|
Judul
buku: Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan,
dan Pelembagaan
Peneliti: Hanun Asrahah, Kustini, Amin Haedari, Marta Hendra Penyusun: Hanun Asrahah Editor: Rijal Roihan Penerbit: Departemen Agama RI-INCIS, Cet. I, Desember 2002 Tebal buku: xii + 200 halaman Peresensi: Kholilul Rohman Ahmad*) |
DEWASA
INI EKSISTENSI DAN KREDIBILITAS PESANTREN MENGALAMI PENINGKATAN PESAT ketimbang
sepuluh tahun silam ketika sejumlah tokoh nasional didikan pesantren mewarnai
dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air. Pesantren sebagai
salah satu lembaga pendidikan di Indonesia telah memberikan kontribusi
demokratisasi bagi bangsa Indonesia, antara lain, ketika alumnus Pesantren
Tegalrejo Magelang, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ditetapkan oleh MPR sebagai
Presiden Republik Indonesia pada tahun 1999.
Meski
naik dan atau jatuhnya Gus Dur hingga kini masih menjadi kontroversi, namun
bagi kalangan pesantren tetap dipandang sebagai prestasi dalam sejarah
pergulatan politik kaum santri. Apalagi belakangan bergulir wacana cendekiawan
Muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur, alumnus Pesantren Modern Gontor Ponorogo)
berani secara tegas menyatakan siap untuk duduk di kursi RI 1, yang dapat
dinilai semakin menambah kewibawaan pesantren dalam kancah politik nasional.
Gus
Dur dan Cak Nur adalah contoh tokoh nasional berlatarbelakang pesantren untuk
menggambarkan bahwa pesantren bukan hanya sebagai lembaga yang menjunjung
tinggi normativitas. Namun lebih dari itu pesantren telah menapaki jalan
sejarah (historisitas) sebagai bagian tak terpisahkan dari konteks kebangsaan.
Pun untuk menemukan bukti tentang peranan pesantren di setiap lini kehidupan
dewasa ini bukan perkara sulit. Baik bukti berupa fisik lembaga pesantren itu
sendiri di berbagai tempat maupun literatur tentang pesantren.
Banyak
indikasi tentang keberadaan pesantren di setiap lini kehidupan. Banyak
literatur tentang pesantren, pemikiran pesantren, gerak politik kaum santri,
sejarah Pesantren Lirboyo (Kediri, Jawa Timur) yang berhasil menekan laju
gerakan komunis di Karesidenan Kediri, Pesantren Langitan (Widang, Tuban, Jawa
Timur) dengan KH Abdullah Faqih yang menjadi sentral konsolidasi para kiai
dalam forum Poros Langit, keberhasilan KH Arwani (almarhum almaghfurlah) lewat
Pesantren Yanbu’ul Qur’an (Kudus, Jawa Tengah) dalam menelorkan ratusan huffadz
(penghafal Al-Qur'an), maupun Pesantren Hidayatullah (menerbitkan majalah
bulanan Suara Hidayatullah) di berbagai daerah yang telah berperan membantu
pemerintah mengurangi tingkat pengangguran dengan sistem santri dibekali
ketrampilan berkarya dan bekerja secara mandiri.
Beberapa
indikasi itu merupakan bukti kontemporer yang pada saat ini mudah ditemukan.
Pertanyaannya: apa sesungguhnya pesantren itu, dari mana asal-usulnya,
bagaimana riwayat berdirinya, siapa tokoh-tokoh yang memunculkannya, dalam
konteks apa ia dapat berkembang pesat, dan sejak kapan ia mampu eksis di tengah
berbagai pergolakan politik? Buku tipis hasil penelitian tim peneliti
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI bekerjasama
dengan Incis (Indonesian Institute for Civil Society) ini mencoba
menggali sejarah munculnya pesantren hingga melembaga di Jawa.
Dua Teori Asal Usul Pesantren
Secara
kelembagaan, meskipun masih kontroversi, teori tentang asal-usul pesantren
dapat dipetakan menjadi dua. Pendapat pertama, pesantren merupakan
kesinambungan dari lembaga pendidikan keagamaan pra-Islam, seperti perdikan,
sama sekali bukan struktur lembaga baru yang diimpor. Pendapat kedua mengatakan
bahwa pesantren diadopsi dari sistem pendidikan Islam di Timur Tengah.
Hasil
penelitian dalam buku ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren
memiliki persamaan baik dengan sistem pendidikan di Timur-Tengah maupun dengan
lembaga pendidikan Hindu-Budha. Tradisi kedua sistem pendidikan ini berubah
sifat khasnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran (konvergensi) yang muncul
dalam pesantren.
Selain
kontroversi teori pendekatan untuk menggali sejarah pesantren, kontroversi
lainnnya adalah kapan lembaga pesantren ini muncul. Ada yang berpendapat bahwa
pesantren sudah ada pada masa awal penyebaran Islam di jawa. Tetapi pendapat
lain menyatakan, teori yang berpendapat bahwa pesantren telah ada pada masa
awal penyebaran Islam di Jawa itu merupakan ekstrapolasi dari pengamatan pada
akhir abad ke-19 M. Pesantren menurut pendapat kedua ini, muncul pada akhir
abad ke-18 M, dan mengalami perkembangan yang cepat pada abad ke-19 M.
Pararel dengan lembaga pendidikan pra-Islam
Menurut
Manfred Ziemek, pesantren merupakan hasil perkembangan secara pararel dari
lembaga pendidikan pra-Islam yang telah melembaga berabad-abad lamanya. Bahkan
menurut Nurcholish Madjid, pesantren mempunyai hubungan historis dengan
lembaga-lembaga pra Islam. Lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada
sejak masa kekuasaan Hindu-Budha sehingga Islam tinggal meneruskan dan
mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada masa itu.
Senada
dengan Cak Nur, Denys Lombard menyatakan bahwa pesantren mempunyai hubungan
dengan lembaga keagamaan pra-Islam karena terdapat kesamaan di antara keduanya.
Argumentasi Lombard begini: Pertama, tempat pesantren jauh dari keramaian,
seperti halnya pertapaan bagi ‘resi untuk menyepi’, santri pesantren juga
memerlukan ketenangan dan keheningan untuk menyepi dan bersemedi dengan
tenteram. Pesantren seringkali dirintis oleh kiai yang menjauhi daerah-daerah
hunian untuk menemukan tanah kosong yang masih bebas dan cocok untuk digarap.
Seperti halnya rohaniawan abad ke-14 M, seorang kiai membuka hutan di
perbatasan dunia yang sudah dihuni, mengislamkan para kafir daerah sekeliling,
dan mengelola tempat yang baru dibabad.
Kedua,
ikatan antara guru dan murid sama dengan ikatan antara kiai dan santri, yaitu
ikatan ‘kebapakan’ dari orang ke orang, yang sudah tampil sebagai ikatan pokok
pada zaman kerajaan Hindu-Budha, bahkan sudah ada sebelumnya. Ketiga, antara
pesantren dan lembaga keagamaan pra-Islam atau dharma seperti juga antar
pesantren serta kebiasaan lama untuk berkelana, yakni untuk melakukan pencarian
ruhani dari satu pusat ke pusat lainnya. (hlm. 3).
Adopsi lembaga pendidikan Timur-Tengah
Pendapat
kedua menyatakan pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur-Tengah.
Martin van Bruinessen tidak sepakat dengan pendapat pertama di atas sebab ia
cenderung melihat adanya kedekatan antara pesantren dengan sistem pendidikan
Islam di Timur-Tengah. Secara nyata ia menduga bahwa Al Azhar di Mesir dengan riwaq-nya.
Lain halnya Zamakhsyari Dhofier yang berpendapat bahwa pesantren di Jawa
(Indonesia) merupakan kombinasi antara madrasah sebagai pusat pendidikan dan
kegiatan tarekat.
Buku
ini menjelaskan bahwa pada abad ke-19 Belanda mengadakan survei pertama
terhadap pendidikan pribumi yang dilakukan pada 1819. Namun Bruinessen
menangkap kesan bahwa pesantren dalam bentuk seperti yang ada sekarang belum
ada di seluruh Jawa pada abad ke-19. Hanya saja ia menyatakan bahwa ada
lembaga-lembaga yang mirip pesantren di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu
(Magelang, Temanggung, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, dan sekitarnya) Surabaya,
Madiun, dan Ponorogo (terletak di Tegalsari). Di daerah-daerah inilah terdapat
“pesantren” terbaik, dan di sinilah anak-anak dari pesisir utara Jawa melakukan
kegiatan pendidikan.
Pesantren, Perdikan, Paguron, Padepokan
Pesantren, Perdikan, Paguron, Padepokan
Berdasarkan
pengamatannya pada beberapa karya sastra lama, Martin tidak menemukan istilah
pesantren. Dalam Serat Centhini dijelaskan bahwa salah seorang tokoh pemeran
dalam karya ini, seorang pertapa bernama Danadarma, mengaku telah belajar tiga
tahun di Karang, Banten, di bawah bimbingan “Syekh Kadir Jalena”.
Tokoh
utama lainnya, Jayengresmi alias Among Raga, juga diceritakan ia belajar di
paguron Karang, Banten, di bawah bimbingan seorang guru bangsa Arab bernama
Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Ageng Karang.
Dari Karang, Banten, ia pergi ke paguron (perguruan) besar lainnya di desa
Wanamarta, Jawa Timur. Makanya dalam Wejangan She Bari (buku panduan Islam
Ortodoks, menurut GWJ Drewes) tidak ditemukan istilah pesantren, melainkan
‘paguron’ atau ‘padepokan’.
Sampai
akhir abad ke-19 laporan pemerintah Belanda pada tahun 1885 mencatat jumlah
pendidikan Islam tradisional sebanyak 14.929 di seluruh Jawa dan Madura
(kecuali kesultanan Yogyakarta), tidak dirinci berapa jumlah pesantren yang
sebenarnya dan tidak dibedakan dengan lembaga pendidikan dasar.
Oleh
sebab ada perbedaan bentuk dan tingkatan dalam sistem pendidikan Islam
tradisional di Jawa, LWC van Den Berg menganalisa laporan statistik tahun 1885
itu: ternyata 4/5 dari jumlah lembaga tersebut adalah lembaga pengajian yang
mengajarkan pembacaan al-Qur'an, dasar-dasar bahasa Arab, kitab-kitab
pengetahuan agama tingkat dasar sampai tinggi yang tergolong sebagai pesantren.
Yang
jelas bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial keagamaan tidak
muncul begitu saja. Pesantren muncul setelah melalui proses interaksi antar
Muslim di Jawa dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok terhadap pendidikan Islam.
Kontak budaya antara masyarakat Jawa dengan pusat-pusat keislaman dan keilmuan
Islam telah memperkenalkan budaya dari luar Jawa, termasuk sistem pendidikan
Islam kepada masyarakat (hlm. 79). Karena pola perkembangannya berulang-ulang
dan menjadi standar, maka proses ini disebut proses pelembagaan atau
institutionalization (hlm. 11) Berdasarkan penjelasan di atas, buku ini
mengupas proses pelembagaan pesantren di Jawa dengan memperhatikan asal-usul
dan perkembangan pesantren sampai abad ke-19 M.
***
Desa
(tanah) perdikan adalah tempat yang mendapatkan kebebasan membayar pajak atau
kerja rodi oleh penguasa setempat. Status tanah perdikan telah dikenal jauh
sebelum kedatangan Islam di Jawa. Berdasar prasasti-prasasti yang ditemukan,
status desa perdikan sudah dikenal di Jawa sejak masa Mataram awal. Prasasti
Dieng (809 M) menjelaskan bahwa tanah perdikan dimaksudkan sebagai anugerah
kepada pejabat desa atau perseorangan karena jasa atau untuk kepentingan
tertentu tanah itu diberikan (hlm. 78).
Pada
masa Hindu-Budha secara umum tanah bebas ditetapkan untuk kepentingan tertentu.
Di samping diberikan kepada seseorang yang telah memiliki jasa kepada raja,
juga ditetapkan untuk orang-orang yang memberikan contoh kehidupan saleh kepada
lingkungan masyarakat mereka atau memberikan pengajaran, serta untuk penduduk
yang merupakan abdi-abdi Tuhan dan gunung suci Brahmana, pertapaan, biara-biara
para rahib, tempat-tempat suci, makam-makam, dan sebagainya (hlm. 82).
Lima Desa Pesantren
Bruinessen
mencatat, dari 244 tanah perdikan yang secara eksplisit dipergunakan untuk
pesantren ada lima desa: Pesantren Tegalsari (Ponorogo/Panaraga), Pesantren
Sewulan dan Banjarsari (Madiun), Pesantren Maja (Pajang, Surakarta), dan
Pesantren Melangi (Yogyakarta) (hlm. 99). Namun tidak semua pesantren di Jawa
didirikan di atas tanah perdikan, seperti Pesantren Sidaresma (Surabaya) yang
didirikan dan dikembangkan tanpa memperoleh hak istimewa itu. Bahkan di luar
Jawa terdapat lembaga pendidikan pesantren yang berkembang pesat semacam di
Jawa, tanpa melalui sistem tanah perdikan karena di sana tidak dikenal istilah
itu (hlm. 100).
Sebagaimana
penjelasan itu, sistem pendidikan pesantren di Jawa merupakan kesinambungan
dari kegiatan pendidikan dan tarekat di pusat penyebaran Islam dan tarekat di
Jawa. Pusat-pusat pengajaran dalam praktek sufistik (seperti zawiyah di
dunia Islam) pada akhirnya berkembang menjadi pesantren. Praktek suluk
(menempuh sesuatu) yang merupakan kegiatan tarekat telah memperkenalkan
amalan-amalan tarekat yang berkembang dalam lingkungan pesantren (hlm. 133).
Praktek ini cepat berkembang lantaran masyarakat Jawa bercenderung dengan
ajaran sufistik (hlm. 155).
Pada
abad ke-18 M sistem pendidikan Islam pesantren mulai terbentuk. Kebutuhan
terhadap pendidikan Islam, melahirkan pola-pola pengajaran pendidikan dan
pendidikan Islam sehingga terbentuklah sistem pendidikan pesantren. Sistem
pendidikan pesantren dipakai oleh masyarakat Jawa secara berulang-ulang dan
selanjutnya sistem tersebut menjadi pola umum dan diterima oleh masyarakat
sebagai lembaga pendidikan. Melalui lembaga ini, masyarakat mentransfer
ajaran-ajaran dan keilmuan Islam.
Pada
abad ke-19 M pesantren berkembang pesat dan mencapai momentumnya. Pesantren
didirikan masyarakat Muslim Jawa di mana-mana di seluruh Jawa dan Madura. Tanpa
disadari pada abad ini pesantren telah melembaga di Jawa dan sampai saat ini
pesantren tidak kehilangan fleksibilitasnya sebagai sarana transformasi
pengetahuan dan budaya.
Kebangkitan Islam dan Kolonialisasi
Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi dan mempercepat perkembangan pesantren di
Jawa pada abad ini yang secara detail dibahas dalam buku ini. Pertama,
kebangkitan Islam. Sejak abad ke-14 M Islam telah memperoleh pijakan yang kukuh
di Jawa. Selama berabad-abad Islam menyebar ke seluruh pelosok di Jawa sampai
penerimaannnya di wilayah besar yang terakhir, yaitu ‘sudut Timur”, yang terjadi
pada akhir abad ke-18 M. Sebagian besar orang Jawa barangkali telah menerima
keyakinan Islam, tetapi yang berkembang subur adalah Islam mistik yang
mengandung spekulasi metafisik dari masa pra-Islam.
Kedua,
kolonialisasi. Pada awal abad ke-19 M kebencian masyarakat telah memuncak
sehingga terjadi ketegangan antara masyarakat Jawa dengan orang-orang Eropa.
Ketegangan-ketegangan ini akhirnya meledak menjadi peperangan antara masyarakat
Jawa dengan bangsa Eropa yang menjajah, dengan melibatkan berbagai kelompok
masyarakat di Ja, seperti petani, para bangsawan kraton, kiai, para haji, dan
santri-santri. Kecencian dan sikap permusuhan masyarakat Jawa dengan kolonial
ini mendorong masyarakat pada pemantapan dan upaya untuk mempertahankan
identitas diri pada masyarakat Jawa.
Dalam
keadaan tertindas, resah, dan gelisah masyarakat Jawa kemudian memakai Islam
sebagai identitas kultural untuk melawan Belanda. Di sinilah kemudian pesantren
mendapat pengaruh di masyarakat dan semakin berkembang “berkat” kesombongan
kolonial Belanda. Misalnya, meskipun di Banten tidak banyak ditemui pesantren
besar, namun pesantren-pesantren kecil pada tahun 1888 mempunyai peranan
penting dalam peristiwa pemberontakan petani Banten. Kalangan santri pesantren
di Banten dikenal sangat radikal dalam melawan pemerintah Belanda.
Di
Cirebon, pimpinan Pesantren Lengkong Kuningan, Kiai Hasan Maulani, tak pernah
pantang menyerah dalam mempertahankan keberadaan pesantren di hadapan kolonial
Belanda. Kiai yang dibuang di Tondanao pada tahun 1942 karena terlibat Perang
Jawa ini beserta santri-santrinya mempunyai pengaruh kuat sehingga ditakui oleh
Belanda. Sementara itu, Kiai Rifa’i Kalisalak tak jauh sifatnya dengan Kiai
Maulani, bedanya ia dibuang ke Ambon karena idealismenya terhadap pesantren (hlm.
182).
Jelas
peranan kiai yang berani melawan itu telah membantu mempercepat pengembangan
agama Islam di pedesaan. Islam di Jawa secara perlahan-lahan mulai menanggalkan
sifat-sifat lokal yang sinkretik dan meningkatkan pertumbuhan ortodoksi Islam
di pedesaan yang dipelopori oleh guru-guru agama dan kiai-kiai. Kiai sebagai
elit keagamaan mempunyai pengaruh yang luas di masyarakat. Kesadaran akan
tanggungjawab dan tugas sebagai ulama kepada umatnya, mendorong kiai untuk
memelihara hubungan dengan santri-santrinya serta masyarakat sekitarnya melalui
pengajaran, khutbah di masjid, upacara doa, dan kunjungan ke rumah-rumah
penduduk.
Maka,
kiai sebagai guru dan penyebar agama Islam memiliki peranan penting di pedesaan
dalam melawan penjajah. Posisinya sebagai sosok intelektual atau ulama dalam
komunitas Muslim sangat sentral dalam menggerakkan gerakan-gerakan sosial dari
kelompok-kelompok yang memiliki berbagai kepentingan menjadi gerakan-gerakan
ideologis.
Kiai
sebagai intelektual memiliki kekuatan untuk memperdalam dan mengintensifkan
perjuangan dengan cara memantapkan dorongan-dorongan personal menjadi
dorongan-dorongan kelompok dan menggerakkan mereka menuju perjuangan demi
‘kebebaran abadi’. Oleh karena itu, pada masa penjajahan dapat dilihat
bagaimana pesantren menjadi alat pengendali ideologi yang efektif (hlm. 176).
***
Buku
ini mencoba memberikan pengantar kepada pembaca tentang sejarah perkembangan
pesantren sehingga melembaga sebagaimana dapat kita saksikan dewasa ini di
hampir setiap daerah di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan yang mulanya
mempunyai tujuan murni memberikan pendidikan bagi rakyat, kini telah berkembang
–antara lain-- menjadi kekuatan legitimasi politik. Tak mengherankan jika
pesantren sering dimanfaatkan sebagai alat legitimasi bagi kelompok politik
untuk meraih dukungan. Maka, sejarah berdirinya pesantren di berbagai daerah
pun sering mengilhami para peneliti untuk terus menggali sejauh mana peranan
pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah Air.
Sosoknya
yang dewasa ini mempunyai corak dan sistem pembelajaran yang berbeda jauh
dengan masa lalunya menjadikan kita dapat menangkap bahwa pesantren telah
mengalami pergeseran yang luar biasa dari awalnya (dulu cenderung memakai
sistem pembelajaran bandongan dan sorogan, kini telah mengalami modernisasi
menjadi klasikal). Sehingga tak berlebihan ketika buku ini dinilai menjadi
kebutuhan tersendiri bagi para peneliti agar lebih intensif mempelajari
bagaimana kini pesantren harus berupaya beradaptasi dengan perkembangan jaman
yang semakin plural dengan kecanggihan peradaban kapitalisme.
Menggali
sejarah pesantren bukan pekerjaan gampang. Apalagi rentang waktu yang telah
berjalan sudah dilewati oleh berbagai peristiwa sehingga membutuhkan ketelitian
akurat. Dan buku ini pun belum dapat dinilai sempurna dalam menggali itu. Sebab
data yang dipakai lebih banyak berdasarkan data pustaka, sementara data
lapangan yang semestinya diikutsertakan sebagai penyempurna tidak dilibatkan
secara maksimal. Namun demikian, inilah satu-satunya buku sejarah pesantren
yang mencoba menyempurnakan literatur-literatur tentang pesantren yang lebih
dulu dipublikasikan. [*]
*) Penggiat kultural J@RMUNU (Jaringan Muda Nahdlatul Ulama) tinggal di Payaman, Magelang, Jawa Tengah. Naskah ini pernah dipublikasikan Majalah Buku “MataBaca” edisi September 2003
Catatan:
cover
buku Pesantren
di Jawa; salah satu model pembelajaran di Asrama Perguruan Islam Pondok
Pesantren Tegalrejo Magelang. Gus Yusuf, pengasuh Ponpes API, sedang membacakan
makna sebuah kitab kuning kepada santri-santri di salah satu ruang kelas yang
dimiliki pesantren itu (2007)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar