Judul : Keluarga Maslahah, Terapan Fikih Sosial Kiai Sahal
Penulis : M. Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid Penerbit : Mitra Abadi Press, Jakarta Cetakan : 1, Maret 2010 Tebal : v + 316 Halaman Peresensi : Mashudi Umar*) |
Membangun
keluarga maslahah merupakan unsur sentral dalam ajaran Islam, sebab unit
keluarga memang merupakan sendi utama masyarakat. Atas landasan unit-unit
keluarga yang sehat akan berdiri tegak bangunan masyarakat yang sehat. Karena,
perkawinan dalam Islam adalah sebuah ikatan bathiniyah dan dhahiriyah antara
dua pasangan setara yang telah mengucapkan ijab qabul. Keluarga juga sebagai
tempat pembinaan pertama (madrasatul ula) menjadi sangat menentukan akan
fondasi keimanan yang kokoh dan melahirkan anak-anak yang baik secara kualitas
dan kuantitas.
Karena
pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasul dan merupakan anjuran agama.
Pernikahan yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai miitsaaqan ghaliizhah
(perjanjian agung), bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi,
bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai
penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka. Rasulullah
SAW bersabda bahwa “Suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala
dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya.”
Begitulah,
laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah
pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan kewajiban. Suami
wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di
antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Istri dituntut
untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumah tangganya. Suami istri saling
memberikan ketentraman menuju keluarga sakinah, mawaddah, warahmah (QS.
Ar-Rum, 30:21)
Masing-masing
dari suami-isteri memikul tanggungjawab bagi keberhasilan perkawinan mereka
untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Apabila masing-masing lebih memperhatikan
dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya daripada menuntut haknya
saja, Insya Allah, keharmonisan dan kebahagian hidup mereka akan
lestari sampai hari Akhir. Sebaliknya, apabila masing-masing hanya melihat
haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan atau melihat kekurangan dari
yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi beban yang sering kali tak
tertahankan.
Islam
sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Akhlak yang mulya baik pada
pribadi-pribadi dan keluarga, akan menciptakan masyarakat yang baik dan harmonis
juga. Karena itu, hukum keluarga menempati posisi penting dalam hukum Islam.
Hukum keluarga dirasakan sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang.
Paradigma
berkeluarga seorang Muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk
beribadah kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi, menjaga kesucian diri, dan
melakukan aktivitas sehari yang berkaitan dengan keluarga. Sabda
Rasulullah SAW berbunyi; “Sesungguhnya menikah adalah sunnahku, barang siapa
yang tidak mengikuti sunnahku maka dia bukan golonganku.”(HR.
Bukhari dan Muslim).
Jadi
sangat penting bagi seorang Muslim membangun kompetensi untuk membangun
keluarga. Kompetensi keluarga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan
sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah
tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakan nilai-nilai Islam di masyarakat
dan membangun moralitas anak bangsa.
Buku
ini memberikan gagasan terobosan dalam menciptakan keharmonisan keluarga yang
dirumuskan dalam keluarga maslahah (baik). Sebuah rumusan yang
berangkat dari ketentraman satu sama lain menuju keluarga sakinah, mawaddah,
warahmah. Dengan kata lain, fiqih sosial ala Kiai Sahal Mahfudz ini bertolak
dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial dalam perspektif Islam harus
dengan mengintegrasikan hikmah hukum pada illat (alasan)
hukum, sehingga diperoleh suatu jalan keluar yang berorientasi pada prinsip
kemaslahatan umum dan memperkokoh ketahanan nasional untuk meningkatkan
kualitas bangsa.
Kiai
sahal adalah kiai yang konsern betul dalam masalah kependudukan. Menurut Mbah
Sahal membenahi masalah kependudukan berarti juga memperbaiki kualitas
sumber daya manusia Indonesia. Jumlah penduduk yang besar dan tidak berkualitas
akan membawa kesulitan yang luar biasa bagi bangsa ini. Meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dalam jumlah kecil saja tidak mudah, apalagi harus
menanggung beban jumlah penduduk yang begitu besar. Mbah Sahal bahkan berani
melakukan sebuah resistensi atas dominasi tafsir yang sudah berkembang di
dunia pesantren tentang membangun kualitas keluarga. Umumnya dan menjadi
masyhur ditengah-tengah masyarakat bahwa “memperbanyak anak banyak rezeki”.
Kiai
Sahal yang juga Rais Aam PBNU untuk ketiga kalinya dan Ketua Umum MUI Pusat
termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi yang
langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah ditulis,
baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan sebagian karya-karya
tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKiS,
1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999); Telaah
Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).
Kredibilitas
keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampir seluruh masyarakat, tidak
saja di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) tapi juga ditingkat nasioanal dan
internasional. Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan prinsip
juga sisi lain dari kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam menyikapi
berbagai problem sosial menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth
(Moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (egaliter) dan i’tidal
(adil), tapi juga menunjukkan kearifan pribadinya.
Kiai
Sahal mendapat gelar kehormatan, Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, karena sumbangsih besarnya dalam
mendinamisasi pemikiran fikih pesantren dari normatif ke analitis-konstektual,
dari tekstual ke rasional filosofis.
Penulis
buku Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid, mampu menyediakan informasi yang
komprehensif, cermat dalam analisis dan akurat dalam penyajian data tentang
pikiran-pikiran Mbah Sahal dalam konteks keluarga maslahah, sehingga akan
terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, baik kualitas
maupun kuantitasnya sebagaimana cita-cita setiap insan berkeluarga. Sehingga
buku ini menjadi penting dibaca sebagai referensi membangun keluarga sakinah,
mawaddah, wa rahmah.[*]
*Mashudi Umar adalah aktivis Simpul Jaringan Forum Antar Umat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan (Sijar Fapsedu) Jakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar