|
Judul:
Psikologi Agama (sebuah pengantar)
Penulis: Jalaluddin Rakhmat Penerbit: Mizan Bandung Cetakan: Agustus 2003 Tebal: Xvii+247 Halaman Harga: Rp 34.000 Peresensi: Faiz Manshur |
Agama
sebagai gejala psikologi rupanya cukup memberikan pengertian kepada kita
tentang perlu atau tidaknya manusia beragama. Bahkan lebih dari itu, ketika
agama benar-benar tidak sanggup memberikan pegangan bagi masa depan kehidupan
manusia, kita pun bisa saja terinspirasi untuk menciptakan agama baru, atau
setidaknya melakukan berbagai eksperimen baru sebagai jalan keluar dari
berbagai problem kehidupan.
Beberapa
dekade lalu, wacana seputar agama pernah diperdebatkan dalam kaitannya dengan
ilmu-pengetahuan. Kebanyakan pemikir modern melihat, pada kenyataanya agama
merupakan sekumpulan doktrin yang dilegitimasi oleh “prasangka-prasangka”
manusia di luar rasionalitas. Sementara, ilmu pengetahuan yang nota bene mengedepankan
rasionalitas sangat keras menolak doktrin. Dikotomi ini pada perkembangan
selanjutnya juga berimplikasi pada pemahaman bahwa masyarakat yang telah
memasuki gerbang rasionalitas akan berkurang keyakinannya terhadap agama,
terutama agama formal yang terinstitusi (institutionalized religion).
Semakin rasional seseorang, semakin menjauh dia dari ritual agama. Sebaliknya,
manusia yang kurang tersentuh rasionalitas, dengan sendirinya akan kuat
menyakini ajaran agama.
Fakta
sosiologis banyak mendukung pemahaman demikian. Dalam masyarakat modern
--seperti di negara-negara Eropa dan Amerika-- banyak orang yang tidak lagi
mengindahkan agama. Sementara itu, di banyak negara berkembang yang
transformasi ilmu pengetahuannya masih lamban, masyarakatnya masih sangat kuat
meyakini ajaran agamanya. Namun kenyataan tersebut hanya ada persepsi
sosiologis. Di luar itu, ada sejumlah fenomena yang tidak sepenuhnya berada
dalam persepsi demikian.
Sebagai
contoh, sekarang kita banyak menemukan masyarakat yang hidup dalam situasi
modern, percaya akan rasionalitas, namun tetap memegang ajaran agamanya secara
kuat. Lebih dari itu, di negara-negara yang sudah maju, banyak juga ditemukan
gejala lari ke agama dalam bentuk-betuk lain seperti sekte-sekte. Inilah
beberapa fenomena yang tidak terbantahkan. Kenyataan yang demikian setidaknya
disebabkan oleh berbagai macam hal. Salah satunya karena modernitas sendiri
tidak selalu memberi perbaikan bagi kondisi umat manusia. Modernitas tak mampu
mengatasi berbagai problem dan misteri kehidupan yang menerpa manusia. Bahkan,
modernitas sebagai bagian dari proyek kemajuan rasionalitas, nyatanya hanya memberikan
konstribusi positif bagi kelas yang dominan. Mereka-mereka yang terpinggirkan
mengalami marginalisasi atau keterasingan dari kemajuan zaman.
Situasi
inilah yang membuat mereka tergerak untuk menemukan alternatif atau pegangan,
karena modernitas bukan lagi rumah yang damai untuk kehidupan. Agama sebagai
salah satu ajaran yang memberi tuntunan hidup ternyata banyak dijadikan
pilihan. Hanya saja, mengapa agama menjadi pilihan sebagian orang dalam zaman
yang serba canggih ini? Kenapa mereka tidak memilih ideologi yang nota bene
lahir dari rahim modernitas?
Ada
indikasi kuat bahwa di dalam agama terdapat banyak nilai yang bisa dimanfaatkan
manusia ketimbang ideologi. Ini disebabkan karena ideologi, hanya membuka diri
pada hal-hal yang sifatnya rasional. Dan itu justru membatasi berbagai
kepentingan manusia. Sementara agama dengan keleluasaannya memberi banyak
ruang. Orang bisa beragama dengan memasukkan banyak rasionalitas, sebagaimana
pengalaman para pemikir-pemikir keagamaan yang hidup dalam dunia akademik.
Sebaliknya, orang juga bisa dengan leluasa memeluk agama dan merasakan
nilai-nilai positifnya tanpa harus capek-capek menggunakan potensi akalnya
untuk berpikir.
Bagi
mereka yang termarginalisasi atau bahkan hidupnya dimanja oleh modernitas,
agama juga tetap memberik tempat. Agama memberi tempat bagi semua. Di atas
keterbukaan inilah agama seringkali menjadi fenomena yang cukup unik dalam
masyarakat. Di dalam dimensi-dimensi agama, terdapat banyak varian yang cukup
sulit untuk digeneralisasi oleh paradigma sosiologi. Jalaluddin Rakhmat, dalam
buku ini melukiskan secara metaforis: “Agama adalah kenyataan terdekat
sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat, karena ia senantiasa hadir dalam
kehidupan kita sehari-hari, baik di rumah, kantor, media, pasar, dan di mana
saja. Begitu misterius, karena ia sering tampil dengan wajah yang sering tampak
berlawanan: memotivasi kekerasan tanpa belas kasihan, atau pengabdian tanpa
batas; mengilhami pencarian ilmu yang tertinggi, atau menyuburkan takhayul dan
superstisi; menciptakan gerakan paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani
yang paling personal; memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian
paling hakiki.” (hlm. 1).
Agama
adalah juga fenomena sosial. Agama juga tak hanya ritual, menyangkut hubungan
vertikal antara manusia dengan Tuhannya belaka, tapi juga fenomena di luar
kategori pengetahuan akademis. Sebagian manusia mempercayai agama, namun tidak
pernah melakukan ritual. Yang lain mengaku tidak beragama, namun percaya
sepenuhnya terhadap Tuhannya. Di luar itu semua, kita sering menyaksikan, dalam
kondisi tertentu --semisal kesulitan hidup atau tertimpa musibah-- manusia
cenderung berlari kepada agama. Sebaliknya, pada saat dirinya hidup dalam
kondisi normal, mereka seringkali tidak peduli terhadap agama, bahkan
mengingkari eksistensi Tuhannya.
Berangkat
dari fenomena demikian, psikologi agama merupakan salah satu cara bagaimana
melihat praktek-praktek keagamaan. Dengan paradigma psikologi, Jalal mencoba
mengatasi kebuntuan analisis seputar fenomena keagamaan yang sangat beragam
seperti dewasa ini. Psikologi yang dimaksudkan buku ini tentu tidak melihat
agama sebagai sebuah fenomena langit yang sakral dan transenden. Sebuah lahan
garapan teologi. Yang ingin dilakukan Jalal adalah membaca keberagamaan sebagai
fenomena yang sepenuhnya manusiawi. Ia menukik ke dalam proses-proses kejiwaan
yang mempengaruhi perilaku kita dalam beragama, membuka “topeng-topeng” kita,
dan menjawab pertanyaan yang berbunyi “mengapa”. Psikologi, karena itu,
memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan siapa saja dan di
mana saja (hlm. 248).
Sebagai
gejala psikologi, agama rupanya cukup memberi pengertian tentang perlu atau
tidaknya manusia beragama. Bahkan bila dicermati lebih jauh, ketika agama
betul-betul tak sanggup lagi memberi pedoman bagi masa depan kehidupan manusia,
kita bisa saja terinspirasi untuk menciptakan agama baru, atau setidaknya
melakukan berbagai eksperimen baru sebagai jalan keluar dari berbagai problem
yang menghimpit kehidupan.
Buku
ini layak dibaca. Selain kita akan diperkaya oleh landasan-landasan pemikir
besar dunia, kita juga akan diarahkan untuk tidak bersikap hitam-putih dalam
melihat praktek-praktek keagamaan maupun ajaran agama itu sendiri. Selamat
membaca! [*]
Sumber:
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar