Senin, 17 Maret 2014

Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo


Judul : Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo
Penulis : Azizah Etek dkk
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Cetakan : 1 Mei 2008
Tebal : xvi+512 hlm



Bahasa Indonesia tidak lahir begitu saja ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Tapi ia lahir melalui proses perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan hingga ditetapkanya menjadi bahasa nasional pada moment Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Tidak sedikit pula, orang-orang yang terlibat dalam proses panjang itu.
Mungkin jarang yang mengenal, siapa Jahja Datoek Kajo Suroso, Thamrin, Abdoel Rasjid, Soangkoepon, Wirjopranoto, dan Iskandar Dinata. Mereka semua adalah orang-orang yang gigih memperjuangkan eksistensi bahasa Indonesia ketika bahasa Belanda menjadi bahasa resmi komunikasi masyarakat pada saat Nusantara masih dikuasai oleh pemerintahan Hindia Belanda. Hanya saja, dari kesemuanya itu, yang paling gigih dan berani memperjuangkan bahasa Indonesia adalah Jahja Datoek Kajo.
Siapa Jahja Datoek Kajo? Dialah salah satu tokoh pejuang pra-kemerdekaan yang telah mempertaruhkan hidupnya hanya untuk membuka jeruji penjara praktik kolonialisme di negara yang saat ini bernama Indonesia. Dialah salah satu manusia yang banyak berjasa pada bangsa Indonesia hingga menjadi bangsa merdeka seperti yang kita jumpai sekarang ini. Dialah salah seorang dari sebagian pejuang kemerdekaan yang paling gigih dalam mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia. Bahasa yang saat ini banyak kita pakai dalam acara-acara resmi, proses belajar disekolah, komunikasi antar daerah yang bahasnya berbeda, dan masih banyak lagi lainya.
Buku ini akan mencoba memaparkan, bagaimana proses perjuangan panjang yang pernah dilakukan Jahja—panggilan akrapnya--,ketika melawan semua kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang pernah diterapkan paksa kepada masyarakat Indonesia. Salah satunya, sering kali dirinya melanggar ketetapan pemerintah kolonial yang mengharuskan, bahasa Belanda sebagai komunikasi dalam acara-acara resmi atau dalam persidangan yang diadakan pemerintah pada waktu itu.
Belanda akan memberikan sangsi ketat atau bisa dikatakan hukuman, jika sampai tidak menuruti peraturan tersebut. Tapi tidak bagi Jahja, ia tak pernah peduli pada hukuman atau sangsi akibat melanggar peraturan tersebut. Bahkan, ia sering kali mempergunakan bahasa Indonesia ketika dalam forum persidangan atau semacamnya. Karena abainya ini, akhirnya kedudukan sebagai anggota di Volksraad tidak dapat bertahan lama. Ia hanya, mampu bertahan dua tahun di sana.
Pernah pada suatu kesempatan, Jahja meminta hadirin pada saat sidang Volksraad dimulai, "jika nanti menyela pembicaraan yang sedang saya sampaikan, saya mohon agar dilakukan dengan bahasa Melayu (Indonesia)". Begitu kurang lebihnya. Pada kesempatan lain pun, ia pernah berterus terang pada anggota sidang, bahwa di dalam sidang Majelis Volksraad ia lebih suka mempergunakan bahasa Indonesia dalam menyampaikan ide atau apa, karena ia merasa sebagai seorang yang Indonesier.
Perasan Indonesier hidup dalam Indonesier, perasaan Belanda hidup di negara atau wilayah Belanda, yaitu "setidaknya orang itu membicarakan bahasanya sendiri". Begitu ungkapnya. Karena alasan itu, menjadikan ia lebih suka menggunakan bahasa Indonesia. Walaupun dirinya juga sangat pandai berucap dalam bahasa Belanda (hlm: 15)
Jahja dilahirkan di Koto Gadang pada 1 Agustus 1874. Masa kecilnya dihabiskan untuk berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain bersama kedua orang tuanya. Ini yang menyebabkan proses pendidikannya menjadi tersendat-sendat. Mula-mula ia sekolah di Suliki, tapi di Suliki Jahja hanya bertahan selama kurang lebih setahun.
Tahun 1883, ia pindah belajar di Pasar Gadang Padang. Di tempat itu pun, ia tidak bertahan lama. Ia hanya mampu bertahan selama kurang lebih dua tahun. Kemudian pada Tahun 1885-1887, ia kembali masuk sekolah prifat di Bukit Tinggi. Dirasa cukup mumpuni, dalam hal pengalaman dan keilmuan, akhirnya ia pada Tahun 1888, mulai mencoba magang pada kantor Residen Padang Darat dengan tujuan ingin dirinya lebih mengenal dari dekat bagaimana birokrasi pemerintah kolonial Hindia-Belanda berjalan. Dari proses itu selanjutnya ia diangkat sebagai anggota Volksraad oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam perjuanganya merawat bahasa Indonesia, Jahja tidak pernah ambil pusing. Entah itu di forum resmi seperti Konstraad atau apa lainya, tetap, satu-satunya bahasa yang dipergunakan adalah bahas Indonesia. Karena itulah, sampai-sampai Suryadi, seorang dosen di Universitas Leiden, menyatakan Jahja sebagai si "jago berbahasa Indonesia di Volkstraad". Seperti itu pula yang pernah dikatakan dalam koran-koran pribumi pada masa itu.
Itulah sekilas pandang Jahja Dtoek Kajo dalam mempertahankan keeksistensian bahasa Indonesia. Hadirnya buku ini kiranya akan membuka wacana-wacana sejarah bangsa Indoesia yang selama ini masih jarang diketahui masyarakat.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia mengenal jati dirinya melalui sejarah. Jangan sampai, bahasa yang dielu-elukan Jahja dan kawan-kawanya suatu saat akan mampu menjadi bahasa negara, bahasa persatuan, dan bahasa tanah air, tapi sekarang justru harus tercerabut oleh kesombongan masyarakatnya sendiri.
Jangan sampai karena pengaruh dari budaya negara luar yang muncul, bahasa indonesia termarjinalkan. Begitu pula kita, jangan sampai pernah sekali-kali merendahkan bahasa ibu pertiwi dengan membanggakan bahasa negara lain. Bahasa merupakan idenlitas suatu negara maka "Jayalah bahasa Indonesia". [*]

*) Heri Kurniawam, Penulis adalah pengamat sosial pada "Lembah Kajian Peradaban Bangsa" (LKPB) Yogyakarta.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar