Judul Buku: Negara Di Persimpangan Jalan
Kampusku
Penulis: Hani Raihana Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: I, 2007 Tebal: 154 halaman |
Sudah
bukan rahasia lagi kalau saat ini kita bisa menyaksikan situasi lalu lintas di
jalan raya, terutama jalan-jalan di kota besar nampak sangat padat. Kepadatan
terjadi bukan hanya pada jam-jam tertentu tapi juga pada hampir sepanjang hari
selama tujuh hari dalam seminggu. Bahkan bagi masyarakat yang tinggal di
Jakarta, sering menemui kepadatan dan kemacetan pada malam hari.
Seorang
kawan saya yang tinggal di daerah Ciputat misalnya, selalu mengeluhkan situasi
jalan raya pada malam hari, karena walaupun sudah larut malam tapi kemacetan
toch tetap saja terjadi. Pemandangan kemacetan panjang bukan hanya terjadi di
jalan-jalan biasa tetapi juga di jalan bebas hambatan (tol).
Bisa
kita lihat pada jam kerja di jalur bebas hambatan Jln Prof Dr Ir Sediatmo,
Jakarta kemacetan sering nampak amat parah. Antrian kendaraan di jalan bebas
hambatan ini bisa mencapai beberapa kilometer, sehingga para pengguna jalan
harus sabar berjam-jam di dalam kendaraan.
Alasan
kemacetan ini bisa bermacam-macam, seperti, traffic-light rusak, aksi Pak Ogah,
jalan berlubang, kendaraan mogok di tengah jalan, terlalu banyaknya kendaraan
di jalan, dan sekian banyak alasan lainnya.
Dari
hari ke hari pelanggaran rambu-rambu lalu lintas semakin memprihatinkan. Selain
bisa kita amati sendiri perkembangannya setiap hari, kecenderungan berkurangnya
ketertiban pengguna jalan bisa kita lacak dari maraknya surat-surat pembaca di
media massa yang isinya mengeluhkan keadaan ini.
Peraturan
pada dasarnya dibuat dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan manusia. Coba
kita bayangkan bila di jalanan tidak ada peraturan, tidak ada rambu-rambu lalu
lintas, dapat dipastikan setiap pengguna jalan akan berbuat seenaknya sendiri
tanpa mau mengindahkan kepentingan orang lain.
Setelah
peraturan dibuat ternyata tidak ada jaminan bahwa peraturan tersebut akan
dipatuhi. Coba kita lihat kondisi di Indonesia. Rambu-rambu lalu lintas seakan
hanya menjadi hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Praktis hanya lampu
lalu lintas saja yang di patuhi, itupun pada ruas jalan tertentu saja. Perilaku
yang tidak tertib ini diperparah dengan pertambahan jumlah kendaraan yang sulit
dibendung sementara jumlah pertambahan ruas jalan tidak mampu mengimbanginya.
Jika
memang peraturan dibuat untuk mempermudah kehidupan manusia pertanyaan besar
yang muncul adalah: "Mengapa peraturan tersebut sering dilanggar?"
Manusia
memang individu yang kompleks sehingga perilakunya juga tidak sederhana.
Perilaku manusia tidak sekedar memperhitungkan untung dan rugi saja. Bisa jadi
perilaku yang tampak merugikan dimata seseorang akan dianggap menguntungkan
bagi orang lain. Bagaimana seseorang berperilaku, secara garis besar bisa
dijelaskan melalui penguatan kontigensi (contigency of reinforcement).
Perilaku
manusia melibatkan tiga komponen utama yaitu kondisi lingkungan tempat
terjadinya perilaku tersebut, perilaku itu sendiri dan konsekuensi dari
perilaku tersebut. Berulang atau tidak berulangnya suatu perilaku dipengaruhi
oleh keadaan tiga komponen tersebut.
Penjabarannya
dalam perilaku berkendaraan di jalan raya cukup sederhana. Misalkan seorang
pengendara berada di persimpangan jalan yang sepi (kondisi lingkungan) kemudian
ia memutuskan untuk melanggar lampu lalu lintas (perilaku). Konsekuensi dari
perilaku ini adalah perjalanan yang lebih cepat.
Selain
itu pengendara tersebut juga tidak ditangkap petugas karena memang tidak ada
petugas di persimpangan jalan tersebut. Perilaku pelanggaran seperti ini akan
cenderung diulangi karena mendapat penguatan positif atau hadiah yaitu proses
perjalanan yang lebih cepat dan tidak tertangkap oleh petugas.
Skenario
yang muncul akan berbeda bila situasinya berbeda pula. Pada situasi
persimpangan jalan yang dijaga oleh petugas (kondisi lingkungan) seorang
pengendara berkeputusan untuk melanggar lampu lalu lintas. Konsekuensinya ia
akan ditangkap oleh petugas dan mendapatkan surat tilang. Perilaku pelanggaran
seperti ini akan cenderung tidak diulangi karena mendapatkan penguatan negatif
(hukuman) yaitu berupa surat tilang yang tentu saja bermuara pada denda yang
harus dibayar.
Bagi
semua pengguna kendaraan bermotor pasti sudah paham betul arti dari rambu-rambu
lalu lintas yang ada dijalanan. Walaupun demikian ternyata pemahaman ini belum
cukup untuk mendorong pengguna jalan mematuhi rambu-rambu tersebut. Ada
berbagai hal yang menyebabkan pengendara gagal untuk mematuhi rambu-rambu
tersebut.
Penyebab
kegagalan kepatuhan terhadap peraturan dari segi kondisi lingkungan bisa di
jabarkan dalam skenario berikut ini. Suatu ketika pengendara tersebut mencoba
menggunakan helm, namun keadaan yang ia hadapi adalah bahwa banyak pengendara
lain yang ternyata tidak menggunakan helm tidak mendapat sanksi apa-apa, selain
itu ia juga merasa tidak nyaman ketika memakai helm karena terasa gerah.
Keadaan
ini menggambarkan adanya konsekuensi negatif ketika pengendara tersebut
berusaha mematuhi peraturan dengan menggunakan helm. Konsekuensi negatif tersebut
berasal dari rasa tidak nyaman dan umpan balik sosial yang memperlihatkan bahwa
tidak menjadi masalah bila pengendara tidak menggunakan helm.
Contoh
lain, (maaf ya) abdi dalem keraton Jogja, Solo, dan beberapa daerah lain yang
hanya pake blangkon, kupluk, atau anak kyai yang pake sorban, atau suster yang
hanya pake separo “jilbab” seliweran di jalan raya kok tidak ditilang? Apa Pak
Polisi takut kualat? Hukum harus tetap ditegakkan.
Tidak
boleh pandang bulu siapapun pengendara dan pengguna jalan raya. Satu lagi,
kenapa kalau pejabat lewat sudah tahu ada lampu merah tapi tetap didahulukan?
Kalau ambulan saya kira masih bisa dimaklumi. Ajari para pejabat itu untuk
mematuhi lampu merah juga dong! Kenapa sih mesti tergesa-gesa di jalan? Selamat
berkendara dan hati-hati di jalan! [*]
*) Miftahul Jannah el-Ma'un, Peresensi adalah pengguna jalan raya yang ramah lingkungan, betah nongkrong di Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT) poros Jabodetabek.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar