Judul Buku: Bangsa Gagal, Mencari
Identitas Kebangsaan
Penulis: HM. Nasruddin Anshari Ch Penerbit : LKiS Cetakan : 1, Mei 2008 Tebal : xvi + 196 Halaman |
Kegagalan
bahkan kehancuran suatu bangsa lebih banyak disebabkan oleh minimnya kesadaran
terhadap sejarah perjalanan bangsanya srendiri. Tidak jarang, suatu bangsa
kehilangan identitas kebangsaannya karena tercerabut dari akar sejarahnya.
Kondisi seperti inilah yang sekarang di alami oleh suatu bangsa yang namanya
Indonesia.
Di
satu sisi, Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan “imperialisme” global,
yang disebut kapitalisme. Dalam konteks ini, Indonesia ditutuntut untuk bisa
menempatkan identitasnya sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat dalam segala
bidang. Di lain sisi, masalah nasional tidak kalah akutnya. Mulai dari krisis
pangan hingga konflik elite di pusat kekuasaan seakan-akan memamerkan bahwa
Indonesia berada dalam satu titik ekstrim yang membahayakan: kehancuran sebagai
bangsa dan Negara.
Buku
yang ditulis oleh HM. Nasruddin Anshori kali ini merupakan edisi khusus untuk
menumbuhkan kembali kesadaran berbangsa yang telah lama hilang dari bumi
Indonesia. Dengan gaya bahasa yang lentur dan terhindar dari kesan mnggurui,
penulis menunujkkan kekuatan dan kekayannya dalam kemampuannya menghadirkan
data-data historis-sosiologis. Meskipun tidak terikat secara ketat pada aturan
ilmiah, penyajiannya benar-benar membangunkan kita tentang sejarah perjuangan
bangsa yang selama ini bisa kita kenal.
Berbeda
dengan buku sejarah lainnya, dengan bahasanya yang mengalir, buku ini mampu
menyihir pembaca menjadi lupa bahwa ia sedang membaca buku sejarah. Penulis
yang memang telah di kenal sebagai penulis papan atas di Indonesia, mampu
membuat pembaca merasa bahwa ia hanya menyaksikan runtutan-runtutan peristiwa
perjuangan yang sangat mengasikkan. Sehingga secara tidak langsung dan tanpa di
sadari, dalam diri pembaca sedikit demi sedikit mulai tumbuh semangat
nasionalisme yang memang menjadi tujuan utama penulis dalam menghadirkan buku
ini.
Dalam
buku ini penulis mengatakan “dalam masyarakat indonesia saat ini, khususnya di
kalangan para pemuda, saya tidak lagi melihat adanya gema dari semangat
nasionalisme, yang saya lihat hanyalah para pemuda yang adem ayem dan
manut-manut saja atas hegemoni kapitalisme global yang terus mencerabuti
akar-akar kebangsaan.
Saya
tidak mengatakan bahwa mereka harus berdemonstrasi dan semacamnya, tetapi yang
harus mereka lakukan adalah semacam gerakan-gerakan yang menunjukkan bahwa
mereka itu hidup dan menaruh perhatian serius terhadap persoalan-persoalan yang
yang akan dihadapi bangsa dan Negara di masa depan”.
Hal
demikian memang bewnar adanya. Diakui atau tidak, pada kalangan pemuda saat ini
kita hampir tidak menemukan lagi semacan persiapan-persiapan untuk menghadapi
infiltrasi dari luar, seperti globalisasi informasi dan ekonomi yang dipaksakan
oleh kapitalisme global. Sepertinya mereka mengabaikan itu semua.
Pandangan
mereka akan ketergantungan kita pada modal-modal asing, utang luar negeri,
fasilitas-fasilitas ekonomi yang sebagian besar dinikmati golongan non-pribumi,
sedangkan kebudayaan dan sebagainya, sepertinya tidak menjadi agenda penting.
Dan
hal demikian tentunya sangat bertolak belakang dengan para pejuang yang hidup
sebelum mereka, misalnya seperti para pemuda angkatan ’45 yang bersedia masuk
penjara demi membela bangsa dan tanah air. Ini mungkin karena mereka dibesarkan
dalam atmosfir yang jauh berbeda. Anak muda sekarang tidak lagi gandrung akan
perubahan dan trnsformasi sosial menuju bangsa Indonesia yang bermartabat.
Oleh
karena itu, sudah saatnya bangsa ini mengaca kembali terhadap nlai-nilai
kearifan dan kebudayaan bangsanya sendiri, yang telah dibangun melalui proses
yang panjang dan melelahkan, oleh para founding fathers dan nenek moyang kita
sendiri.
Dalam
buku ini penulis menyajikan berbagai peristiwa-peristiwa masa lalu, bagaimana
para founding fathers kita dengan semangat yang menyala-nyala telah
mempertaruhkan harta, jiwa dan bahkan nyawa demi mempertahanka bangsa dan tanah
air tercinta. Mungkin lebih tepatnya, kalau saya boleh mengandaikan, buku ini
serupa sebuah cermin bagi kita, sehingga dengan cermin itu kita bisa melihat
diri kita, apa yang kita miliki dan kekurangan apa yang telah membuat kita lupa
diri.
Melalui
buku ini penulis mengajak seluruh komponen bangsa untuk merenungkan sejarah
perjalanan bangsa, yang jauga berarti menumbuhkan kesadaran berbangsa dan
bernegara. Didalamnya terdapat upaya menggali kearifan masa lalu tanpa
melepaskan kontekstualitasnya. Barang kali, kearifan inilah yang kini hilang
dari bangsa ini. Padahal kita sangat kaya akan nilai-nilai kearifan tersebut.[*]
*) Ahmad Faidi Ridla, Peresensi adalah penikmat buku, Tinggal di Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar