengambil jarak
yang pas. Ia tak berteriak-teriak di jalan dan di media massa. Tapi, karena ia
ikut tergerak élan perjuangan di negeri ini, secara tak sengaja ia menularkan
semangat itu kembali. Ia tak melihat Indonesia seperti sepetak kelam.
Ia, penelaah
sejarah politik dan hukum Indonesia modern, terpesona akan suasana demokratis
1950-an, ketika perdebatan tentang hal-hal yang fundamental berlangsung matang
dan cemerlang, ketika perbedaan sikap politik tak menyebabkan bunuh-membunuh
dan bui-membui. Salah seorang dari PSHK yang dekat dengannya mengatakan sesuatu
yang penting: dengan mengacu ke tahun 1950-an, Dan sebenarnya menunjukkan bahwa
cara penyelesaian konflik yang baik tak perlu dicari dari pengalaman negeri
lain. Orang Indonesia sendiri pernah melakukannya.
Ini tentu karena
Dan punya kelebihan: ia kenal pribadi para pejuang demokrasi Indonesia yang
lahir di awal abad ke-20—yang aktif di tahun 1950-an—dan ia juga bergaul dengan
mereka yang kini belum berumur 40.
Hanya tiga hari
setelah ia meninggal, Selasa 1 Augustus, dengan cepat sekitar dua ratus
sahabatnya berkumpul di sebuah auditorium Hotel Santika, Jakarta. Di sudut
kiri, sepasang pemain musik memainkan lagu duka pada piano dan biola. Di sudut
kanan dipasang layar, di mana diproyeksikan foto-fotonya, juga rekaman video
ketika ia berceramah, dalam bahasa Indonesia yang amat bagus, tentang sejarah
pemikiran hukum di Indonesia.
Seakan-akan ia
ada di ruang itu…. (*) [Agustus 7, 2006]
~Majalah Tempo Edisi. 24, 07 – 13
Agustus 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/08/07/dan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar