Ambon masih
dihuni gedung-gedung hangus. Di kiri-kanan jalan: reruntukan suram. Di kota
Maluku ini orang masih bisa bicara dengan rinci tentang kebengisan panjang yang
berawal pada tahun 1999 dan berakhir menjelang 2005 itu: rumah mereka yang
hancur dibakar, gereja, masjid, dan universitas yang dibumihanguskan, bom yang
dirakit dan diledakkan, speed boat yang diserang, preman dan laskar dari
luar yang ikut menyulut kebencian, militer dan polisi yang menghasut, pengungsi
yang mungkin tak kembali, ratusan saudara dan teman yang mati dibantai. Konflik
antara penduduk muslim dan Kristen Maluku itu berakhir dengan sekitar 13 ribu
orang tewas; bagaimana orang akan melupakannya?
Yang menakjubkan
ialah bahwa pada bulan Juli 2006 itu kota dan penghuninya telah tampak kembali
ramah dan dengan kehalusan yang khas, tak jarang riang—seperti laiknya orang
Ambon. Kehidupan sedang pulih dan seakan-akan ada salam yang kemarin bungkam:
bandara itu kelihatan baru dan lebih bagus ketimbang bandara Surakarta, lebih
rapi ketimbang Surabaya. Di lobi Hotel ”Amans”, tempat para tamu bisa
berhubungan dengan seluruh dunia melalui koneksi Internet wireless, hari
itu orang menyambut gadis-gadis Maluku peserta kontes kecantikan. Dan jalan
padat, dan pasar ramai.
Tentu saja saya
amat sebentar singgah; saya hanya tamu. Saya tak akan tahu persis jika ada
trauma, dendam, dan perpanjangan curiga yang menyelinap di lorong-lorong.
Namun, rasanya ada yang meyakinkan bila di sepanjang trotoar yang sesak
lagu-lagu Maluku populer mengalun keras dari kedai-kedai CD, perempuan dengan
atau tanpa jilbab duduk bercengkerama di warung-warung rujak orang Kristen di
sepanjang pantai, dan pada hari kapal Lambelu merapat, pelabuhan hibuk oleh
pelbagai manusia. Di kakilima di seberang kantor Firma Abdullah Alie (famili
Alie adalah salah satu dari keluarga keturunan Cina muslim yang hidup di Maluku
mungkin sejak abad ke-19) ada penjual koran; di kiosnya tampak majalah Playboy
terbaru dipajang. Agak jauh dari sana, Pasar Mardika penuh dengan warna:
deretan tomat merekah merah, jeruk purut berbutir-butir hijau, sagu di kantong
plastik yang kuning, daging ikan asap secokelat kayu manis.
Di perjalanan
sepanjang teluk saya dengar seorang sopir berkata: ”Kita orang bodoh, mau
dibikin baku bunuh.” Ia tentu saja bicara tentang perang saudara yang
mengerikan itu.
Ia agaknya tahu
sebagaimana dunia tahu, di sini Tuhan pernah disebut di kedua kubu dengan
keyakinan yang berlumuran darah, untuk sebab yang tak jelas, mungkin bagian
dari cara orang di lapisan atas menegakkan posisi, mungkin karena sejumlah
preman memperebutkan lahan pemerasan. Saya tak pasti bersedihkah sopir itu atau
mencemooh. Tapi pada akhirnya terucap kesadaran itu—atau mungkin rasa letih
yang tak bisa lagi jadi kemarahan. Kini orang kembali hidup dari tepi jalan
bersama: di perdagangan kecil, di percakapan kecil, di perbuatan praktis dan
persahabatan yang belum sepenuhnya hancur. Mereka menambal dan menyulam hidup,
menyusun rumah dari puing, membalsami luka.
Saya jatuh hati
kepada kota ini. Tapi bukan semata-mata karena ia dirias pohon hijau, didampingi
teluk, dilengkapi bukit.
…no one exists alone;
Hunger allows no choice
To the citizen or the police;
We must love one another or die.
— W.H. Auden
Ada sesuatu yang
akhirnya bersuara dari dalam tragedi itu, ”Kita mesti saling mencintai, atau
mati.”
”Cinta” mungkin
kata yang terlampau menggelembung. Tapi apa pilihan sebaliknya dari ”mati”?
Sajak Auden itu, September
1, 1939, ditulis di sebuah sudut di 42nd Street di New York, ketika dunia
dihantui sebuah perang besar. Kini baiklah kita bayangkan sang penyair tak
berada di New York, tapi di Ambon—atau di sebuah sudut Indonesia—ketika
Republik terancam ambruk oleh perang-perang saudara lokal seperti yang terjadi
di Maluku itu. Ia mungkin akan juga merasa bahwa ”harapan-harapan yang pintar
habis”. Ia mungkin akan sadar tentang ”sebuah dasawarsa yang culas dan nista”,
ketika gelombang marah dan ketakutan berpusar, ketika ”bau kematian yang tak
bisa diucapkan” mengusik malam.
Tapi, seperti
halnya di Ambon, hidup bisa menebus dirinya sendiri: selalu ada sebuah
alternatif yang bisa dibangun ketika ”harapan-harapan yang pintar habis”. Di
akhir sajaknya Auden bertanya: bolehkah ia, seperti mereka yang lain, yang
terbentuk dari ”cinta dan debu”, yang dikepung oleh putus-asa yang sama,
menunjukkan ada cahaya yang meneguhkan? Pertanyaan itu memang ragu atau rendah
hati. Tapi harapan bukan sesuatu yang mustahil. Sajak itu menyebut cercah sinar
yang ironis (”ironic flash of lights”) yang tampak bagai titik-titik
dalam gelap, tatkala malam tak menawarkan perlindungan.
Kata ”ironi”
penting di situ. Konon kata ini datang dari bahasa Yunani, eirôneia,
yang berarti ”sikap berpura-pura tak tahu”. Di dalamnya ada jarak, bahkan
langkah berbalik membelakangi sikap ”aku-tahu” yang yakin.
Auden menulis
sajak itu pada sebuah masa ketika ”pencakar-pencakar langit yang buta” berdiri
tegak dan dengan tubuh jangkung mereka memaklumkan ”kekuatan Manusia Kolektif”.
…blind skyscrapers use
Their full height to proclaim
The strength of Collective Man,
Itulah masa
ketika pelbagai paham totaliter berkibar-kibar. Itulah masa ketika tiap bahasa
memuntahkan dalih yang angkuh dan penuh persaingan. Seperti di zaman ini:
ketika ”manusia kolektif” digalakkan oleh menara-menara pengeras suara, ketika
agama yang seharusnya menumbuhkan kerendah-hatian justru jadi dalih bagi sikap
”aku-yang-tahu-dan-benar-dan-suci”, ketika iman berangsur-angsur berubah jadi
identitas sosial dan ”umat”—sebuah sosok manusia kolektif—jadi demikian
penting, lebih penting ketimbang kebenaran.
Ironi
menunjukkan, sebenarnya ada yang tak pas dalam posisi seperti itu. Dengan
mengambil jarak, kita akan menemukan bahwa tiap identitas sosial sebenarnya tak
pernah siap dirumuskan. ”Umat Islam” atau ”umat Kristen” dapat berarti
macam-macam, sebab di dalamnya ada perbedaan-perbedaan yang tak hendak diakui.
Di dalam tiap pembentukan identitas sosial, juga ketika kita bicara ”umat”,
sebenarnya terkandung represi.
Kekerasan sudah
berbenih sejak represi itu: pada gilirannya, yang dianggap tak sesuai dengan
”kami” yang kolektif akan dilenyapkan. Di Ambon, 27 April 2001, Radio ”Suara
Perjuangan Muslim Maluku” dikutip menyiarkan peringatan ini: ”Jika masih
terdapatlah di antara orang muslim yang ingin berbicara tentang rekonsiliasi,
bunuhlah dia!” Di wilayah Kudamati, dua kelompok Kristen saling bermusuhan,
saling menyerang, dan rumah-rumah dibakar.
Mungkin itu
sebabnya tiap identitas sosial mengandung luka, dan sebab itu retak. Bahkan
identitas itu dicoba dibentuk justru karena retakan-retakan itu. Pada saat yang
sama, ia merumuskan diri atau dirumuskan, menamai diri atau dinamai, oleh
sebuah bahasa—yakni bahasa yang tak ia bangun sendirian. Ia memasuki sebuah
konvensi. Ia pun bergabung ke dalam sebuah sistem; sebenarnya ia hanya sebuah
penanda. Tak ada yang secara utuh dan tetap hadir sebagai sesuatu yang
ditandainya (apa sebenarnya yang disebut ”umat”?). Maknanya hanya muncul ketika
ia disandingkan dengan identitas sosial lain dan diberi batas oleh identitas
lain itu. Ia berbeda, tentu, dari yang-lain, tapi karena berada dalam sebuah
sistem pemaknaan, ia tak sepenuhnya tertutup; ia tak secara radikal berbeda
dari yang-lain. Bagaimana mungkin ia bisa meniadakan yang-lain?
”Kita mesti
saling mencintai, atau mati,” tulis Auden.
Mungkin
”mencintai” bukan kata yang menggelembung. ”Mencintai” berarti terpesona kepada
yang-beda, menyentuh apa yang terbatas dalam diri sendiri pada saat bersua
dengan yang-lain, dan sadar bahwa bahasa tak bisa menangkap apa yang ada dalam
diriku dan yang-lain itu. Dalam kalimat Auden, ”Each language pours its
vain, competitive excuse.”
”Mencintai”
adalah sebuah laku sederhana.
***
Saya pernah
menempuh laut dari Pulau Buru ke Ambon di atas sebuah kapal kecil yang disebut Landing
Craft Material pada tahun 1969. Ombak mengguncang hampir selama 11 jam di
dek sempit yang pengap bau minyak kayuputih. Pada akhir Juli 2006 saya kembali
menempuh laut itu, dengan ”kapal cepat” yang lancar selama sekitar tiga jam.
Rantau hampir tak
pernah tak terjangkau. Berada di Maluku kita akan menyadari itu dan menyadari
apa arti rantau: tempat yang jauh dari rumah, tapi tak sama sekali asing.
Bahasa Melayu menyebut negeri lain sebagai ”seberang”.
Dengan demikian
laut mempunyai dua sisi yang bertentangan, tapi juga bertaut: sebuah pemisah
dan juga perangkai, sebuah antara dan sebuah lokus tersendiri. Ia penuh
suspens, ia memukau.
Dalam salah satu
puisinya yang terkenal, Cerita Buat Dien Tamaela, Chairil Anwar
menghadirkan satu suara sosok mithologis dari Maluku—kita tak tahu persisnya
dari mana—yang menyebut diri, ”Beta Pattirajawane”. Suaranya gemuruh; ia dengan
agung memaklumkan, bahwa ketika ia lahir, orang membawakan kepadanya ”dayung
dan sampan”. Dan ia pun mengajak:
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Dengan kata lain,
laut menandai petualangan yang gairah, kebebasan untuk lupa, kepergian dari
rumah. Terkadang laut adalah zona di antara rumah dan rantau, sebuah transito.
Terkadang ia rantau itu sendiri. Laut tak pernah kosong: ia sumber hidup dan
perangkai perniagaan, perang, pengungsian, dan peradaban.
Dengan itulah terjadi
sebuah rumah baru, rumah bukan sebagai tempat asal yang tertutup, melainkan
yang tumbuh justru karena pertemuan dengan yang-beda dan tak disangka-sangka.
Saya ingat apa yang dikatakan Heidegger (yang berbicara tentang arus Sungai
Danube yang disebut dalam sajak Hölderlein, der Ister): ”Pulang…adalah
sebuah transit melalui ke-berbeda-an”.
Mungkin itulah
Indonesia, mungkin itulah takdirnya: tempat kita pulang, juga serangkaian
rantau, sebuah tempat yang dijelang tapi juga rumah yang meriah dan rumit dalam
kebhinekaan. (*) [Agustus 14, 2006]
Jakarta, 8 Agustus 2006.
~Majalah Tempo Edisi. 25, 14 – 20
Agustus 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/08/14/dari-ambon-dan-gedung-hangus/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar