Wartawan: Siapa filosof favorit Anda?
George W. Bush: Yesus Kristus.
Menyebut Yesus
Kristus ”filosof” adalah sebuah tindakan yang ganjil. Seorang filosof mengamati
hidup, merumuskan pandangan dan sikapnya—dan pada suatu saat digugat, dikritik,
atau dibatalkan filosof lain. Seorang Kristen lazimnya tak akan menganggap
Yesus seenteng itu. Bush, yang dalam kedudukannya sebagai Presiden Amerika
Serikat menghidupkan ”kelompok studi Injil” di Gedung Putih, tentu menyadari
itu. Tapi ia—dan juga orang-orang konservatif di sekitarnya—memang punya
kecenderungan mencampur-adukkan yang ”ilahiyah” dan yang ”duniawi”. Mereka
ingin mengalahkan pemisahan antara agama dan negara, antara agama dan
pengelolaan masyarakat, antara agama dan ilmu.
John Ashcroft,
tokoh Pantekosta yang kemudian diangkat jadi Jaksa Agung, pernah dikutip
mengatakan bahwa dinding yang memisahkan gereja dan negara adalah ”dinding
penindasan atas agama”. Garry Willis, dalam tulisannya untuk The New York
Review of Books 16 November 2006, menguraikan bagaimana pemerintahan Bush dan
orang-orang Kristen sayap kanan mencoba meluruskan—dan dengan demikian
mengobrak-abrik—pengertian tentang pelbagai hal, termasuk keadilan, yang
dibangun dari pengalaman manusia berabad-abad, pengalaman yang sering disertai
kesengsaraan dan kebodohan.
Dalam soal
diskriminasi, misalnya. Pada awal tahun 2002, Bala Keselamatan Amerika Serikat
dituntut karena mengharuskan para karyawannya meyakini ajaran Yesus. Dengan
kata lain, mereka yang tidak disisihkan dari kesempatan kerja. Di Amerika
Serikat yang dulu, penyisihan itu adalah sebuah tindakan diskriminatif. Di
Amerika Serikat pada masa Bush, apa yang dilakukan oleh Bala Keselamatan itu
termasuk ”hak-hak beragama” yang dibela.
Akan menyesatkan
apabila argumen untuk mempertahankan ”hak” itu—seperti halnya alasan
mempertahankan ”hak bersuara” dalam penyebaran ajaran ”desain cerdas” yang
dimaksudkan untuk melawan teori ilmiah tentang evolusi—berakar kepada komitmen
yang mendalam terhadap demokrasi. Saya ragu akankah Kaum Kristen Kanan, jika
mereka berkuasa, akan membiarkan teori evolusi Darwin diajarkan di sekolah.
Demokrasi bermula dari asumsi bahwa tak ada yang kekal dalam hal menentukan
siapa yang paling benar.
Ada sebuah
kejadian yang sebenarnya karikatural, tapi bukan hanya khayal. Jenderal William
(Jerry) Brown, pejabat tinggi di bidang intelijen pertahanan, jadi berita utama
ketika pada masa Perang Irak ia berpidato di pelbagai gereja dengan pakaian
tempur. Pada tahun 2000, ia bersuara berapi-api, membela Bush, membela Amerika,
dan membela apa yang dianggapnya sebagai Kristen:
”Kenapa orang ini
duduk di Gedung Putih? Mayoritas orang Amerika tak memilihnya. Kenapa ia di
sana? ….Saya katakan kepada Anda semua pagi ini: ia ada di Gedung Putih
lantaran Tuhan meletakkannya di sana dalam masa seperti ini. Tuhan
meletakkannya di sana bukan saja untuk memimpin bangsa ini, tapi juga memimpin
dunia….”
”Perang yang
dilakukan bangsa ini adalah sebuah perang spiritual, perang bagi suka kita. Dan
musuh itu adalah seseorang yang disebut Setan…. Setan itu ingin menghancurkan
kita sebagai bangsa, dan ia ingin menghancurkan Bala Tentara Kristen….”
Sebuah republik
yang merupakan desain Tuhan adalah sebuah republik yang sebenarnya mengandung
kontradiksi. Sebab pada saat ketika republik berdiri, dan seorang presiden
dipilih, yang terjadi sebenarnya adalah hilangnya asumsi bahwa Tuhan—yang
selamanya benar—telah memberi jaminan atas sesuatu yang secara hakiki tak
sempurna. Raja-raja sering dianggap sebagai penjelmaan kehendak Allah, dan
ketika mereka dimakzulkan, yang berlaku adalah keadaan yang berdasarkan dugaan
dan harapan, bukan kepastian.
Saya tidak tahu
apa yang sekarang akan dikatakan orang macam William (Jerry) Brown setelah
Perang Irak dengan jelas tak dapat dimenangkan Amerika Serikat—dan setelah
rakyat Amerika berduyun-duyun melepaskan dukungan mereka kepada pemerintahan
Bush. Brown, yang dalam versi Islam di Indonesia diwakili Abu Bakar Ba’asyir,
lebih percaya bahwa demokrasi harus diabaikan, dan titah Tuhan dapat
diterjemahkan secara memadai di atas bumi. Contoh yang sekarang tampak di
Amerika Serikat ialah contoh tentang Tuhan yang keliru: jika benar Ia meletakkan
George W. Bush di atas takhta, seraya mengabaikan kehendak mayoritas rakyat.
Garry Willis
benar ketika ia menulis: ”Ada sebuah bahaya khusus dalam sebuah perang yang
dikomando Tuhan. Bagaimana kalau Tuhan ternyata harus kalah?” Orang-orang
Kristen Kanan, seperti halnya kaum Islam Kanan, tak membayangkan itu bisa
terjadi. Mereka tak mau menerima apa yang terjadi di Irak. Mereka tak mau
menerima bahwa ketika Tuhan diasumsikan mengurus langsung kehidupan manusia,
ketika itu Tuhan dikebiri dan dipaksa jadi bagian dari kehidupan manusia. (*) [November 13, 2006]
~Majalah Tempo, Edisi. 38/XXXV/13 –
19 November 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/11/13/bush/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar