|
Judul
Buku: Politik Santri: Cara Menang Merebut Hati Rakyat
Penulis: Abdul Munir Mulkhan Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: I (Pertama), 2009 Tebal: 304 halaman Peresensi: Humaidiy AS*) |
Islam
dengan politik tetap menjadi bahan perbincangan menarik untuk dicermati
terlebih menjelang pil[pres Juli 2009 nanti. Dari perspektif politik (upaya
mencari dukungan untuk menduduki kursi kekuasaan), suara umat Islam yang nota
bene adalah mayoritas sampai saat ini masih menjadi kartu truf dalam upaya
untuk memperoleh kursi dalam kekuasaan. Bagi elit politik Indonesia, Islam
ibarat "gadis cantik" yang selalu dijadikan rebutan untuk memperbesar
kekuatan masing-masing partai politik.
Abdul
Munir Mulkhan melalui buku yang berjudul Politik Santri; Cara Menang Merebut
Hati Rakyat, berusaha menelusuri sejauh mana manuver partai-partai politik
berbasis Islam (diistilahkan oleh penulis sebagai politik santri) berhasil
bertahan dalam lingkaran pertarungan politik praktis dengan berbagai ideologi
yang di bawanya, lebih khusus mencermati kiprah perjalanan politik oleh Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tak lain adalah
”anak kandung” dari rahim gerakan Islam-tradisional; Nahdlatul Ulama (NU) dan
gerakakan Islam-modernis; Muhammadiyah, yang tak lain adalah dua ormas terbesar
di negeri ini.
Keterlibatan
politik santri terlihat jelas dari perjalanan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
sebagai organisasi terbesar santri yang lahir sejak zaman sebelum kemerdekaan.
Dalam perjalannya, keduanya tidak pernah benar-benar terlepas dari kegiatan
politik walaupun menyatakan diri bukan bagian dari gerakan politik seperti
dirumuskan dalam khittah masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari upaya
memasukkan Islam kedalam kekuasaan menjadi dasar negara secara resmi.
Pada
era 1950-an, terjadi pertentangan ideologis di antara partai politik yang ada.
Konflik itu dipicu oleh perdebatan apa seharusnya yang pantas menjadi dasar
negara setelah penjajahan. Perdebatan itu meliputi tiga macam yang harus
dijadikan dasar negara, Pancasila, Islam, dan sosial ekonomi.
Partai-partai
Islam menghendaki Islam dijadikan dasar negara Indonesia, sedangkan kelompok
partai nasionalis menolaknya. Rancangan pembukaan undang-undang dasar yang
mengatakan, sila pertama ketuhanan dengan menjalankan syariah bagi pemeluknya,
(Piagam Jakarta) ditentang oleh kelompok non-Islam. Melalui perbincangan yang
sangat melelahkan, akhirnya umat Islam menerima keberatan kelompok non-Islam
dan nasionalis dengan bersedia menghapus tujuh kata yang ada dalam Piagam
Jakarta. Sampai runtuhnya rezim Orde Baru, dasar negara tidak pernah
dipertanyakan. Baru pada era Reformasi, dasar negara mulai dipertanyakan
kembali. Muncullah sebagian kelompok Islam yang menghendaki Islam dijadikan
dasar resmi kenegaraan dan memberlakukan syariat Islam sebagai hukum resmi
pemerintah.
Asumsi
yang digunakan, menggunakan Islam sebagai dasar negara adalah salah satu cara
efektif untuk mengatasi krisis multidimensi bangsa Indonesia. Perbincangan
Islam sebagai ideologi negara, kembali terjadi di antara partai politik Islam.
PAN dan PKB secara tegas menolak menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Alasannya, Indonesia terdiri dari penduduk yang pluralis dalam hal suku, etnis,
agama, dan budaya. Sementara itu, PPP, PBB dan Partai Keadilan, setuju Islam
menjadi dasar negara Indonesia. Banyak pihak kemudian memandang bahwa
keterlibatan gerakan politik gerakan Islam dalam dunia Islam bisa menghambat
pertumbuhan demokrasi. (hal. 45).
Menurut
penulis, perdebatan hubungan Islam dan politik, khususnya keterlibatan gerakan
Islam dan kaum santri dalam dunia politik diakibatkan bahwa kaum santri
meletakkan keterlibatannya dalam dunia politik sebagai realisasi kebenaran
ajaran agama yang sebenarnya profan dan sangat ptragmatis. Cara pandang ini
menyebabkan aktivitas politik santri mengalami kesulitan berkomunikasi secara
terbuka dan dialogis dengan konstituen rakyat pemilih (hal. 233).
Walaupun
lebih dari 87% penduduk Indonesia memeluk Islam, tidak semua pemeluk Islam
kemudian mendukung partai Islam. Ironisnya, perolehan suara partai Islam dalam
seluruh pemilu yang dilangsungkan tidak pernah mencapai 50% dari jumlah pemeluk
Islam. Suara tertinggi dicapai dalam pemilu pertama tahun 1955 (43%) dan
cenderung terus mengalami penurunan.
Kenyataan
ini akan terus bergulir berkelindan sepanjang identitas ideologi politik partai
islam selalu berkutat pada jargon doktrin “normatif” keagamaan dan cenderung
elitis, sementara agenda-agenda “seksi” seputar permasalahan sosial seperti
kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang lebih menyentuh kepada kepentingan
masyarakat luas dimanfaatkan dengan baik sebagai flatform (bentuk kebijakan)
oleh partai-partai berbasis nasionalis atau sekuler. Simpati publik pun
mengalir, sehingga mereka meraih dukungan mayorits muslim. Parpol Islam hanya
menawarkan flatform berdasar rumusan formal ajaran yang kurang membumi tanpa
kemauan untuk memahami realitas sosial, ekonomi dan budaya rakyat kebanyakan.
Lebih
jauh, jika kita perhatikan, politik Islam Indonesia memang banyak yang bercorak
formalistik dan jauh dari substansi. Konflik kepentingan dan pandangan yang
berbuntut perpecahan internal banyak terjadi di tubuh partai Islam atau
berbasis umat Islam. Perpecahan dan konflik hampir merata terjadi di tubuh PPP,
PKB, PAN dan PBB adalah fakta yang tak terbantahkan. Hanya jika islam
ditawarkan dengan bahasa rakyat, peluang partai santri memperoleh dukungan
mayoritas pemilih muslim dan rakyat secara keseluruhan akan terbuka.
Membangun sinergi kesadaran
Masa
depan suatu partai, apakah ia dibangun dari sebuah keyakina teologis, tradisi
lokal ataupun ideologi sekuler, pada akhirnya ditentukan bagaimana aktivitas
partai tersebut membangun komunikasi dengan konstituen. Kegagalan perjuangan
politik Islam terjadi terutama tidak adanya kesesuaian antara doktrin dan aksi
politik. Kenyataan demikian dapat dilihat setidaknya dari dua hal, pertama,
anggapan bahwa doktrin yang berupa wahyu tampak hanya bersifat konseptual dan
universal tanpa kesadaran perlunya tafsir ulang. Sebut saja misalnya
penolakan-penolakan mereka terhadapa de-ide Barat dan kengototan untuk
menerapkan syariat islam secara formal.
Kedua,
doktrin agama tidaklah menjadi faktor penentu utama dalam aksi politik.
Artinya, meskipun partai Islam menekankan pada egaliteranisme, keadilan dan
kesejahteraan rakyat, namun faktor ekonomi dan sosial lebih ditonjolkan oleh
aktivis Islam politik. Hal ini tampak pada pragmatisme dan opurtonisme yang
banyak menjalar pada politisi Islam.
Mulkhan
dalam penelusuran bab demi bab dalam buku setebal 304 halaman ini menekankan,
bahwa jika ingin merebut simpati masyarakat muslim dan memenangi pemilu, parpol
Islam harus melepas keengganan untuk membangun sumber daya manusia (generasi
muda santri), terutama melalui pengkajian ilmu pengetahuan secara mendalam dan
pengaturan manajemen yang efisien. Selama ini, kekuatan politik santri lebih
banyak dikerahkan pada aspek ideologis simbolis dan kekuasaan yang bersifat
semu dan sesaat saja.
Politik
umat Islam ke depan –meminjam istilah Kuntowijoyo— haruslah melakukan
objektivitas terhadap praktik perjuangan politiknya. Artinya, mereka yang
bergerak dilevel partai dan ormas keislaman seyogyanya memperjuangkan
aspek-aspek substansi islam, memperbaikai pendidikan dan pemberantasan KKN
serta bersikap toleran terhadap umat agama lain demi pelakukan pembebasan
kemanusiaan. Di luar itu semua, bangsa Indoenesia suadah selayaknya tidak lagi
terjebak dalam simbol-simbol politik semacam sosialis, agamis ataupun
nasionalis.
Yang
dibutuhkan bangsa sekarang ini adalah pemerintah yang cerdik melakukan
prioritas tindakan dan kebijakan politik demi tumbuhnya iklim demokratisasi
yang sehat. Jadi, bukan pemerintahan atau partai yang hanya pandai beretorika
dan mengelabui massa dengan mengedepankan ideologi tertentu. Krisis politik,
ekonomi, hukum, moral dan budaya Indoensia sudah saatnya diselesaikan dengan
cara membangun sinergi kesadaran bersama oleh setiap elemen bangsa ini tanpa
terjebak pada simbol golongan dan ideologi. Selamat membaca! [*]
*) Peneliti pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.
Sumber:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar