Horor tak pernah
tampil sebagai yang normal. Juga ketika kita tak bersama cerita hantu. Dalam
kisah Flash Gordon, horor adalah Kaisar Ming; dalam film James Bond: Dr. No;
dalam wayang: raksasa berhidung grotesk.
Hari ini horor
dunia juga datang dari sosok yang ganjil, atau dianggap ganjil: sebuah republik
teka-teki, negeri di utara yang dulu disebut ”Kerajaan Pertapa” dan kini
benteng tertutup, sebuah ”demokrasi rakyat” yang menyembah seorang lelaki yang,
menurut sejarah resmi, lahir di pucuk gunung sakral ketika bintang menyilaukan.
Ia Kim Jong Il, ahli waris takhta yang tetap manja pada umur 65, pemimpin yang
disanjung dengan gelar yang muluk-muluk, penguasa yang dikelilingi jenderal
berbintang emas, kepala negara yang rakyatnya lapar tapi menantang seluruh
jagat dengan menyiapkan senjata nuklir.
Jarum jam
apokalipse itu, yang beristirahat sejak Perang Dingin selesai 20 tahun yang
lalu, kini tampak bergerak lagi. Bahkan lebih mencemaskan: ia tak jauh dari
telunjuk sang otokrat yang duduk tak terjangkau, penuh rahasia, di sebuah
istana di Kota Pyongyang. Dan horor pun bertengger di atas horor; yang
menakutkan bertaut dengan yang tak lazim.
Tapi jika horor
selalu berkait dengan yang aneh dan tak terjangkau, bukan berarti ia tak bisa
berupa kejadian sehari-hari. Ia bahkan bisa terasa banal; kita ingat Hannah
Arendt pernah berbicara tentang ”the banality of evil”.
Mungkin itulah
yang terjadi kini. Tiap malam kabar datang dari Irak tentang bom yang meledak
dan orang terbunuh berpuluh-puluh, dan kita baca dalam Lancet, jurnal
kedokteran Inggris yang ternama itu, 650.000 jiwa mati selama empat tahun sejak
Amerika menyerbu Bagdad. Berarti, 450 nyawa putus saban hari.…
Jika tak ada yang
terasa mengerikan dalam ”the deadliest international conflict of the 21st
century” ini—begitulah Perang Irak disebut dalam Lancet—mungkin karena kita
telah tumpul hati. Tapi lebih mungkin karena kebuasan itu telah ditampilkan
sebagai bagian dari ikhtiar orang yang ”normal”.
Di belakang
ikhtiar yang membawa kematian itu memang tak ada tokoh yang ganjil. Tak ada
lelaki tambun berambut disasak seperti Kim. Yang ada mereka yang
berjas-dan-dasi seperti para eksekutif di kantor yang bersih. Bahkan paras para
jenderal mereka tak menakutkan, tentara mereka tampan seperti di film
Hollywood, percakapan mereka hidup, terkadang disertai humor—penampilan yang
tersiar ke seluruh dunia dari waktu ke waktu. Mereka bukan Kaisar Ming, bukan
Dr. No. Mereka Bush, Cheney, Rumsfeld, Blair—orang-orang yang tampak rukun
beranak-istri, punya waktu senggang untuk berburu, rajin beribadat.
Tapi tidakkah
yang ”normal” sesungguhnya menutupi sesuatu dengan lupa? Lupa, dalam hal ini,
mencoba menenggelamkan ke bawah-sadar segala hal yang tak pas bila kita hendak
tampil jadi ”orang”. Jadi ”orang” artinya mengikuti pola yang dikehendaki
Mereka (dengan ”M”), kekuatan-kekuatan efektif yang menyusun tata dan
menentukan wacana. Dari wacana ”M” itulah terbentuk yang ”normal”. Orang pun
ramai-ramai ikut, meskipun (atau justru karena) di dalamnya terkandung lupa dan
represi.
Membentuk yang
”normal” memang punya kekerasan tersendiri. Sebanyak 650.000 orang mati di
Irak, dan itu bagian dari usaha Tuan Bush untuk membuat negeri itu ”normal”;
350.000 orang mati hampir sekaligus di Nagasaki dan Hiroshima, dan itu karena
yang berkuasa di Amerika ingin membentuk dunia seperti wajah mereka. Dan kita,
yang menerima itu sebagai sesuatu yang wajar, alpa bahwa ada yang mengerikan
dari lupa.
Kata
”yang-mengerikan-dari-lupa”, l’horreur de l’oubli, saya pinjam dari
Hiroshima Mon Amour. Film Alain Resnais dari tahun 1960 dengan teks Margaret
Duras ini—yang sarat dengan ingatan tentang bom ganas yang meledak pada pagi 6
Agustus 1945 itu—memang menghadirkan ketegangan antara kehancuran perang dan
percintaan, lupa dan trauma, tempat dan saat, 14 tahun setelah Hiroshima
luluh-lantak dan bangun kembali.
Seorang perempuan
datang dari Prancis ke kota itu. Ia bertemu seorang lelaki Jepang, dan mereka
bercinta. Perempuan itu hanya disebut elle, pria itu lui. Kemudian kita tahu:
elle bergulat pedih dengan masa lalunya di Nevers—kekasihnya seorang prajurit
Jerman, musuh yang akhirnya ditembak mati—dan lui dengan ingatan tentang
Hiroshima yang binasa. Tapi hanya itu yang kita tahu. Biodata mereka seakan
terhapus.
”Hiroshima, itu namamu,” kata perempuan itu.
”Namamu, untukmu, Nevers,” kata lelaki itu.
Mereka
berpelukan.
Mereka mencoba
melupakan, mereka ingin lumat. Tapi justru dalam ke-terhapus-an mereka, masa
lalu tambah mengiris, dengan cara yang sederhana. Lupa, seperti ingat, adalah
memilih mana yang disimpan dan dibuang. Tapi tak urung, yang disimpan dan yang
terhapus susup-menyusupi: ”Seperti kau, juga aku—kucoba sekuat tenaga melawan
lupa. Seperti kau, aku melupakan. Seperti kau, kuinginkan kenangan yang tak
mungkin terhibur, kenangan tentang batu dan bayang-bayang”.
Kepedihan,
kontradiksi, dan keretakan diri itulah yang menjadikan mereka tanda luka
sejarah yang dalam, saksi horor 1.000 batu dan bayang-bayang. Justru Hiroshima
yang tidak. Kota itu telah dipermak jadi ruang yang melupakan apa yang terbelah
dalam dirinya—ruang yang normal dan banal.
Banal—itu juga
yang bisa dikatakan tentang dalih Bush dan orang sejenisnya. Ketika ribuan
kematian hanya mereka anggap statistik, ketika lupa menghapusnya sebagai
tragedi, ketika kebuasan itu tak diingat sebagai akibat kesalahan fatal mereka
sendiri, yang normal dan yang ab-normal tak bisa lagi dibedakan.
Maka dunia pun
seperti menemukan kembali horor yang disangka tak ada lagi, ketika Kim muncul
tak bisa ditebak, menyeringai ke Amerika yang kewalahan, dan menggertak. Ia
memang aneh, dan senjata itu membuat kita jeri—meskipun sebenarnya belum
tercatat sudah berapa ribu orang yang mati. (*) [Oktober 30, 2006]
~Majalah Tempo Edisi. 36/XXXV/30
Oktober – 05 November 2006~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/10/30/kim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar