Judul Buku: NU dalam Perspektif
Sejarah & Ajaran
(Refleksi 65 tahun ikut NU)
Penulis: KH. Abdul Muchith Muzadi Penerbit: Khalista Surabaya Edisi: 2006 Tebal: 173 + x halaman Peresensi: Rijal Mumazziq Z |
DALAM
satu kesempatan (yang dinukil kembali dalam salah satu halaman buku ini), KH.
Abdul Muchith Muzadi melontarkan parikena yang cukup mengundang senyum namun
juga telak menyindir warga NU: “Justru karena besarnya jumlah anggota pengikut,
maka NU tidak dapat bergerak maju dengan cepat.”
Itulah
sekilas ungkapan khas Kiai Muchith dalam menyampaikan kritikannya, melalui
humor cerdas namun telak menyindir obyek kritikan. Begitu pula saat Kiai sepuh
ini menyampaikan gagasan-gagasannya, adakalanya dilontarkan dengan gaya
parikena, melalui kiasan, maupun secara reflektif-konstruktif, baik melalui
lisan maupun tulisan.
Model
penyampaian ide Kiai Muchit seperti amsal di atas, dapat ditemui dalam buku “NU
dalam Perspektif Sejarah & Ajaran; (refleksi 65 tahun Ikut NU)”, yang
merefleksikan pengalaman kiai Muchith selama 65 tahun mengabdi NU. Salah
seorang Mustasyar PBNU ini cukup sistemastis dalam mengolah dan menyajikan
beberapa pokok pemikirannya.
Kakak
kandung Ketua Umum PBNU ini membagi rangkaian tulisannya ke dalam dua bab;
Memahami NU Lebih Utuh serta Sinergi Ajaran dan Pemahaman Agama. Sebagai
“Sejarawan NU”, Mbah Muchith tampak begitu mahir dalam mengolah benak pembaca
menerobos ruang dan waktu sejarah yang memayungi NU. Adapun sebagai “Sesepuh
NU”, Mbah Muchith begitu semangat mengupas jatidiri dan esensi NU. Inilah yang
menyebabkan buku ini layak dilahap dengan pikiran cerdas dalam memahami jeroan
NU.
Selama
65 tahun bergabung NU, kiai asal Jember ini mengalami pahit-manisnya bersama NU
sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang, Revolusi fisik, Orde Baru hingga
Reformasi. Sebuah pengalaman berharga yang banyak mempengaruhi pemikiran kiai
kelahiran Tuban ini saat mengemukakan gagasannya. Sebagai salah satu tokoh NU
yang dituakan, beliau terlihat cukup rancak dan luwes “menjaga gawang NU”, baik
saat digoyang maupun saat NU dalam posisi mapan.
Pendidikan
dan pengalaman berorganisasi kaum nahdliyyin masih sangat minim. Sebagai ormas
terbesar di Indonesia alangkah eman-nya jika NU tidak mampu mempengaruhi corak
dan arah pendidikan Indonesia. Organisasi yang secara kuantitatif menjadi
mayoritas, namun belum mampu menjadi kekuatan dominan, secara kualitatif.
Begitulah salah satu kritiknya.
Kritik
yang dilontarkan Kiai Muchith, tentunya merupakan salah satu wujud kecintaan beliau
pada NU. Sebab, sebagai ormas yang memiliki basis massa kuat, NU seharusnya
malu jika kuantitasnya tidak diiringi dengan kualitas yang bagus. Atau saat
Kiai Muchith mencermati proses kaderisasi di NU, beliau cukup prihatin. Mengapa
sebagai ormas yang sudah menapak usia 80 tahun, NU masih amburadul, dari segi
administrasi-organisasi. Lebih lanjut, beliau menyebut bahwa kebiasaan
ber-paguyuban di kalangan pengurus NU, tidak berorganisasi secara tertib,
disiplin dan profesional merupakan beberapa faktor penghambat keprofesionalan
jamiyyah NU. Hingga kemudian kebiasaan ini mendarah daging di kalangan NU,
salah satu sebabnya adalah “warga yang diurus” terlalu banyak, namun yang
“mengurusi” terlalu minim.
Sebagai
sesepuh, Kiai Muchith cukup apresiatif saat mengemukakan ide bahwa NU jam’iyyah
(organisasi) dan NU jamaah (warga nahdliyyin) haruslah terjadi proses interaksi
yang cukup berimbang. Sebab, keduanya adalah kekuatan riil NU. NU jam’iyyah
tanpa NU jamaah adalah impossible. Namun, jamaah NU tanpa jamiyyah NU
akan menjadi golongan manusia yang dapat diombang-ambingkan kelompok lain.
Bagaimana kemudian mengatur dan mengawinkan kedua wajah NU tersebut, tentu
membutuhkan semangat, tekad dan kerja keras dari seluruh warga NU.
Saat
membahas butir khittah 1926, Kiai Muchith menyentil kelahiran PKB, yang
kemudian memunculkan interpretasi baru atas khittah, terutama terkait dengan
butir 8 alinea 6 naskah Khittah NU, yaitu “NU sebagai jamiyyah, secara
organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatan yang manapun juga.” Nah, inilah yang kemudian menimbulkan
kekhawatiran dan pro-kontra dari kalangan nahdliyyin sendiri. Apakah NU harus
terseret ke politik praktis lagi? Bagaimana kedudukan PKB di tubuh NU? Apakah
malah tidak merugikan gerak NU sendiri? Apakah tidak “menghianati” khittah 1926
itu sendiri? Semua jawaban dirangkai dengan bahasa cukup arif dan sederhana
oleh Kiai Muchith dalam buku ini. [*]
*)
Alumnus PP. Mabdaul Maarif Jember
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar