|
Judul:
Pesantren Studies, Buku II; Kosmopolitanisme
Peradaban Kaum Santri di Masa
Kolonial,
Juz Pertama/2a; Pesantren, Jaringan
Pengetahuan
dan Karakter
Kosmopolitan-Kebangsaannya
Penulis : Ahmad Baso Penerbit : Pustaka Afid, Jakarta Cetakan I : Mei 2012 Tebal Buku : xvii + 378 halaman Peresensi: Muhamad Rifai*) |
Ahmad Baso
merupakan salah satu intelektual muda NU terdepan saat ini. Telah banyak karya
ditorehkannya dan buku ini merupakan karya kesekiannya, tetap sebagai kajian
serius-kritis-ambisius, bertema Pesantren Studies. Rencananya karya ini ditulis
dalam 9 jilid dan baru ditulis dalam jilid 2 dan sudah diterbitkan diantaranya
2a dan 2b. Dan resensi ini atas karya buku 2a.
Tema dasar dari
buku ini mengkaji kosmopolitanisme pesantren di masa kolonial. Kosmopolitanisme
pesantren di masa kolonial yang dimaksudkan buku ini terwujud dalam; jaringan
pengetahuan, karakter kosmopolitan dan kebangsaannya. Wacana kosmopolitanisme
identik dengan keterbukaan, merangkul semua golongan, kepentingan dan wacana
setiap jaman. Baso dalam buku ini ingin menunjukkan keunikan kosmopolitanisme
pesantren di masa kolonial, tidak sekedar latah terbuka dan merangkul semua,
tapi menimbang yang benar, baik dan tepat sesuai dengan patokan islam Aswaja
ditengah situasi sosial, budaya masyarakat dan kondisi bangsa.
***
Pada bagian awal
buku ini ditunjukkan bagaimana kosmopolitanisme pesantren diakui penting di
jaman kolonial bukan oleh kalangan pesantren itu sendiri, tapi oleh kalangan
nasionalis, pergerakan, aktivis dan wartawan saat itu, seperti Soekarno,
Soetomo, Ki Hajar Dewantara, Sukarni, Tan Malaka maupun Supriyadi.
Contohnya, dr
Soetomo ditahun 1930-an dalam polemik kebudayaan menyatakan; peran pesantren
saat itu penting terutama untuk mengisi idealisme kaum pergerakan, mengisi
ideologi kebangsaan dan memperkuat kebudayaan bangsa untuk melawan praktek
kolonialisme saat itu. Segala sendi kehidupan tak bisa dilepaskan dari kalangan
pesantren, waktu menanam, mengetam padi, waktu ada orang kematian, waktu bulan
puasa. (hlm, 35).
Berpijak dari situ,
buku ini kemudian menjelaskan bagaimana kuatnya pesantren sebagai
institusi pendidikan berkarakter kebangsaan dan kosmopolit. Kesemua
itu bisa dilihat dari mulai sosok kiainya, pesantren sebagai institusi
pendidikan, santrinya, kitab/pengetahuannya.
Sosok Kiainya
Penting dan uniknya
kiai sebagai pendidik di pesantren dicontohkan dalam buku ini, ketika KH Hasyim
Asy’ari nyantri dibawah KH Kholil Bangkalan, Madura, di masa awal nyantri,
pendiri NU ini hanya disuruh angkat air dan mengisi tempayan untuk wudhu dan
cuci kaki para santri dan jama’ah. Sehingga sang santri kesal karena lebih
banyak waktunya habis untuk mengambil air dan bukan ngaji kitab. Tapi ternyata
dengan cara ini sang kiai mengajarkan santri kesayangannya itu untuk menghargai
sumber-sumber air sebagai kekayaan alam yang diberikan tuhan ini, serta
memanfaatkannya untuk sebesar-besar kemaslahatan orang banyak.
Ahmad Baso dalam
buku ini menilai keberadaan Kiai dalam pesantren adalah sutradara sekaligus
aktor, bersama santri 24 jam, mendidik ilmu, mencontohkan etika berperilaku.
Maka tak heran banyak kalangan dari beragam latar belakangnya
nderek/mendengarkan dan meminta nasehat kiai dengan setia. Contohnya;
Pangeran Diponegoro nderek kiai pada kiai Taftajani dan kiai Maja,
Sukarno nderek kiai Sukanegara, jendral Sudirman nderek kiai Mahfudz, Sukarni
nderek kiai-kiai di Jawa Timur ketika dikejar-kejar oleh polisi intel Belanda,
Supriyadi nderek kiai di Blitar, Tan Malaka nderek KH Hasyim Asy’ari.
Pesantren sebagai
Institusi Pendidikan
Secara tidak
langsung buku ini mendorong agar pesantren sebagai institusi pendidikan
dijadikan alternatif cermin bagaimana bentuk institusi pendidikan nasional
selayaknya. Karena Baso menilai orientasi pesantren sebagai institusi
pendidikan cukup kuat pondasinya.
Baso
menggarisbawahi bagaimana orientasi pendidikan pesantren telah menciptakan
pendidikan sebagai sarana untuk membentuk kemampuan bekerja dan berkarya, untuk
beramal saleh dan berderma bakti demi negeri ini. Pesantren menempatkan kata
kerja berguru sebagai sarana yang utama untuk membantu anak-anak bangsa ini
untuk memahami pengalaman manusia di dunia ini, untuk menguji dengan kritis
berbagai kecenderungan dunia ini, dan untuk memahami karakter khusus bangsa
kita.
Dan pendidikan
pesantren adalah pendidikan seumur hidup, seumur dengan kehidupan tradisi
keagamaan aswaja dan juga sepanjang usia kehidupan nusa-bangsa ini.
Orientasinya adalah untuk menjaga keselamatan dan kesinambungan kehidupan
berbangsa itu sendiri. Seberapa panjang usia kehidupan kebangsaan ini, demikian
pula usia tradisi keulamaan aswaja. Pendidikan pesantren adalah bentangan garis
lurus yang menjangkau dan menghubungkan kedua sisi kehidupan tersebut hingga di
penghujung akhir hayatnya. (hlm, 82-83)
Tentang Santri
Menjadi santri
tidak sekedar orang mencari ilmu di pesantren atau mengamalkan dengan baik
ajaran agama islam. Lebih dari itu, menjadi santri berarti belajar seumur
hidup, dalam proses pembelajaran dan pengajaran yang tidak pernah berhenti,
dari ayunan hingga ke liang kubur. Menjadi santri juga tidak disekat oleh
batas-batas agama, suku, atau kelompok. Dan juga tidak mengenal dikotomi antara
yang santri dan abangan. Nyantri tidak cukup satu kiai atau satu daerah tapi
banyak kiai dan daerah. Ini dasar kosmopolitanisme kaum santri.
Tentang Kitab/Pengetahuannya
Dijaman penjajahan
peradaban pesantren menunjukkan sebagai peradaban kitab dengan bukti; di kraton
Surakarta; ada 1.450 judul buku/kitab, di Aceh ada 580 2000 naskah, Di Banten 149
naskah.
Pengolahan
informasi dan pengetahuan pesantren terletak pada kecenderungannya untuk
merangkul suara sebanyak-banyaknya, dan kehendaknya untuk merangkul segenap
bentuk-bentuk kata dan bahasa, untuk mengadopsi beragam fragmen atau potongan
cerita dari teks-teks lainnya. Dalam tradisi pesantren berlaku kaidah
memelihara dan melestarikan hal-hal yang lama yang masih baik dan mengambil
hal-hal baru yang lebih baik. (hlm, 262).
Dari hasil
penelitiannya, baik teks maupun bergumul langsung ke berbagai pesantren di
nusantra, Baso menjelaskan dalam buku ini, terdapat 14 ragam ilmu pengetahuan
pesantren saat itu, yaitu; Ilmu ushul (tauhid) dan ilmu kalam, Ilmu fiqih dan
ushul fiqih (termasuk hukum, undang-undang dan jurisprudensi), Ilmu tafsir dan
ilmu hadis, Ilmu tasawuf dan ilmu etika (akhlaq), Ilmu bahasa dan tata bahasa
(ilmu nahwu, ilmu sharaf, pengetahuan bahasa-bahasa nusantara, dan
leksikograf), Ilmu balaghah dan ilmu mantiq, Ilmu pertanian (ilmu perusan
bumi), Ilmu thib (kedokteran) dan pengobatan, Ilmu astronomi, ilmu falak dan
astronomi, Matematika dan aljabar, Ilmu-ilmu teknik, Ilmu bumi, ilmu alam dan
ilmu biologi, Ilmu syajarah (sejarah), Ilmu-ilmu sosial (ilmu politik, ilmu
tata negara, dan ilmu ekonomi).
Dengan merujuk
kesemua hal tersebut Baso dalam buku ini menjelaskan, bagaimana pesantren ikut
mengolah tradisi kebangsaan dan keadaban melalui kosmopolitanisme ala
pesantren, dengan contoh peran pesantren di jaman penjajahan. Maka membicarakan
sejarah kebangsaan dan peradaban bangsa Indonesia tanpa menyinggung pesantren
adalah ahistoris.
***
Kehadiran buku ini
sangat baik bagi kahasanah sejarah nasionalisme, pendidikan nasional dan
pesantren itu sendiri. Melalui buku ini pesantren tidak sekedar dijadikan obyek
penelitian, tapi menjadi subyek, pesantren menulis. Dari sinilah kita bisa
mendapatkan keseimbangan informasi dan wacana tentang pesantren.
Meskipun begitu
kehadiran buku ini juga melahirkan beberapa catatan urgen berkaitan maksud
penerbitannya. Pertama, berkaitan dengan judulnya begitu panjang, mengapa tidak
cukup pesantren studies jilid/buku IIa saja? Kedua, berkaitan dengan jilid II
diterbitkan terlebih dahulu, ada apa gerangan dengan jilid/buku I?
Ketiga, buku ini tidak di pasarkan di toko buku umum, buku ini hanya dapat
dipesan langsung melalui penerbitnya atau melalui dunia maya, apakah ini tidak
justru menyulitkan kalangan umum dan pesantren mengaksesnya?
Terlepas dari itu
semua, kita patut mengapresiasi kehadiran buku ini sebagai bentuk perjuangan
intelektual Ahmad Baso, sebagai salah satu intelektual muda NU terdepan dan
konsisten menulis dengan kritis dan keberpihakan jelas pada pesantren, NU dan
Islam Aswaja. Melalui buku ini Baso menunjukkan pada kita bagaimana belajar
mengelola pengetahuan, mengelola institusi pendidikan yang bisa berperan aktif
dan konsisten untuk keadaban dan kebangsaan Indonesia agar bangkit dan jaya.[*]
*) Penulis Lepas
dan Petani Tembakau di Temanggung
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar