Judul Buku: Pergolakan di Jantung
Tradisi: NU yang Saya Amati
Penulis: As’ad Said Ali Pengantar: Dr KH Sahal Mahfudz Penerbit: LP3ES, Jakarta Cetakan: I, Juli 2008 Tebal: (xxiv + 264) halaman Peresensi: Mashudi Umar |
Progresivitas
pemikiran kalangan muda dan dinamika yang terjadi di kalangan ulama Nahdlatul
Ulama (NU) belakangan ini mungkin tidak terbayangkan oleh KH Ahmad Siddiq, saat
pertama merumuskan pentingnya kembali ke Khittah 1926. Saat itu, KH Ahmad
Siddiq hanya memimpikan para ulama mendidik santrinya tidak hanya menjadi muqallid
a’ma (pengikut buta), tetapi untuk menjadi muqallid lebih baik. Harapan itu
sekarang sudah terlampaui, tidak hanaya menjadi muqallid yang lebih baik,
tetapi merambah lebih jauh, yaitu mengeksplorasi pendekatan manhaji (metodelogis)
dalam meneropong berbagai persoalan kontemporer. Kesan jumud dan antikamajuan
yang selama ini melekat pada jamiyyah nahdliyyah, dengan sendirinya
terhapus oleh dinamika perkembangan NU selama lebih dari dua dekade belakangan
ini.
Perkembangan
seperti ini tidak dihasilkan secara mudah. Perjuangan gigih KH Achmad Siddiq
dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada pertengahan dekade 1980-an dalam
meletakkan NU, sebagaimana perjuangan KH Hasyim Asy’ari pada 1926, memberi
andil penting dalam mempersiapkan perubahan-perubahan yang terjadi sebelumnya.
Doktrin Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi napas organisasi dengan sadar,
tidak pernah dikesampingkan, malah diperkukuh dengan memberi visi baru. Dan,
muatan baru itu bermula dari gagasan sederhana, bagaimana melakukan
kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam klasik.
Seperti
memahami definisi fikih sebagai, “al-ilmu bi al-ahkam al-syar’iyah
al-amaliyah al-muktasab min adillatiha al-tafshiliyyah” (mengetahui hukum
syar’i amaliah yang di gali dari petunjuk-petunjuk yang bersifat global), fikih
memiliki peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan
zaman.
Karena
itu, paradigma fikih sosial harus didasarkan atas keyakinan bahwa fikih harus
dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia,
yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah
(sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (terseir). Fikih sosial bukan
sekedar alat melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam-putih sebagaimana
cara pandang fikih yang lazim kita temukan, tetapi fikih sosial juga menjadikan
fikih sebagai paradigma pemaknaan sosial.
Gejala
kemajuan yang muncul di kalangan muda NU memang semacam konsekuensi yang tidak
bisa terhindarkan. Dekade 1980-an adalah awal dari “panen raya” kalangan
intelektual di lingkungan NU. Generasi baru yang berpendidikan ganda ini tidak
sepenuhnya mampu diserap dalam lingkungan NU yang masih didominasi kalangan
ulama tua. Mereka kemudian mencari jalan lain, dengan beraktivitas dalam
gerakan mahasiswa, gerakan lembaga swadaya masyarakat dan lainnya. Perkenalan
dengan dunia luar pesantren itu ternyata cukup banyak mengubah struktur
berpikir kalangan muda NU.
Pergumulan
kalangan muda NU dengan gagasan, agenda dan jaringan di luar pesantren dan NU
itu, pada akhirnya melahirkan apa yang mereka sebut sebagai gerakan “kultural”.
Suatu gerakan yang berbasis pada pengembangan pemikiran dan pemberdayaan
masyarakat akar rumput. Dalam kerangka gerakan, agenda aksinya tersusun
berdasarkan pemikiran yang lebih konsepsional dalam melakukan pemberdayaan
terhadap berbagai masalah mutakhir.
Dalam
konteks inilah, lahir gagasan Islam Trasformatif, Islam Liberal, The Wahid
Institute, Rahima, Islam Emansipatoris hingga pada gagasan Islam
Postradisionalis, dan lain-lain. Dari komunitas kultural itu, lalu muncul
tokoh-tokoh muda brilian dan intelektual seperti Abdul Moqsith Ghazali, Rumadi,
Ulil Absar Abdallah, Achmad Suaedy, Abdul Mun’im, Zuhairi Misrawi, Imam Aziz,
Imdadun Rahmat, Khamami Zada, Marzuki Wahid, dan lain-lain. Ketika gagasan itu
semakin matang, dan kritis benturan langsung dengan pemikiran tradisional ulama
NU yang sudah terpatri sebelumnya tidak bisa dihindarkan.
Benturan
itu terjadi karena sejak awal gerakan kultural merupakan perlawanan “diam-diam”
kalangan muda terhadap kecenderungan umum NU saat itu yang sangat tergoda
dengan kehidupan politik. Dalam persepsi mereka, Khittah NU 1926 semestinya
menghentikan NU dari kecendrungan politik praktis dan mengkonsentrasikan
sepenuhnya pada gerakan keagamaan dan kultural.
Namun,
impian ini tidak mudah diwujudkan, dunia politik bagaimana pun tetap memesona.
Sejumlah aktivis NU mendapat peluang lebih besar pascakeputusan Khittah 1926
dengan berkiprah pada sejumlah partai politik. Sementara, NU sendiri pernah
diletakkan Gus Dur sebagai kekuatan semi oposisi pada masa akhir Orde Baru.
Puncaknya, pada masa reformasi, Pengurus Besar NU pernah memfasilitasi
terbentuknya sebuah partai politik baru dan NU struktural harus bersusah payah
membela Gus Dur tatkala menjadi presiden. Jadi, berpolitik memang seakan
kegiatan yang tak kenal lelah, baik yang dilakukan “NU politik”
maupun—terkadang—NU struktural”, walaupun tentu dengan modes operandi yang
berbeda.
Di
tengah membuncahnya aktivitas politik itu, institusi NU seringkali menjadi
“korban”. Pemilihan kepala daerah, baik Jawa Timur maupun Jawa Tengah, menjadi
fakta, semua pihak merebut suara NU. Bahkan, di Jawa Timur, kader NU potensial
sama-sama masuk putaran kedua yaitu, Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum
(nonaktif) Pengurus Pusat Muslimat NU, Calon Gubernur, dan Saifullah Yusuf,
Ketua Umum (nonaktif) Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, sebagai Calon Wakil
Gubernur.
Kecenderungan
inilah yang dilawan gerakan kultural. Mereka meletakkan gerakannya sebagai
alternatif dari gerakan “NU struktural” maupun “NU politik” yang dianggap mudah
membelokkan NU menjadi kekuatan politik.
Jadi, sekarang NU pada dasarnya mempunyai tiga aset penting selain para ulama. Pertama, adalah kalangan terpelajar dan intelektual yang sedang giat menekuni pemikiran keagamaan. Dan, bagaimana menjaga aset ini agar tidak terlepas dan tercerai-berai, apalagi direbut kelompok Islam transnasional, harus tetap menjadikan NU sebagai rumah besar mereka. Kedua adalah kalangan pengusaha dan ketiga adalah politisi yang tersebar di berbagai partai.
Jadi, sekarang NU pada dasarnya mempunyai tiga aset penting selain para ulama. Pertama, adalah kalangan terpelajar dan intelektual yang sedang giat menekuni pemikiran keagamaan. Dan, bagaimana menjaga aset ini agar tidak terlepas dan tercerai-berai, apalagi direbut kelompok Islam transnasional, harus tetap menjadikan NU sebagai rumah besar mereka. Kedua adalah kalangan pengusaha dan ketiga adalah politisi yang tersebar di berbagai partai.
Kalimat
“inside NU” atau “what’s right with NU” sangat tepat untuk
mengapresiasi buku ini. Sebuah buku yang sangat komprehensif dalam membedah
jeroan NU, terutama pergolakan pemikiran yang telah dan sedang terjadi di
kalangan generasi muda NU. Pemetaan yang brilian, cerdas dan lugas telah
dihadirkan As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang tidak
hanya menyoroti dimensi siyasah (politik), tsaqafah (budaya) dan fiqrah
(pemikiran), akan tetapi juga dimensi yang sangat mendesak untuk diprioritaskan,
yaitu istishadiyah (perekonomian).
Pergumulan
anak muda NU dalam berinteraksi dengan neoliberalisme juga terpapar dengan
gamplang dalam buku ini. Juga menghadirkan pengamatan cermat tentang perubahan
besar yang terjadi pada jantung tradisi NU sebagai buah perubahan di “dunia
dalam” dan “dunia luar” yang membawa sintesis kreatif antara tradisi dan
inovasi. Sebuah buku penting tentang peta ke-NU-an, ke-Islam-an dan
ke-Indonesia-an.[*]
*) Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar