Judul:
Meluruskan Kesalahan Buku Putih Kyai NU
Penulis: Tim FBMPP Kediri Penerbit: Bina Aswaja Distributor: Khalista Surabaya Cetakan: I Mei 2011 Tebal: 292 Halaman Peresensi: Junaidi*) |
Kontroversi di
dalam hidup ini seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Baik itu konfrontasi
antar individu, kelompok, golongan, ras, dan lembaga-lembaga tertentu. Setiap
individu, kelompok, golongan, ataupun ras sudah tentu memiliki
pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan yang lain mengenai suatu hal tertentu.
Seperti halnya
dengan pemahaman di dalam agama Islam mengenai suatu ayat, banyak mengalami
kontroversi yang tidak dapat untuk dipungkiri keberadaannya. Dalam tokoh pemuka
agama Islam mengenai suatu hukum antara imam Malik dan imam Syafi’ie sudah
mengalami kontroversi yang sangat hebat, padahal mereka adalah antara guru
dengan murid, tetapi apa yang menjadi hujjah
(dalil) adalah rasional dengan dalil-dalil yang dilontarkan oleh
pihak masing-masing. Namun, tidak hanya di dalam agama saja kontroversi itu
terjadi, di masyarakat pun kerap terjadi perselisihan yang berdampak pada
pertikaian akibat perbedaan sebuah pendapat. Yang perlu kita pahami terlebih
dahulu dalam memastikan suatu hukum/keputusan adalah harus rasional dan
disertai dengan dalil-dalil yang kuat dan mendukung terhapadap keputusan yang
kita putuskan.
Di dalam buku ini
penulis memberikan sebuah pemahaman tentang ibadah dan bid’ah. Dalam perjalanan
orang-orang Wahhabi, mereka tidak akan lelah dalam memperjuangkan dan
membuktikan paham yang mereka ikuti. Dengan berbagai cara mereka menjadikan
‘seseorang’ yang kabarnya tidak bisa membaca kitab kuning sebagai kambing hitam
(penulis fiktif) untuk memperjuangkan dan menyebarkan paham Wahhabi dalam hal
ibadah dan bid’ah. Kaum Wahhabi memiliki konsep yang berbeda dengan mayoritas
kaum Muslimin yang tidak pernah berhenti membid’ahkan yang beragam amaliyah
yang mengakar kuat sejak lahirnya agama Islam.
Para ulama
mendefinisikan ibadah dengan suatu ketaatan disertai ketundukan, puncak
kekhusyukan dan kerendahan diri atau dengan kata lain puncak khudlu’dan tadzallul
(ketundukan dan merendah diri). Menurut pendapat imam al-Azhar, ibadah adalah
ketundukan yang disertai dengan kerendahan hati. Kita bisa memberikan sebuah
konklusi bahwa ibadah adalah puncak dari ketundukan, ketaatan, dan kerenadahan
diri yang hanya layak untuk lota lakukan kepada Allah Swt. Oleh karena itu,
amaliyah yang dilakukan oleh ummat Islam, khususnya warga Nahdliyyin seperti
halnya tabarruk (mengharap barokah), tawassul (sambung doa kepada orang lain terlebih-lebih
kepada orang yang telah meninggal dunia), dan lain sebagainya tidak
dikategorikan sebagai perbuatan syirik.
Dalam menilai suatu
ibadah kita tidak diperkenankan terlalu gegabah untuk menuduh syirik kepada
seseorang, karena suatu ibadah dikatergorikan syirik atau tidaknya dilihat dari
keyakinan pelakunya. Jika ia meyakini bahwa ibadah yang ia lakukan dapat
memberikan kemanfaatan ataupun marabahaya, maka ibadah tersebut ternasuk
perilaku syirik. Namun, jika orang tersebut berkeyakinan bahwa semua yang bisa
memberikan manfaat atau marabahaya hanyalah Allah Swt, maka ibadah yang ia
lakukan jelas tidak bisa dikatakan syirik.
Pembahasan di dalam
buku ini tentang bid’ah tidak kalah pentingnya dengan ibadah. Tim FBMPP Kediri
mendefinisikan bid’ah, secara terminologi, bid’ah dapat diartikan sebagai
sebuah tindakan yang tidak pernah dilakukan di masa nabi Muhammad Saw., dan
tidak ada kejelasannya di dalam Alquran maupun Alhadits.
Namun, yang perlu
kita ketahui dan pahami bahwasanya tidak semua bid’ah itu jelek, namun bid’ah
ada yang baik. Jadi, segala sesuatu yang belum pernah dilakukan sejak pada masa
nabi Muhammad Saw., atau belum pernah adanya kejelasan dari Alquran maupun
Alhadits bukan berarti semua bid’ah/haram sebagaimana yang ditegaskan oleh
penulis buku “Buku Putih Kyai NU”, sehingga penilaian bid’ah dengan tanpa
pemilihan merupakan pangkaburan terhadap hukum syari’ah Islam.
Dalam upaya menilai
sesat warga Nahdliyyin, penulis Buku Putih Kyai NU ini tidak segan-segan
mengumbar kata-kata general bahwa semua bid’ah adalah sesat. Implikasinya semua
amaliyah warga Nahdliyyin yang telah diwariskan dari ulama’ salaf terdahulu ia
katakana bid’ah. Ia sendiri telah mengaku kalau sekarang telah keluar dari
perilaku syirik.
Hal ini berarti
pengakuan bahwa ia sebelumnya telah berkubang dalam lumpur bid’ah dan
kemusyrikan. Padahal ia sendiri telah terjebak dalam kesesatan paham Wahhabi.
Dia tidak menyadari apa yang telah ia perbuat dalam kesehariaanya. Jika memang
akan memfonis seseorang dengan perilaku bid’ah, sebenarnya dirinya itu telah
mealakukan bid’ah, seperti makan nasi, pada masa nabi Muhammad Saw. tidak ada
nasi, yang ada hanya roti atau kurma sebagai makanan pokoknya.
Buku yang berjudul “Meluruskan Kesalahan Buku Putih
Kyai NU” dikemas dengan beberapa pemikiran-pemikiran yang bisa
diterima oleh akal dan masyarakat luas mengenai suatu pendapat dalam buku “Buku Putih Kyai NU” yang
dianggap telah menyimpang dan tidak sesuai dengan kehidupan ummat Islam,
khususnya warga Nahdliyyin yang ada di Indonesia ini.
Selama ini, ummat
Islam warga Nahdliyyin yang membaca buku “Buku
Putih Kyai NU” merasa diresahkan dengan sebuah pendapat penulisnya
yang mengkafirkan pelaku bid’ah, seperti membaca tahlil, tawassul kepada orang
yang telah meninggal dunia. Padahal itu merupakan sebuah perantara dengan
meminta sambung doa, agar doa kita terkabulkan oleh Allah Swt.
Buku ini selain
memberikan pelurusan terhadap buku yang berjudul “Buku Putih Kyai NU” yang isinya
mengkafirkan para pelaku bid’ah (Wahhabisme), juga memberikan sumbangsih bagi
kita sebagai pembaca dalam hal mengutarakan sebuah pendapat dengan rasional dan
bisa diterima oleh masyarakat luas. Buku ini memberikan contoh-contoh yang bisa
kita jadikan sebagai pegangan hidup mengenai pendapat yang irrasional kemudian
diluruskan menggunakan pendapat lain yang rasional dengan menggunakan
dalil-dalil yang cukup mendukung.
*) Mahasiswa
Department of English Literary IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar