|
Judul
Buku: Pertemuan antara Tarekat dan NU,
Studi Hubungan Tarekat dan
NU
dalam Konteks Komunikasi
Politik (1955-2004)
Penulis: Drs Ja’far Shodiq, MSi Penerbit: Pustaka Pelajar Cetakan: Pertama, Juli 2008 Tebal: 222 Halaman Peresensi: Muhibin A.M.*) |
Membaca
gerakan tarekat di Indonesia, maka tidak akan terlepas dari sejarah masuknya
Islam di Nusantara. Suatu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim dan
merupakan satu-satunya negara yang penduduknya mayoritas muslim di dunia.
Secara historis, Islam masuk ke Nusantara dengan jalan damai dan tidak pernah
menempuh jalan kekerasan/peperangan. Islam masuk ke Nusantara dibawa para
saudagar muslim dari Asia Barat yang mayoritas mereka adalah penganut sufi dan
tariqat. Sehingga tidak heran jika saat ini kita banyak menyaksikan sisa-sisa
peningalan penyebar Islam Nusantara yang masih berbau tasawuf dan bahkan sangat
kental dengan nuansa sufi. Salah satu contoh konkretnya adalah mayoritas umat
Islam Indonesia yang menganut Islam tradisionalis yang ajaran-ajarannya lebih
banyak bernuansa tasawuf, seperti di pesantren.
Ajaran
tarekat yang masuk ke Nusantara hampir bersamaan dengan penyebaran Islam.
Karena tokoh-tokoh sufi yang menyebarkan Islam saat itu juga merupakan penganut
amalan tarekat yang memang saat itu menjadi ikon umat Islam di seluruh dunia,
terutama setelah runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad (Irak) oleh serbuan
tetaran Mongol, serta munculnya kekhalifahan Turki Usmani dengan tarekat
Bektasi-nya. Dalam perkembangna selanjutnya, ajaran-ajran sufi di Nusantara,
umumnya bertahan di pesantren-pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam
kultural dan sebagai pusat perkembangan amalan-amalan tarekat.
Sementara,
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah wadah aspirasi bagi kelompok Islam
tradisionalis atau yang lebih dikenal dengan golongan nahdliyin (warga
NU). Gerakan NU lebih banyak bergerak dalam bidang organisasi ke-Islam-an yang
terjun dalam lapangan sosial kemasyarakatan dan juga politik. NU merupakan
satu-satunya organisasi yang tetap mempertahankan keberadaan mazhab di samping
juga tidak menolak adanya modernisme Islam. Keberadaan NU juga untuk
mengimbangi gerakan modernis yang menolak mazhab Islam.
Antara
tarekat dan NU memiliki jarak yang cukup panjang dalam sejarahnya. Namun,
kebanyakan ulama-ulama NU merupakan orang-orang tarekat dan bahkan berguru pada
ulama-ulama tarekat. Bahkan, pendiri NU, KH Hasyim Asy’ary, merupakan penganut
salah satu tarekat. Sehingga NU dan tarekat bisa dipastikan sebagai sebuah satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena hanya NU-lah satu-satunya
organisasi yang sampai saat ini setia melindungi keberadaan tarekat dari
tuduhan-tuduhan miring kaum modernis.
Salah
satu yang menyebabkan berkolaborasinya antara tarekat dan NU adalah adanya
persamaan dalam model kepemimpinan mereka yang menggunakan kepemimpinan yang
paternalistik dan kharismatik sekaligus. Jika dalam tarekat dikenal sebagai
seorang mursyid (guru), maka dalam NU akan dikenal dengan kiai yang
banyak berdomisili di pesantren. Dan, terkadang seorang kiai dapat merangkap
sebagai seorang mursyid tarekat sekaligus. Kepemimpinan dengan model
paternalistik, sekaligus kharismatis ini merupakan model kepemimpinan yang juga
ada di kalagan tradisionalis NU. Dalam struktur organisasi NU yang selama ini
berjalan bahwa siapa yang paling memiliki kharisma di antara kiai-kiai lainnya,
maka dialah yang akan terpilih menjadi pimpinan tertinggi, seperti KH Hasyim
Asy’ary yang saat itu merupakan satu-satunya kiai yang paling kharismatis di
Jawa, yang tidak hanya di kalangan nahdliyin tapi juga pada golongan modernis,
seperti, Muhammadiyah dan Persatuan Islam. (halaman 156)
Bukan
tak mungkin karena hanya NU-lah satu-satunya organisasi yang dapat melindungi
kaum tarekat, maka kemudian kaum tarekat merupakan salah satu pendukung setia
NU. Sampai saat ini, hanya NU-lah yang memiliki undang-undang organisasi yang
mengakui keberadaan tarekat yang ada di Indonesia sebagai bagian dari NU. Hal
itu dimaksudkan untuk menolak tuduhan-tuduhan miring, bahkan sesat, dari
golongan modernis.
Setidaknya,
dengan masuknya tarekat ke dalam NU, akan dapat mengurangi tuduhan-tuduhan itu
dan sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab NU sebagai sebuah organisasi untuk
mengklarifikasi setiap tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada tarekat. Namun,
yang perlu kita ketahui bahwa antara NU dan tarekat memiliki
perbedaan-perbedaan, di antaranya, jika tarekat merupakan bagian dari NU, namun
warga NU tidak mesti menjadi kelompok tarekat, karena banyak sekali warga NU
yang enggan masuk dalam jamaah tarekat.
Meski
demikian, kalangan nahdliyin dalam setiap amalan ibadahnya kebanyakan
menyerupai dengan amalan ibadahnya jamaah tarekat. Jelasnya, antara NU dan
tarekat merupakan kaum-kaum sufisme yang setia. Konsep ajaran yang ada di tarekat
dan NU keduanya tidak jauh berbeda. Ini merupakan salah satu pengaruh yang
paling kentara dalam sisa-sisa penyebaran Islam di Nusantara oleh ulama-ulama
sufi.
Buku
setebal 222 halaman ini mencoba mengklarifikasi hubungan yang harmonis antara
NU dengan tarekat. Dengan model persamaan dalam kepemimpinan yang dimiliki
keduanya, sehinga dalam politik perekrutan massa pun dikenal dengan politik
kultural dan struktural. Politik kultural karena kedua golongan tradisionalis
dengan tarekat ini memiliki persamaan di banyak bidang. Sementara, secara
struktural, keduanya kemudian meleburkan diri dalam sebuah organisasi yang
dinamakan NU. Model politik kultural dan struktural ini yang digunakan NU untuk
menarik massa saat memasuki dunia politik yang meleburkan diri dalam Masyumi
hingga saat ini.[*]
*) Peneliti pada Hasyim Asy’ary Institute,Yogyakarta
Sumber:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar