Judul Buku: Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan
Berbangsa
Penulis: As’ad Said Ali Pengantar: KH A. Mustofa Bisri Penerbit: LP3ES Jakarta Cetakan: I, Februari 2009 Tebal: 340 halaman + xxxii Peresensi: A. Khoirul Anam |
Pada saat
era reformasi “dibunyikan” sebagian elemen bangsa ini masih trauma dengan
Pancasila. Praktis pada masa Orde Baru Pancasila hanya menjadi milik
pemerintah. Rakyat tidak diperkenankan memberikan interpretasi terhadap
Pancasila. Anak-anak sekolah diwajibkan mengikuti penataran Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai interpretasi tunggal Pancasila. Semua
organisasi dan partai politik diharuskan mencantumkan Pancasila sebagai asas,
namun tidak diperkenankan menjelaskan apapun tentang Pancasila. Yang miris,
Pancasila menjadi alat untuk membungkam orang-orang yang kritis; yang berbeda
dengan pemerintah dianggap tidak pancasilais.
Kini
Pancasila telah dikembalikan kepada rakyat Indonesia. Sebagian elemen bangsa
masih segan mengambil kembali miliknya. Sebagian langsung menyambut hangat
Pancasila sebagai ”tenaga dalam” untuk membangunkan kembali bangsa Indonesia
dari masa krisis. Namun betapapun dan dalam kondisi apapun tidak ada yang
sanggup untuk tidak mengindahkan Pancasila, yang berarti lima sila yakni ”Ketuhanan
Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia;
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Lima sila ini juga dicantumkan dalam teks Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD)
1945.
Buku “Negara
Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa” yang ditulis oleh As’ad Said Ali
berhasil menunjukkan fakta bahwa dalam kondisi apa pun tidak ada elemen bangsa
ini yang sanggup melepaskan Pancasila dari genggaman bangsa Indonesia. Ingin
pun tidak. Karena menyingkirkan Pancasila berarti juga memusnahkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia Indonesia (NKRI). Tidak.
Pancasila
adalah landasan yang kokoh bagi suatu bangsa besar yang multi etnik, multi
agama, ribuan pulau dan kaya sumber daya alam. As’ad menyebut Pancasila sebagai
titik pertemuan atau nuqthotul liqo’ yang lahir dari suatu kesadaran
bersama pada saat krisis. Dan kesadaran ini muncul dari kesediaan berkorban
demi kepentingan yang besar membentuk negara besar. Pancasila merupakan
konsensus dasar yang menjadi syarat utama terbentuknya bangsa Indonesia.
Pancasila
merupakan nuqthotul liqo’ pada saat terjadi perdebatan yang sangat alot
mengenai dasar negara; antara yang menginginkan Indonesia menjadi negara
sekuler dan agama, dalam hal ini Islam sebagai agama yang dianut mayoritas
bangsa Indonesia. Para tokoh umat Islam dengan berbesar hati untuk mengakui
menerima kenyataan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya menganut satu agama atau
kepercayaan. KH Wahid Hasyim, Ketua PBNU pada saat sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mendukung Pancasila
sebagai dasar negara bahkan merelakan perubahan sila pertama yang dirumuskan
dengan bersusah payah: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Buku
setebal 340 halaman yang ditulis Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu
dengan sangat baik menunjukkan suasana tegang, emosi, dan haru pada saat proses
perumusan dasar negara. Persoalan beragama kemudian diselesaikan dalam rumusan
imajinatif ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sila pertama Pancasila. Para tokoh Islam
berhasil meyakinkan umat bahwa Islam itu lebih luas dari sekedar negara.
Pancasila tidak dilarang karena berdasarkan kaidah fikih al-ashlu fil assya'
al-ibahah hatta yadulla ad-dalil at-tahrim, bahwa sesuatu itu tidak
dilarang selama tidak ada petunjuk agama yang melarangnya. Para ulama berhasil
memberikan pemahaman yang arif bahwa Indonesia adalah negara yang berkarakter
religius namun bukan negara agama. Indonesia adalah Negara Pancasila. Dan
ajaran Islam telah merasuk kedalamnya.
Pada saat
pemerintah orde baru secara sepihak memaksakan interpretasi tentang Pancasila
dan mengharuskan Pancasila menjadi asas tunggal para ulama menyatakan “Siap!”.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo, 21 Desember 1983,
para pemimpin NU berhasil merumuskan Deklarasi tentang Hubungan antara
Pancasila dan Islam:
“1.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama,
tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama; 2. Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar
Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD)
1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian
keimanan dalam Islam; 3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan
syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara
manusia; 4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya
umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya; 5. Sebagai kondisi
dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang
Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.”
Penerimaan
asas tunggal Pancasila ini, terutama pada poin kelima dalam deklarasi tersebut,
adalah upaya politis para ulama agar tidak dipedaya oleh pemerintah yang maunya
menjadikan Pancasila sebagai milik pribadi.
Lebih
lanjut, dalam buku “Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa” itu
secara optimis dan penuh percata diri bahkan penulis buku ini mengatakan bahwa
Pancasila memberikan inspirasi bagi bangsa-bangsa lain untuk memecahkan masalah
dasar konstitusi yan mereka hadapi, terutama terkait persoalan agama. Pada 1924
Turki tidak tahan dengan kesultanan Islam dan berbalik arah menjadi negara
sekuler pertama di tengah masyarakat Muslim. Sementara di wilayah Asia Selatan,
Pakistan yang berdiri di atas wilayah dinasti Mogul akhirnya memilih menjadi negara
Islam. Ada dua arus pemikiran besar yang bersaing saat menuju kemerdekaan
antara Ali jinnah sebagai representasi gagasan negara sekuler dan Maududi
sebagai representasi pengembangan gagsan negara agama. Toh akhirnya Pakistan
memilih jalan negara islam setelah gagal mensenyawakan keduanya dalam format
yang solutif untuk sebuah dasar negara yang modern.
Pancasila
adalah nilai yang digali dari bangsa Indonesia sendiri pada saat terjadi
perdebatan apakah hendak menjadikan Indonesia seperti layaknya negara barat
yang maju, apakah menjadikan Indonesia seperti negara sosialis atau kapitalis.
Pengalaman sejarah membuktikan bahwa berpegang teguh pada nilai luhur budaya
sendiri merupakan sumber kekuatan. Penulis menunjuk Jepang, Korea, China dan
India yang berdiri tangguh
Meski
merupakan nilai yang digali dari bangsa Indonesia sendiri, bukan berarti
Pancasila menjadi azimat. Sebagai ideologi negara yang bersanding dengan
ideologi-ideologi besar di dunia, Pancasila adalah ideologi yang terbuka.
Interpretasi Pancasila tidak boleh tunggal seperti P4-nya orde baru yang
disinggung sekilas di atas. Rakyat Indonesia berhak mengajukan interpretasi
mengenai Pancasila sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila sila-sila
dalam Pancasila itu sendiri.
As’ad Said
Ali dalam buku yang diterbitkan LP3ES itu juga mengkritik beberapa interpretasi
Pancasila yang “kebablasan” pada era reformasi. Misalnya, beberapa materi dalam
amandemen UUD 1945 memang dilakukan sekedar reaksi dari ketidakpuasan terhadap
masa orde baru. Banyak hal dalam orde baru diubah begitu saja. Akibatnya sistem
kerakyatan atau demokrasi yang dirumuskan seperti “asal comot”, campur baur dan
sangat teoritik, tidak berusaha menyempurkan konsep Demokrasi Pancasila yang
telah digagas sejak awal. Kata As'ad, perubahan itu ternyata tidak berpengaruh
dalam menyejahterakan rakyat Indonesia.
Kebablasan
serupa juga terjadi sebelumnya pada masa orde baru. As’ad menyebut “Konsep
Ekonomi Pasar Terkelola” yang dirumuskan oleh para birokrat ekonomi yang
tergabung dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) atas intruksi Presiden
Soeharto, sama sekali tidak menyinggung mengenai koperasi yang diamanatkan
dalam UUD 1945 dan oleh para pendiri negara ini ditetapkan sebagai soko guru
perekonomian Indonesia. Ada banyak kebablasan yang perlu diluruskan.
Akhirnya,
buku “Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa” sangat layak
dibaca. Meski sangat terkesan hati-hati dan “tidak apa adanya” dalam
menjelaskan keterkaitan antara para perumus kebijakan negeri ini dengan
berbagai ideologi besar yang berkembang dan sangat dominan di dunia, namun
berbagai pergulatan dalam merumuskan kebijakan dari masa ke masa, atau dalam
menginterpretasikan Pancasila dipaparkan dengan sangat baik dalam buku ini.
Buku ini juga sangat menarik dicerna oleh umat Islam yang mayoritas di negeri
ini. Bukan saja karena sebagaian besar pembahasan terkait dengan pergulatan
konsep bernegara dan beragama (Islam) yang kemudian dipertemukan dalam satu nuqthotul
liqo’ bernama Pancasila, tetapi karena ditulis dengan menyertakan
istilah-istilah khusus yang sudah dikenal baik oleh kaum santri. Sepertinya ada
satu pengharapan penulis, bahwa secara bertahap Pancasila teruslah menjadi
spirit dalam mewujudkan “negara kesejahteraan” Indonesia! [*]
*) Peresensi adalah wartawan NU Online
SUmber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar