Teks bersejarah
itu sederet kata yang bergegas. Tak panjang. Seluruhnya terekam di atas secarik
kertas separuh folio. Kita mengingatnya kembali saban 17 Agustus, sebab hampir
di tiap hari kemerdekaan itu koran dan majalah memuat kembali foto dokumen
ringkas itu, atau orang mereproduksinya dalam ukuran besar pada papan untuk
diarak dalam pawai: ”Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia….”
Huruf-huruf itu
jelas tulisan tangan Bung Karno yang kita kenal coraknya dari dokumen-dokumen
lain. Mungkin kalimatnya diguratkan dengan sebuah pena yang kasar. Ada coretan
dan perbaikan lebih di satu tempat.
Gugupkah ia waktu
menuliskannya? Kita tak tahu. Yang kita hanya dapat bayangkan: sebuah suasana
tegang. Di satu ruangan di kota yang masih dikuasai tentara Jepang, Bung Karno
dan Bung Hatta dikelilingi para pemuda yang tak sabar. Semua telah mendengar
dari radio rahasia bahwa tiga hari yang lalu, 14 Agustus 1945, kemaharajaan
Nippon telah kalah perang. Maharaja Hirohito telah menyerah kepada Amerika
Serikat dan sekutunya. Artinya kekuasaan itu ambruk dan tak punya daya—apalagi
hak—untuk mengklaim bahwa ia berdaulat di Indonesia. Jika Jepang sudah takluk,
itulah saat yang baik untuk merebut posisi. Kekuasaan harus dipindahtangankan.
Kapan lagi? Ayo, Bung, ayo! Sekarang juga kita merdeka!
Bung Karno pun
menulis. Waktu sempit. Keadaan mendesak. Para pemuda mendesak. Momentum tak
boleh dilepaskan.
Tapi setelah itu,
apa? Setelah kekuasaan berada di tangan ”bangsa Indonesia”, apa yang akan
dilakukan? Teks itu tak sempat menjelaskan. ”…mengenai pemindahan kekuasaan
d.l.l., akan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo
sesingkat-singkatnya.”
Malam itu, dan 61
tahun kemudian, kita tahu bahwa bangsa ini harus merdeka; sudah berpuluh-puluh
tahun ia ingin bebas dari penjajahan. Tapi agaknya tak ada yang tahu bagaimana
caranya menyelenggarakan pelbagai hal ”dengan cara seksama” dan ”dalam
tempo sesingkat-singkatnya”. Apa pula yang dimaksud dengan kata ”d.l.l.”
di dalam kalimat itu? Apa saja yang tergolong ”dan lain-lain”?
Tak ada jawab.
Mungkin belum perlu ada jawab. Keputusan untuk memerdekakan diri malam itu
tidak berasumsi bahwa segalanya sudah tergambar persis, tinggal dikerjakan.
Keputusan itu sadar, mungkin dengan gemetar, bahwa semua dalam keadaan serba
mungkin—dan betapa mustahilnya mengelakkan momen kehidupan yang tak hanya
terbuka untuk pelbagai kesempatan, tapi juga untuk pelbagai bencana. Keputusan
malam itu bukan aplikasi sebuah program.
Dalam arti itu ia
cermin kebebasan bertindak, keberanian, juga kerendahan hati. Sebab di situlah
para pendiri Republik, yang tak 100 persen tahu apa yang akan terjadi, seraya
mengakui ketaktahuan itu melompat masuk ke dalam sejarah. Jika ada di antara
mereka yang seperti Hamlet, yang bimbang dan tak henti-hentinya merenung,
akhirnya toh berkesimpulan, bahwa berlarut-larut dalam pikiran, ”sebagian
membuat kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut,” seperti kata
pangeran Denmark dalam lakon Shakespeare itu.
Di dalam huruf ”d.l.l.”
itulah tampak revolusi Indonesia bukanlah sebuah revolusi Leninis. Ia tak
bertolak dari teori. Ia juga bukan seperti Revolusi Iran, yang berangkat dari
ajar-an dan petuah Ayatullah Khomeini. Bahkan jika proklamasi itu bisa dianggap
bagian penting dari revolusi kita, ia ekspresi sebuah pragmatisme yang lebih
radikal ketimbang Revolusi Amerika. Pada tanggal 17 Agustus itu, para pendiri
Republik kita menampik ”teori penonton” tentang pengetahuan.
Teori itu, kata
pelopor pragmatisme modern, Dewey, memanjakan ilusi ini: menganggap manusia,
dari tempat duduknya di ketinggian, bisa menentukan kebenaran abadi tentang
perikehidupannya. Padahal yang ”benar” tak dapat dipisahkan dari laku. Bagi
kaum pragmatis, hanya dengan laku kita dapat menemukan pijakan pengetahuan
tentang dunia.
”D.l.l”
adalah pengakuan, jika ”kemer-de-ka-an” adalah sebuah wacana, ia sebuah wacana
yang belum selesai. Tapi lebih penting lagi naskah proklamasi itu seluruhnya
mengisya-ratkan, bahwa tak ada wacana yang bisa selesai dan memadai merangkum
hal-ihwal.
Kita baca: tak
ada pelaku atau subyek dalam kalimat ”akan diselenggarakan dengan cara
seksama…” itu. Siapa yang akan menyelenggarakan? Mungkinkah Soekarno-Hatta,
seba-gai dua orang yang menuliskan teks itu ”atas nama bangsa Indonesia”?
Bagaimana hal itu terjadi, sementara ”bangsa Indonesia” belum memilih mereka? Dan
bagaimana di malam dan pagi yang tegang itu, ketika dunia sedang berubah
dahsyat begitu Perang Dunia II berhenti, orang merumuskan apa itu ”bangsa
Indonesia”?
Pada mulanya
adalah logos, kata Alkitab. Tapi hari itu bukan: pada mulanya bukanlah sabda,
bukan ”kebenaran”, melainkan tindakan. Tak berarti proklamasi itu sebuah
loncatan maut dari kekosongan penuh, tanpa bayangan apa pun mengenai tujuan.
Pada bulan
sebelumnya sudah ada rapat-rapat panitia persiapan kemerdekaan. Tanggal 1 Juli
1945 Bung Karno merangkum kesepakatan mereka yang ikut dalam rapat persiapan
itu ke dalam sebuah kata: ”Pancasila”. Tapi ”Pancasila” pun, sebagai hasil
rembukan, mengandung apa yang kemudian tersirat dalam huruf ”d.l.l” itu:
tak ada asas yang layak meniadakan asas yang lain, sebab di dalam kehidupan
bersama yang lebih bebas dan lebih adil, selalu ada ”dan-lain-lain” yang
muncul, tak terduga-duga, terkadang terasa ganjil. Tak ada wacana yang tak akan
digugat oleh mereka yang tak tertampung.…
Teks proklamasi
itu sederet kata yang bergegas. Tapi keadaan genting yang melahirkannya
mengingatkan: hidup, juga hidup sebuah bangsa, terdiri dari saat-saat yang tak
pernah sempurna. Hidup selalu mengandung ”dan lain-lain” yang belum tercatat.
Sebab itu kita harus terbuka, berseru kepada Republik ini, ”bangunlah jiwanya,
bangunlah jiwanya….” (*) [Agustus 21, 2006]
~Majalah Tempo Edisi. 26, 21 – 27
Agustus 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/08/21/dll/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar