Judul : Kelah Sang Demang Jahja Datoek
Kajo
Penulis : Azizah Etek dkk Penerbit : LKIS, Yogyakarta Cetakan : 1 Mei 2008 Tebal : xvi+512 hlm |
Bahasa
Indonesia tidak lahir begitu saja ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Tapi ia
lahir melalui proses perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan hingga
ditetapkanya menjadi bahasa nasional pada moment Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928. Tidak sedikit pula, orang-orang yang terlibat dalam proses
panjang itu.
Mungkin
jarang yang mengenal, siapa Jahja Datoek Kajo Suroso, Thamrin, Abdoel Rasjid,
Soangkoepon, Wirjopranoto, dan Iskandar Dinata. Mereka semua adalah orang-orang
yang gigih memperjuangkan eksistensi bahasa Indonesia ketika bahasa Belanda
menjadi bahasa resmi komunikasi masyarakat pada saat Nusantara masih dikuasai
oleh pemerintahan Hindia Belanda. Hanya saja, dari kesemuanya itu, yang paling
gigih dan berani memperjuangkan bahasa Indonesia adalah Jahja Datoek Kajo.
Siapa
Jahja Datoek Kajo? Dialah salah satu tokoh pejuang pra-kemerdekaan yang telah mempertaruhkan
hidupnya hanya untuk membuka jeruji penjara praktik kolonialisme di negara yang
saat ini bernama Indonesia. Dialah salah satu manusia yang banyak berjasa pada
bangsa Indonesia hingga menjadi bangsa merdeka seperti yang kita jumpai
sekarang ini. Dialah salah seorang dari sebagian pejuang kemerdekaan yang
paling gigih dalam mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia. Bahasa yang saat
ini banyak kita pakai dalam acara-acara resmi, proses belajar disekolah,
komunikasi antar daerah yang bahasnya berbeda, dan masih banyak lagi lainya.
Buku
ini akan mencoba memaparkan, bagaimana proses perjuangan panjang yang pernah
dilakukan Jahja—panggilan akrapnya--,ketika melawan semua kebijakan pemerintah
Hindia Belanda yang pernah diterapkan paksa kepada masyarakat Indonesia. Salah
satunya, sering kali dirinya melanggar ketetapan pemerintah kolonial yang
mengharuskan, bahasa Belanda sebagai komunikasi dalam acara-acara resmi atau
dalam persidangan yang diadakan pemerintah pada waktu itu.
Belanda
akan memberikan sangsi ketat atau bisa dikatakan hukuman, jika sampai tidak
menuruti peraturan tersebut. Tapi tidak bagi Jahja, ia tak pernah peduli pada
hukuman atau sangsi akibat melanggar peraturan tersebut. Bahkan, ia sering kali
mempergunakan bahasa Indonesia ketika dalam forum persidangan atau semacamnya.
Karena abainya ini, akhirnya kedudukan sebagai anggota di Volksraad tidak dapat
bertahan lama. Ia hanya, mampu bertahan dua tahun di sana.
Pernah
pada suatu kesempatan, Jahja meminta hadirin pada saat sidang Volksraad
dimulai, "jika nanti menyela pembicaraan yang sedang saya sampaikan, saya
mohon agar dilakukan dengan bahasa Melayu (Indonesia)". Begitu kurang
lebihnya. Pada kesempatan lain pun, ia pernah berterus terang pada anggota
sidang, bahwa di dalam sidang Majelis Volksraad ia lebih suka mempergunakan
bahasa Indonesia dalam menyampaikan ide atau apa, karena ia merasa sebagai
seorang yang Indonesier.
Perasan
Indonesier hidup dalam Indonesier, perasaan Belanda hidup di negara atau
wilayah Belanda, yaitu "setidaknya orang itu membicarakan bahasanya
sendiri". Begitu ungkapnya. Karena alasan itu, menjadikan ia lebih suka
menggunakan bahasa Indonesia. Walaupun dirinya juga sangat pandai berucap dalam
bahasa Belanda (hlm: 15)
Jahja
dilahirkan di Koto Gadang pada 1 Agustus 1874. Masa kecilnya dihabiskan untuk
berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain bersama kedua orang tuanya. Ini
yang menyebabkan proses pendidikannya menjadi tersendat-sendat. Mula-mula ia
sekolah di Suliki, tapi di Suliki Jahja hanya bertahan selama kurang lebih
setahun.
Tahun
1883, ia pindah belajar di Pasar Gadang Padang. Di tempat itu pun, ia tidak
bertahan lama. Ia hanya mampu bertahan selama kurang lebih dua tahun. Kemudian
pada Tahun 1885-1887, ia kembali masuk sekolah prifat di Bukit Tinggi. Dirasa
cukup mumpuni, dalam hal pengalaman dan keilmuan, akhirnya ia pada Tahun 1888,
mulai mencoba magang pada kantor Residen Padang Darat dengan tujuan ingin
dirinya lebih mengenal dari dekat bagaimana birokrasi pemerintah kolonial
Hindia-Belanda berjalan. Dari proses itu selanjutnya ia diangkat sebagai
anggota Volksraad oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam
perjuanganya merawat bahasa Indonesia, Jahja tidak pernah ambil pusing. Entah
itu di forum resmi seperti Konstraad atau apa lainya, tetap, satu-satunya
bahasa yang dipergunakan adalah bahas Indonesia. Karena itulah, sampai-sampai
Suryadi, seorang dosen di Universitas Leiden, menyatakan Jahja sebagai si
"jago berbahasa Indonesia di Volkstraad". Seperti itu pula yang
pernah dikatakan dalam koran-koran pribumi pada masa itu.
Itulah
sekilas pandang Jahja Dtoek Kajo dalam mempertahankan keeksistensian bahasa
Indonesia. Hadirnya buku ini kiranya akan membuka wacana-wacana sejarah bangsa
Indoesia yang selama ini masih jarang diketahui masyarakat.
Sudah
saatnya masyarakat Indonesia mengenal jati dirinya melalui sejarah. Jangan
sampai, bahasa yang dielu-elukan Jahja dan kawan-kawanya suatu saat akan mampu
menjadi bahasa negara, bahasa persatuan, dan bahasa tanah air, tapi sekarang
justru harus tercerabut oleh kesombongan masyarakatnya sendiri.
Jangan
sampai karena pengaruh dari budaya negara luar yang muncul, bahasa indonesia
termarjinalkan. Begitu pula kita, jangan sampai pernah sekali-kali merendahkan
bahasa ibu pertiwi dengan membanggakan bahasa negara lain. Bahasa merupakan
idenlitas suatu negara maka "Jayalah bahasa Indonesia". [*]
*) Heri Kurniawam, Penulis adalah pengamat sosial pada "Lembah Kajian Peradaban Bangsa" (LKPB) Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar