|
Judul:
Presiden Guyonan
Peresensi: J. Sumardianta Penulis: Butet Kartaredjasa Terbit : Desember 2008 Penerbit: Kitab Sarimin ISBN: 978-979-187772-0-6 Tebal: 310 Halaman |
PADA suatu pagi
yang hening, di tengah suasana tafakur doa, para murid tersentak dikegetkan
suara guru meditasi mereka bergegar-gegaran meledak dalam tawa. Saat sore tiba,
pada upacara pemakaman seorang petinggi kerajaan, para murid dibikin sontak
pula oleh derai tawa lepas guru mereka. Malam hari, saat seluruh penghuni
perguruan Zen harus silentio stampa (puasa omong), sekali lagi sang guru
terpingkal-pingkal ketawa. Para murid masygul mendapati ketidaklaziman itu.
Guru pun berkata, “Manakala surga menyentuh hatiku masakan aku diam saja.
Hatiku melonjak girang bagaikan saut riuh kicau burung di waktu fajar.”
Sang guru Zen
telanjur dipandang sebagai manusia bijaksana. Sepanjang hidup, ia mencari,
mendalami, dan merenungkan kebijaksanaan. Ia merasa belum sampai pada kebajikan
hidup. Kesadaran itu ia alami saat tertawa. Kebijaksanaan justru terjadi saat
sang guru tertawa karena menemukan persepsi kontradiktif atas realitas
hidupnya.
“Abundant living:
think deeply, speak gently, laugh often, work hard, give freely, pay promptly,
pray earnestly, be kind.” Aforisma John Kanary, spiritualis Kanada ini, pas
banget buat meringkas sepak terjang Butet Kartaredjasa. Pengasong jasa akting
itu hidup berkelimpahan berkat kegemarannya berpikir mendalam, bicara gagah,
selalu bikin siapa pun tertawa lepas, suka bekerja keras, ikhlas memberi, tidak
menunda pembayaran, doa bersungguh-sungguh, dan ramah.
Butet Kartaredjasa
punya banyak predikat: raja monolog, tukang tonil (pemain sandiwara), pemangsa
makanan enak, panglima Front Pemuja Guyonan, dan kolomnis. Buku Presiden
Guyonan bukti Butet piawai bertutur dalam bentuk esai. Buku ini merupakan
antologi “Kolom CELATHU” di harian Suara Merdeka Semarang.
Celathu merupakan
sketsa sosial ganjil dibingkai spirit kejenakaan. Mas Celathu, tokoh alter-ego
Butet, manusia waton njeplak yang penuh sense of irony. Gerundelan perihal
kepahitan hidup senantiasa dibungkus gurau. Celathu, dalam percakapan lumrah
orang Jogja dan Jawa Tengah, artinya berujar, menyambar omongan, dan nyeletuk.
Butet menyambar fenomena-fenomena aktual. Pun peristiwa yang sedang menghajar
dirinya.
Lomba makan kerupuk
dan panjat pinang, bagi Butet, tak lain sindiran rakyat terhadap makna hari
kemerdekaan. Para pemimpin yang dipercaya sebagai bangsa konsisten
menyelenggarakan kemiskinan. Demi sepotong kerupuk rakyat harus berjuang keras
dan berebut mengunyah. Makna 64 tahun kemerdekaan masih seperti panjat pinang.
Mereka yang di bawah diminta menjadi tumbal kemakmuran segelintir manusia yang
bertengger nun di atas singgasana kekuasaan.
“Dunia ini memang
aneh,” gerutu Butet. Sementara banyak orang bernafsu menjadi raja semu, eh,
malah ada raja beneran mendiskon derajat dengan mencalonkan diri sebagai
presiden. Pemangku budaya adiluhung itu dinilai Butet silau dengan jabatan
politik yang umurnya cuma lima tahun. Kursinya pun penuh ketonggeng,
kalajengking, bangsat, lipan, kelabang, dan tikus. Ketimbang jadi presiden
beneran tapi mendukung eksperimen guyunan semacam proyek Blue Energi dan Padi
Super Toy HL2, Butet memiilih jadi presiden guyonan.
Multimedia di zaman
digital cenderung meringkas, memoles, dan memanipulasi informasi dalam bentuk
iklan politik. Busuk dibikin segar. Kasar dicitrakan lembut. Jahat dikemas
alim. Koruptor dipoles suci. Pembunuh disugestikan dermawan. Kriminal dibesut
jadi agamis. Iklan politik bagian dari mata rantai industri dan perdagangan.
Hakikatnya jual beli. Modal ditanam agar laba lekas dipanen. Investasi yang tak
murah itu jelas bukan pengabdian. Butet menganjurkan khalayak mewaspadai
reklame calon anggota legislatif, bupati, wali kota, gubernur, dan presiden.
Kepemimpinan tokoh yang mendadak kondang berkat iklan politik punya
kecenderungan absurd. Dua tahun pertama ia bakal sibuk sebrak saut
mengembalikan modal investasi. Dua tahun berikutnya aji mumpung buat memetik
laba. Tahun terakhir sang memimpin sibuk cari modal buat beriklan pada pemilu
berikutnya.
Butet mengusulkan
merger Departemen Perhubungan dengan Departemen Agama. Departemen Perhubungan
sukses meningkatkan keimanan dan ketakwaan manusia Indonesia. Para penumpang
pesawat terbang, kereta api, bus, dan kapal laut menjadi religius dadakan.
Mereka yang biasanya mengabaikan Tuhan langsung berdoa mohon keselamatan selama
perjalanan. Soalnya, pesawat acap nyungsep, kapal karam, bus masuk jurang, dan
kereta terguling. Kantor BKKBN sebaiknya ditutup. Peran mengendalikan jumlah penduduk
telah diambil alih Departemen Perhubungan. Departemen Agama kelak tugasnya
hanya membangun tempat ibadah di bandara, stasiun, pelabuhan, dan terminal.
Kelak urusan agama tidak lagi diatur negara. Agama dikembalikan ke wilayah
privat seperti halnya mandi, gosok gisi, makan, dan tidur.
Derai tawa Butet
berlumuran satir sarkasme yang menggebuk ulu hati. Kemampuan Butet melucuti
pelbagai paradoks lalu mengubahnya menjadi ironi bergelimang sikap mencemooh
dan menertawakan, meminjam kerangka berpikir antropolog James Scott, boleh
disebut sebagai weapon of the weak (senjata kebajikan kaum keserakat).
Butet memang
membiasakan diri hidup rileks dan tidak gampang disulut amarah. Serumit apa pun
persoalan tidak dibawanya dalam kepanikan. Masalah yang gawat tidak membuatnya
kapok ketawa. Selalu ditemukan akal buat mengubah yang pahit menjadi segar.
Bercanda membuat syarafnya kendor dan pembuluh jadi longgar. Butet telah
menemukan sari pati kehidupan: perasaan syukur. Ia menerima dengan ikhlas
diabetes mellitus akut yang bergentayangan di sekujur tubuhnya.
Esai-esai Presiden
Guyonan mengalir tak ubahnya kolom Mangan Ora Mangan Kumpul milik almarhum Umar
Kayam. Butet memang mewarisi ketangkasan menulis dari mentornya itu.
Spontanitas Butet dalam mengironikan tragedi setali tiga uang almarhum Basiyo,
komedian masyur Jogja era 70-an. Gaya berkisahnya yang menyengat laksana lebah
membangunkan kerbau tidur mengingatkan orang ramai akan obrolan Pak Besut di
RRI Jogja dekade 70-an.
Novelis Ashadi
Siregar berkomentar, sulit mencari orang Jogja asli yang rileks penuh canda
dalam mengurai perkara ruwet. Orang Jogja, tak beda dengan manusia Indonesia
umumnya, ngrenggiyek (tegang) menghadapi persoalan pelik semisal status
keistimewaan Jogja. Dan, Celathu dibikin asyik dengan goresan jenaka kartunis
Dwi Koendoro.
Humor memang siasat
menjaga keselarasan semesta hikmah. Celathu menghidupkan kembali semangat
ugahari Basiyo dan Pak Besut. (*)
*) Sumardianta, guru
SMA de Britto Jogjakarta, penulis buku Simply Amazing: Inspirasi Menyentuh
Bergelimang Makna
Sumber:
Jawa Pos, Minggu,
22 Maret 2009

Tidak ada komentar:
Posting Komentar