ADA yang
menyebutnya ”Napoleon”. Ia memang pendek, bulat, berkibar-kibar dalam tiap
konfrontasi, tangkas, dan agresif. Kini tak banyak orang yang masih mengingat
sosok dan namanya, tapi pada tahun 1950-an, Kiai Haji Isa Anshary, tokoh Partai
Masyumi dari Jawa Barat itu, merupakan tonggak tersendiri di Indonesia: orang
mengaguminya atau memandangnya dengan cemas. Terutama waku itu, ketika gagasan
untuk mendirikan ”negara Islam” dipergulatkan dalam perdebatan politik dan
persaingan yang terbuka.
Pada tahun 1955,
Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum pertama secara nasional. Para
sejarawan mencatatnya sebagai ikhtiar besar pertama kita yang berhasil dalam
kehidupan demokrasi, sebab tak tercatat kecurangan dan praktis tak terjadi
kekerasan selama kompetisi politik itu berlangsung.
api tak berarti
api tak mulai merayap dalam sekam kehidupan masyarakat. Retorika bisa begitu
berkobar dan percikannya bukannya lekas padam di ruang hampa. Dalam hal ini,
ucapan-ucapan Isa Anshary punya efek bakar yang agaknya jauh—yang mungkin kelak
ikut membuat suasana eksplosif di Indonesia setelah 1959.
Dari pemilihan
1955, ia dipilih jadi anggota Konstituante, dewan perwakilan yang bertugas
merumuskan konstitusi. Ketika pada November 1956 sampai Juni 1959 perdebatan
berlangsung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar negara, Pancasila
atau Islam—pelbagai argumen dikemukakan oleh masing-masing pendukungnya.
Banyak yang
cemerlang, banyak yang membosankan, tapi sedikit yang segalak pidato Isa
Anshary dalam majelis yang bersidang di Bandung itu:
”Kalau
saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam,
kawin secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam
sebagai Dasar Negara. [Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila
itu lebih baik dari Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal dari
Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum Islam itu tidak dan
tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian itu murtadlah dia dari
Agama, kembalilah menjadi kafir, haram je-nazahnya dikuburkan secara Islam,
tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….
Pidato itu,
dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang
diterbitkan Sekretariat Konstituante—dan dikutip dalam buku Adnan Buyung
Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia—sebenarnya tak
menunjukkan perkembangan baru dalam sikap Isa Anshary. Sudah pada tahun 1951,
dalam majalah Hikmah, ia menyatakan, ”Hanya orang yang sudah bejat moral, iman
dan Islamnya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”
Tentu harus
dicatat bahwa Isa Anshary, ”Napoleon” itu, tak memilih jalan perjuangan
bersenjata untuk itu; ia dan partainya, Masyumi, membedakan diri dari cara
Darul Islam yang pada masa itu bergerilya hendak merobohkan Republik dari hutan-hutan
Jawa Barat. Namun mungkinkah sikap yang demikian mutlak—yang mengutuk siapa
saja yang tak sependirian dengan kata ”murtad”, ”kafir”, atau setidaknya ”bejat
moral”—pada akhirnya bisa menghindar dari kehendak menampik dan menyingkirkan
secara mutlak pula?
Jarak antara
kekerasan dan sikap yang tak mengizinkan perbedaan hanya terbentang beberapa
senti—seperti terbukti dalam sejarah ketika dalil yang absolut dipergunakan
dalam bertikai. Kita tahu, riwayat agama-agama tak bersih dari darah dan
kebengisan. Tentu saja tak hanya agama: yang brutal terjadi tiap kali doktrin
tergoda jadi totaliter, ketika ajaran dijejalkan ke segala pojok hidup dan
lubuk jiwa, ketika para ahli agama—sebagaimana kaum ideolog—merasa diri jadi
penyambung lidah Yang Maha Sempurna.
Yang sering
diabaikan ialah bahwa tiap godaan totaliter, yang bermula dari bayangan tentang
kesempurnaan, selalu berakhir sia-sia. Bayangan tentang ”yang sempurna”
ini—yang oleh para psikoanalis akan disebut sebagai fantasi—pada hakikatnya
lahir dan tumbuh dari rasa risau tentang dunia yang apa boleh buat cacat.
Ketika yang cacat tak kunjung dapat dihilangkan, doktrin pun membentuk diri
dengan menciptakan apa saja yang harus dikutuk dan akhirnya dibinasakan: si
”bejat moral”, si ”fasik”, si ”murtad”, si ”kontrarevolusioner”, si
”revisionis”, ”si komunis”, ”si teroris”….
Tapi kita tahu,
daftar itu tak akan habis. Masyarakat yang total tak akan pernah tercapai.
”Negara Islam” telah dicoba dalam sejarah, tapi jawaban selalu hanya sebuah
iktikad baik yang mencoba-coba.
Sebenarnya Isa
Anshary tahu, dunia tak akan bisa dibereskan sekali pukul dan buat
selama-lamanya. Ia menganggap ”haram” pandangan Bung Karno yang melihat
gotong-royong sebagai hakikat Pancasila. Sebab di sini, menurut dia, ”Tuhan
yang Maha Esa” dilebur dalam kata ”gotong-royong”.
Dengan kata lain,
Tuhan yang Maha Sempurna tak sepatutnya dipertautkan dengan ikhtiar bersama
manusia yang masing-masing terbatas dan daif dan cacat. Tapi jika demikian,
bagaimana mungkin Tuhan diturunkan dari takhta kegaiban dan kesucian untuk
mengurus kehidupan politik yang mau tak mau harus dikerjakan oleh tangan-tangan
yang terbatas, terkadang cela? (*) [Agustus 28, 2006]
~Majalah Tempo Edisi. 27/XXXV/28
Agustus – 03 September 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/08/28/isa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar