Ketika Orhan
belum berumur 10 tahun, ia membayangkan Tuhan sebagai seorang perempuan tua
bertudung putih.
”Tiap kali
bayangan itu muncul di depanku, aku rasakan kehadiran yang kuat, luhur dan
sublim, tapi anehnya aku tak takut-takut amat,” tutur Orhan Pamuk dalam
Istanbul (versi Inggrisnya terbit pada tahun 2005). ”Seingatku, aku tak pernah
meminta tolong Dia dan petunjuk-Nya. Aku sadar Ia tak pernah tertarik kepada
orang macam diriku. Ia hanya peduli kepada mereka yang miskin.”
Hidup novelis
Turki ini memang jauh dari mereka yang miskin. Sampai sekarang, dalam usia 54,
ia tinggal di lantai ke-4 bangunan lima tingkat yang dulu seluruhnya ditempati
keluarga besar Pamuk dan diatur seorang nenek gemuk dari tempat tidur. Dari
jendela kamar itu akan tampak Masjid Hagia Sophia, Laut Marmara, Selat
Bosphorus, Istana Topkapi—hiasan termasyhur tamasya Istanbul.
Si kaya yang aman
yang tak menganggap penting Tuhan—itulah yang tergambar dari kenangan Pamuk
tentang hidupnya di kota tua yang melankolis itu. Malah mungkin ada sikap yang
lebih radikal, jika novel Beyaz Kale (versi Inggris: The White Castle) kita
anggap mengandung anasir otobiografis si pengarang. Kakek si Faruk, sejarawan
pemabuk dalam novel ini, tak percaya kepada Tuhan tapi kepada Pencerahan Eropa.
Ia ingin membawa rasionalisme ke Turki dan menulis 48 jilid ensiklopedia. Kakek
Si Orhan sendiri gemar menyanyikan ”lagu-lagu atheis”.
Orhan sadar,
cinta Tuhan menjangkau siapa saja di rumah itu. Tapi ia juga tahu: ”orang macam
kami cukup beruntung tak membutuhkannya”. Bagi si kecil ini, Tuhan ada buat
menolong mereka yang kesakitan, menawarkan rasa senang kepada mereka yang tak
punya uang untuk mendidik anak, membantu para pengemis yang tak henti-hentinya
menyebut nama-Nya.
Kesalehan dan
kemiskinan, kelas atas dan kemungkaran—pola ini, yang dalam variasi berbeda
juga pernah tampak di Indonesia, (dengan lapisan aristokrat yang dekat dengan
Belanda dan orang kebanyakan yang mendapatkan kekuatan dari Islam)—dihadirkan
Pamuk dengan sedikit sayu, sedikit cemooh, tapi penuh empati.
Dalam Istanbul
ada Esma Hanim, misalnya, si batur yang tiap waktu senggang akan cepat-cepat ke
biliknya untuk menggelar sajadah dan bersembahyang. ”Tiap kali ia merasa
bahagia, sedih, takut, atau marah, ia akan teringat Tuhan,” tulis Pamuk tentang
pelayan pada masa kecilnya itu. ”Tiap kali ia membuka atau menutup pintu…, ia
akan menyebut nama-Nya dan kemudian membisikkan beberapa kata lain,
lirih-lirih.”
Umumnya keluarga Pamuk—yang tak pernah berpuasa pada bulan Ramadan tapi menyiapkan berbuka dengan gairah—menerima sikap itu dengan nyaman. ”Bahkan bisa dikatakan, kami merasa lega orang-orang miskin itu bergantung pada… kekuatan lain yang membantu mereka menanggungkan beban.”
Umumnya keluarga Pamuk—yang tak pernah berpuasa pada bulan Ramadan tapi menyiapkan berbuka dengan gairah—menerima sikap itu dengan nyaman. ”Bahkan bisa dikatakan, kami merasa lega orang-orang miskin itu bergantung pada… kekuatan lain yang membantu mereka menanggungkan beban.”
Tentu saja ada
rasa waswas, ”kalau-kalau orang miskin itu bisa menggunakan hubungan khusus
mereka dengan Tuhan untuk menghadapi kami”.
”Hubungan khusus”
itulah yang memang kemudian dipakai mereka yang melarat dalam Kar, (versi
Inggrisnya, Snow, terbit pada tahun 2005), novel tentang seorang penyair yang
datang ke sebuah kota miskin di perbatasan. Di kota itu mereka yang merasa
terhina oleh dunia modern, oleh ”Eropa”, memperkuat diri dalam ”Islam” dan
dengan amarah. Tapi bagaimana akhirnya tak jelas. Mereka tak hanya dituduh
anti-Turki, tapi juga anti-masa depan—masa depan yang digariskan Kemal
Attaturk: Turki yang ”modern” dan ”sekuler”.
Dalam arti
tertentu, karya Pamuk adalah gema Turki dan benturan
”sekuler-dan-Islam”-nya—mirip dengan yang di Indonesia berbentuk pergulatan
”Timur-Barat”. Tapi novel-novel Pamuk jauh lebih dalam dan lebih tak
terduga-duga ketimbang karya para penulis dari jenis yang di sini diwakili Siti
Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang—yang sejak tahun 1920-an tak putus
dirundung ketegangan orang ”Timur” yang harus memilih, atau menampik, yang
”modern”.
Pamuk merasakan
ketegangan macam itu, tapi ia sen-diri tak ikut tegang. Ia pernah mengatakan,
di dunia tak ada orang yang menganggap diri sepenuhnya ”Timur”. Ketika ia
ditanya apa artinya itu, Pamuk menjawab: ”Saya tak tahu. Biarlah saya nikmati
dulu yang puitik dari keadaan itu—keanehannya. Mari kita tak usah memahaminya.”
Yang puitik, yang
”aneh”, yang tak harus 100 persen dipahami, memang hadir dalam prosa Pamuk yang
bisa halus, bisa kocak, bisa cemerlang, dan bisa mengejutkan itu.
Dalam Benim Adm Krmz (My Name is Red), pelbagai karakter bicara dalam sebuah cerita pembunuhan pada abad ke-16—termasuk si korban (”Aku sebuah mayat”), si pembunuh yang tak bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya yang mula-mula realistis kita langsung masuk ke kisah si Hitam yang melakukan apa saja dalam waktu sepekan: menyeberangi Bosphorus, cerai lewat pengadilan, kawin secara meriah, memandikan mayat, dan potong rambut….
Dalam Benim Adm Krmz (My Name is Red), pelbagai karakter bicara dalam sebuah cerita pembunuhan pada abad ke-16—termasuk si korban (”Aku sebuah mayat”), si pembunuh yang tak bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya yang mula-mula realistis kita langsung masuk ke kisah si Hitam yang melakukan apa saja dalam waktu sepekan: menyeberangi Bosphorus, cerai lewat pengadilan, kawin secara meriah, memandikan mayat, dan potong rambut….
Atau dalam The
White Castle: sosok si Hoja persis sama dengan seorang Italia yang ditangkap
dan dipekerjakan di Kesultanan Turki. Bahkan akhirnya Hoja jadi si Italia,
pulang ke Venezia dan si Italia jadi Hoja. Seperti Galip yang akhirnya jadi
Jelal dalam Kara Kitap (The Black Book), ”watak” tokoh dalam novel Pamuk seakan-akan
tak ada, selalu dalam proses, dan narasi bergerak ke tujuan yang tak begitu
jelas.
Pamuk memang
membedakan diri dari banyak pengarang di Dunia Ketiga, pengarang ”realis yang
datar” yang ”merasa sastra harus melayani moralitas atau politik”. Ia menampik
sastra macam yang di Indonesia dianjurkan Pramoedya Ananta Toer: ”Saya tak
pernah menginginkan model realisme sosialis Steinbeck dan Gorky”.
Ia, pemenang
Nobel 2006 buat kesusastraan, memang suara dari dan bagi zaman yang tahu diri:
tiap ikhtiar manusia untuk mengubah dunia dengan sastra (salah satu bentuk
iradah modernitas) akhirnya gagal—seperti meriam dalam Beyaz Kale yang dibawa
pasukan Turki untuk merebut kastil putih Polandia. Senjata modern itu terbenam
dalam lumpur. (*) [Oktober 18, 2006]
~ Edisi. 35/XXXV/18 – 24 Oktober
2006 ~
Sumber:
http://caping.wordpress.com/2006/10/18/pamuk/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar