Judul
Buku: Pers Perlawanan, Politik Wacana
Antikolonialisme Pertja
Selatan
Penulis: Basilius Triharyanto Penerbit: LKiS, Yogyakarta Cetakan: I (Pertama), September 2009 Tebal: xxvi + 276 halaman Peresensi: Humaidiy AS*) |
Dalam rentang
sejarah, ideologi perlawanan sebagai paradigma tentang cita-cita bersama,
dimaknai dengan berbagai pendekatan dan penafsiran, terutama dalam kaitannya
dengan rasa senasib seperjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
dari penjajahan. Pers merupakan salah satu media yang dapat dijadikan
?acamata?dalam memahami bagaimana situasi politik, ekonomi dan social yang
sedang terjadi dalam kurun waktu tersebut.
Setidaknya ada tiga
alasan mengapa media pers menarik untuk diteliti. Pertama, pers adalah cerminan
kebudayaan. Oleh karena itu, dengan memahami perkembangan sejarah pers maka
dapat diketahui dan difahami keadaan masyarakat pada waktu itu. Kedua, pers
sebagai cerminan intelektual yang biasa digunakan sebagai ajang penaungan dan
penyampaian ide atau gagasan.. Ketiga, pers merupakan rekaman pelbagai
peristiwa penting yang ada dalam rentang waktu tertentu. Oleh karenanya, dengan
mempelajari pers pada masa kini, akan di dapat gambaran lebih nyata tentang
kejadian-kejadian penting tertentu, beserta latar belakang peristiwa yang
terjadi.
Pers pada masa
kolonial sangat dipengaruhi oleh satu asas yang mendasari sejarah pers pribumi,
yaitu menjadikan pers sebagai alat perjuangan. Ironis barangkali bagi sebagaian
pihak, jika dengan membaca koran-koran lama yang sudah usang dapat memberikan
kesegaran buat menafsirkan suatu sejarah intelektual sebuah bangsa yang sejak
zaman kolonial telah berjuang untuk menyuarakan hak-haknya demi penentuan nasib
sebagai bangsa yang gigih memperjuangkan kebebasannya.
Dalam konteks itulah,
Basilisus Triharyanto melalui buku berjudul “Pers Perlawanan, Politik Wacana
Antikolonialisme Pertja Selatan” ini berusaha menyingkap tabir yang menutupi
sejarah pers Indonesia di zaman Kolonial, terutama pers di Sumatera Selatan
sekaligus berusaha menyeruak ke alam alam pikiran kita tentang betapa
pentingnya menjaga kesadaran akan sejarah. Jauh sebelum Indonesia
diprokalamirkan, tepatnya tahun 1920-an, di tanah Palembang, Sumatera Selatan.
Muncul surat kabar yang bersuara kritis dan keras terhadap pemerintahan
kolonial. Surat kabar itu adalah Perja Selatan, yang didirikan oleh seorang
pengusaha pribumi, Kiagus Muhammad Adjir. Perja Selatan merupakan salah
satu dari sejumlah kecil surat kabar daerah di zaman kolonial yang dapat
bertahan lama, yaitu sampai pecahnya Perang Dunia II. Suatu tren yang biasa
pada masa kolonial adalah usia penerbitan yang amat singkat sekali dikarenakan
penghegemonian pemerintah kolonial.
Buku ini merupakan
perpaduan gambaran peristiwa dengan analisa-analisa ilmiah melalui pendekatan
ilmu social yang memperlihatkan bagaimana proses modernisai di Sumatera
Selatan. Sajian buku ini terdiri atas lima bab. Bab pertama, berisikan
pendahuluan yang berisi rangkuman pokok pemikiran yang menjadi landasan buku
ini. Bab dua memaparkan tentang Palembang dalam cengkeraman rezim kolonial. Bab
ini diawali dengan penjelasan peta geopolitik Palembang dalam percaturan
politik dan ekonomi colonial Hindia-Belanda. Karakter perairan dan letak
Palembang yang strategis untuk jalur perdagangan nasional maupun internasional
memengaruhi kebijakan penguasa colonial Belanda secara ekonomi dan politik (hal
25-31).
Tumbuhnya
pergerakan kebangsaan juga dipaparkan dalam bab ini, yakni munculnya berbagai
organisasi politik tahun 1920-an yang membangkitkan semangat kebangsaan
dan perlawanan terhadap penjajahan. Beberapa organisasi yang tumbuh baik yang
radikal maupun moderat menyuburkan benih nasionalisme, tidak hanya di wilayah
kota tetapi juga di dusun-dusun pedalaman.
Bab tiga dari buku
ini membahas tentang benih-benih tumbuhnya surat kabar Perta Selatan hingga
berkembang pesat dan membentuk sebuah raja pers lokal di Palembang. Motif
ekonomi yang mendasari penerbita awal surat kabar ini mengalami perkembangan
dan prubahan sesuai tuntutan zaman. Hiruk pikuk kekuasaan kolonial menghidupkan
perjuangan hidup-matinya bsinis surat kabar dengan merangkul orang-orang yang
dikenal sebagai tokoh atau aktivis pergerakan. Organ pergerakan yang radikal
mengokohkan Pertja Selatan bisa tegak dengan kaki yang kuat ketika menghadapi
masa-masa sulit di hadapan kekuatan pemerintahan colonial yang refresif.
Bab empat merupakan
inti dari tulisan ini yang membongkar gagasan-gagasan antikolonialisme yang
ditampilkan oleh Pertja Selatan. Dengan memakai perangkat analisis wacana, penulis
mendapati bahwa teks-teks yang ada dalam Pertja Selatan merupakan bagian
dari buah pemikiran orang-orang dalam redaksi yang menyuburkan kesadaran
antikolonialisme terhadap pemerintah Belanda. Sementara bab lima yang merupakan
penutup tulisan ini menegaskan pandangan penulis dalam melakukan pembacaan
kritis terhadap seluruh penelitian sejarah Pertja Selatan dan gagasan
antikolonialisme serta meletakkan sejarah Pertja Selatan dalam panggung sejarah
pers Indonesia.
Sejarah pers,
sebagaimana disebutkan oleh sejarawan Malaysia, Ahmat Adam; adalah sebagai
penyebar gagasan-gagasan kebangsaan. Surat kabar-surat kabat ketika tiu
benar-benar berfungsi sebagai corong pergerakan revolusioner yang oleh
pemerintah terpaksa harus mengunakan tindakan refresif terhadap surat kabar
yang dianggap berbahaya, termasuk Perja Selatan. Memang, Perja Selatan tidak
sampai dibredel oleh pemerintah kolonial; ia bisa lepas dari jeratan ordonansi
pemerintah kala itu. meskipun demikian, tidak sedikit jurnalis dan redakturnya
yang harus berurusan dengan pengadilan kolonial atas reportase-reportase yang
dimuatnya.
Buku setebal 276
halaman yang ditulis oleh Triharyanto ini jelas merupakan eksperimentasi yang
baik untuk menulis sebuah sejarah pers. Studinya mengenai jatuh-bangun sebuah
surat kabar sekaligus upaya menelusuri perjuangan kebangsaan yang diungkapkan
lewat sebuah surat kabar di luar pulau Jawa patut diapresiasi karena menjadi
sumbangan khazanah yang sangat berharga bagi sejarah pers di Indonesia bahkan
sejarah Indonesia itu sendiri. [*]
*) Pustakawan Pada
Pondok Pesantren Krapyak dan Aktivis pada Lembaga Kajian Agama dan
Swadaya Masyarakat (LeKaS)
Sumber:
Batam Pos, 3
Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar