Kita tahu cerita
termasyhur ini: seorang pangeran lahir di dekat kota kecil Kapilavastu, putra
mahkota yang jerit pertamanya dari kandungan ditandai oleh keceriaan alam. Yang
dramatis dari riwayat ini ialah ketika ia dewasa, Sidharta Gautama memulai
sebuah sejarah besar dengan sebuah selamat tinggal yang radikal.
Masa lalunya,
yang ditopang takhta dan kekuasaan, dijalin lezatnya hidup di puri dan
bahagianya hidup berumah tangga, jadi masa yang terasa sebagai ilusi. Pangeran
yang lembut hati itu—meskipun dicoba dijauhkan dari dunia di luar istana yang
terlindung—telah melihat seorang yang sakit, menyaksikan orang jadi tua renta,
dan bersua dengan jenazah yang diusung. Agaknya kefanaan yang disaksikannya itu
mengguncang hatinya benar. Ia akhirnya menyadari bahwa semua itu bagian dari
hidup—yakni sebuah jurang yang dalam, di mana kematian dan ketiadaan melekat
erat dengan dan dalam diri.
Tapi yang menarik
ialah bahwa hal itu tak memberi Buddhisme—yang berangkat dari pandangan dan
pengalaman Sidharta Gautama itu—sebuah dalih untuk membinasakan hidup dan diri
sendiri. Saya bukan seorang Buddhis, dan hanya sedikit yang saya pahami tentang
agama ini, tapi jika ada yang menggugah dari dalamnya ialah bahwa seraya
melihat hidup sebagai sesuatu yang mengapung-apung di atas ketiadaan, Buddhisme
tak menyebarkan sikap yang pahit dan amarah terhadap nasib. Yang berubah ketika
kita sadar akan hal itu ialah tatapan dan gerak kita di dunia. Kita tak lagi
maju dengan bergegas ke depan, tak sabar merengkuh dan menaklukkan dunia.
Dengan menyadari bagaimana ketiadaan atau maut berada dalam inti hidup, kita
akan menyentuh dengan mesra apa yang langsung hadir di bawah kaki.
Dalam arti
tertentu, itu juga mengandung sikap bersyukur yang sederhana—sesuatu yang
dilupakan di sebuah masa ketika begitu sering sikap tak hendak mengenal syukur
berbentuk ketidaksabaran. Ketidaksabaran itulah pangkal keserakahan, hasrat
mendapatkan sebanyak-banyaknya dalam hidup, dengan lekas. Ketidaksabaran pula
yang jadi awal penaklukan dan pembasmian. Yang mengerikan di masa ini ialah
ketika ketidaksabaran mendapatkan tauladannya pada dua hal: manusia yang menang
dan Tuhan yang murka.
Manusia yang
menang—yang bisa mempengaruhi opini dunia, yang bisa menaklukkan orang lain,
yang bisa membeli hal-ihwal, dan yang bisa mengakumulasikan milik dan kuasa—itu
kita saksikan setiap hari di media, di gedung-gedung peradilan dan
pemerintahan, di pasar, di medan perang dan konflik. Sedangkan Tuhan yang murka
kita dengarkan hampir tiap pekan lewat mimbar agama yang mengancam hidup dengan
api neraka.
Tapi kita tahu
bahwa akhirnya ketidaksabaran akan terbentur dan kemenangan hanya terbatas
jangkauannya. Di situlah kesadaran akan ”sunyata”, akan apa yang suwung, sunyi
dan ”hampa” yang tersembunyi dalam hidup jadi penting untuk membentuk kesadaran
akan terbatasnya ”aku”….
Pada tahun 1922,
pengarang Jerman yang memenangkan Hadiah Nobel pada tahun 1946, Herman Hesse,
menerbitkan Siddhartha—kisah perjalanan pencarian spiritual seorang
pemuda yang akhirnya berjumpa dengan Sang Buddha sendiri. Seperti Sang Guru
yang namanya mirip dengan namanya, Siddhartha bermula dari rasa murung
dan berakhir dengan rasa tenteram pada posisi yang tak muluk.
Tapi ia tak
menjadi penganut Sang Buddha.
Ia tetap seorang
penarik perahu tambangan yang duduk mendengarkan sungai. Ada yang mengatakan ia
seorang bijaksana dengan petuah yang menyejukkan. Ia—seorang keturunan Brahmana
yang tampan dan cerdas—memang pernah jadi seorang pengembara, meninggalkan
kenikmatan dunia. Ia bahkan pernah mengikuti Buddha Gautama. Tapi tetap saja ia
tak berbahagia. Akhirnya ia tahu: tanpa mengikuti doktrin apa pun, tanpa
menganut ajaran agama apa pun, ia melebur diri dalam dunia, mengikuti gema
alam, mencari percakapan dengan air yang mengalir.
Inilah yang
dikatakannya kepada sahabatnya, Govinda: ”Aku senantiasa haus akan pengetahuan,
aku selalu menyimpan pertanyaan. Aku telah bertanya kepada para Brahmana, tahun
demi tahun, aku telah bertanya kepada Kitab Veda yang suci, tahun demi tahun….
Mungkin, wahai Govinda, akan sama hasilnya, akan sama cerdas dan
menguntungkannya, seandainya aku bertanya kepada burung tiung dan simpanse di
pohon-pohon. Begitu lama telah kujalani proses belajar, dan itu pun belum
selesai untuk memahami ini, duhai Govinda: bahwa tak ada yang harus
dipelajari!…”
Tapi tidakkah
dengan demikian yang akan tumbuh hanyalah sikap pasrah? Kesabaran yang hanya
akan berakhir dengan ketidaktahuan?
Barangkali
demikian. Tetapi barangkali juga yang hendak ditunjukkan Siddhartha yang
dihadirkan Herman Hesse adalah bahwa ada sikap takabur ketika kita melupakan
apa yang menyentuh dan kita sentuh mesra dengan kaki kita di tanah: benda-benda
bersahaja yang sesungguhnya mengandung rahmat. Mempelajari dengan melalaikan
hal-hal yang bersahaja pada akhirnya hanya akan menaklukkan apa yang di luar
diri. Itulah sebabnya Siddhartha mendengarkan arus sungai.
Ia memang
menyatakan diri tak hendak mengikuti doktrin apa pun, juga ajaran Buddha. Tapi
ada tukang perahu ini yang menyiratkan kerendahan-hati yang tersirat dalam
sikap Buddha Gautama.
Syahdan, dalam
posisi bertapa yang habis-habisan, sehingga tubuhnya nyaris rusak, Sang Buddha
mendengarkan nyanyian ini:
Dawai yang
terentang terlampau tegang akan putus, dan musik akan mati
Dawai yang
terentang kendur akan hilang bunyi, dan musik akan mati. (*) [November 20, 2006]
~Majalah Tempo Edisi. 39/XXXV/20 –
26 November 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/11/20/gautama/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar