|
Judul:
Post Tradisionalisme Islam;
Wacana Intelektualisme dalam
Komunitas NU
Penulis: Rumadi Pengantar: KH Abdurrahman Wahid Penerbit: Fahmina Institute Cetakan: Pertama, 2008 Tebal: xx + 382 halaman Peresensi: Mashudi Umar*) |
Nahdlatul
Ulama (NU) selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan pemikiran ke-Islam-an yang
berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan akomodatif terhadap
kebudayaan lokal Nusantara. NU selalu memosisikan diri sebagai ‘jangkar’
Nusantara, terutama yang digalang kader-kader mudanya.
Mereka
mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas menggunakan
basis pengetahuan tradisional yang dimiliki setelah dipersentuhkan dengan
pengetahuan baru dari berbagai khazanah modern. Mereka tidak hanya peduli dengan
modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga
melakukan revitalisasi tradisi.
Perkembangan
NU sendiri, dalam sejarahnya, tidak terlepas dari ikhtiar kaum mudanya dalam
mengekspresikan dan menjawab tuntutan zaman. Terlebih dengan menitikberatkan
pada upaya pembentukan kader NU yang ideal, yaitu, kader selain memiliki
keterampilan dan memiliki ruang kesadaran kosmologi yang luas serta toleran,
memiliki pola pikir yang jernih, rasional dan memiliki integritas moral yang
kuat dan ditunjang ideologi yang tinggi.
Titik
relevansi dengan Khittah NU yang menjelaskan tentang landasan akidah NU yang
bertolak pada Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Konsep Islam seperti
inilah yang menurut warga NU sebagai faktor fundamental dalam membangun
masyarakat NU yang berdiri di atas mabadi khaira ummah. Meski demikian,
warna dan gelombang pemikiran yang saat ini menjadi mainstrem di kalangan
nahdliyin seakan memiliki dua wajah yang bertentangan, yaitu wajah konservatif
yang direpresentasikan golongan tua dan wajah progresif yang digelorakan
kelompok intelektual NU. Keduanya memperlihatkan pada garis dinamikanya
masing-masing dan sama-sama memiliki pengikut.
Dengan
keilmuan pesantren yang mejadi modal awalnya, para intelektual NU yang telah
dibekali ilmu pengetahuan dan pendekatan modern, memiliki perspektif tersendiri
terutama dalam merespon dan mengkontekstualisasi berbagai masalah sosial, baik
politik, ekonomi, budaya dan tema-tema ke-Islam-an progresif.
Memang,
munculnya gairah intelektual dalam NU mempunyai latar belakang cukup panjang
dan dipengaruhi banyak perspektif, termasuk keputusan NU untuk meninggalkan
hiruk pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep kembali ke Khittah NU 1926.
Terpilihnya KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam Syuriyah dan KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo,
Jawa Timur, turut memperlancar laju pemikiran keagamaan kritis dan progresif di
kalangan NU.
Tongkat
komando yang dipegang Gus Dur sejak 1984, paling tidak membawa perubahan
penting dalam sejarahnya. Pertama, reposisi politik dengan keputusan kembali ke
Khittah 1926, dari politik formal dalam panggung pemerintah Orde Baru (Orba) ke
politik informal tanpa panggung. Sehingga NU mempunyai posisi tawar yang kuat
dengan pemerintah Orba, walau selalu dicurigai.
Kedua,
memberi ruang dan pelindung bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru dalam NU,
baik yang berkaitan dengan teologi, fikih, tasawuf, bahkan doktrin Aswaja dan
memperkuat NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang bergelut dengan isu-isu
sosial.
Dalam
konteks ini, NU menjadikan kepercayaan teologis sebagai basis pengembangan
masyarakat dengan mengusung isu-isu universal seperti, hak asasi manusia,
demokrasi, masyarakat sipil, termasuk juga kesetaraan gender.
Progresivitas
pemikiran kelompok muda NU, pada akhirnya membuahkan kritik dan pertentangan.
Kalangan ulama tua memperkukuh barisan guna mengerem gerak maju langkah anak
muda NU progresif. Puncaknya, pasca-Muktamar NU di Solo, Jawa Tengah, saat
ulama tua yang dimotori kalangan Syuriyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur,
melarang kalangan muda NU yang dianggap liberal, masuk dalam struktur NU mulai
dari pengurus ranting sampai pengurus besar.
Uniknya,
kedua kelompok yang selalu bersitegang itu sama-sama berangkat dari tradisi.
Dengan kata lain, pemahaman terhadap tradisi digunakan sebagai titik pijak dan
paradigma untuk melakukan perubahan. Jadi, tradisi sebagai basis gerakan untuk
melakukan transformasi sosial.
Dalam
pandangan kalangan muda NU, tradisi yang mereka lakukan tidak sekedar
mengangung-agungkan dan men-sakralkannya, tetapi juga melakukan kritik mendalam
atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pemikiran.
Bahkan, doktrin Aswaja juga tidak lepas dari sasaran nalar kritisnya. Pikiran
dan sikap mereka secara umum jauh lebih responsip dibanding para seniornya
dalam menghadapi masalah keumatan.
Munculnya
berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang keagamaan
juga berpengaruh bagi generasi muda NU. LSM tidak saja menggiatkan kehidupan
keagamaan, tetapi juga berperan aktif dalam membangun wacana progresif-kritis.
Sejak
era 1970-an, generasi muda NU mulai aktif di LSM untuk melakukan pendampingan
dan pengembangan pada masyarakat pedesaan. Aktivitas tersebut membuka
kesempatan bagi kalangan muda NU untuk berperan dalam diskursus intelektual
secara terbuka dan bersentuhan langsung dengan realitas sosial. Misal,
Lakpesdam NU, P3M, LKIS, Syarikat, Puspek Avveroes, Lapar, Incres, KKPS, dan
lain-lain.
Rumadi,
penulis buku ini dan seorang intelektual muda NU yang bekerja di The Wahid
Institute, berupaya mengungkap “tabir”, jejaring, mulai dari akar sejarah
kemunculan intelektualisme dalam komunitas NU yang dibungkus ‘Post
Tradisionalisme’ terutama yang digalang kelompok muda NU yang
intelektual-progresif, khususnya menjadi aktivis di LSM.[*]
*) Redaktur Eksekutif Majalah Alfikr terbitan Institut Agama Islam Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur
Sumber:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar