Senin, 17 Maret 2014

Bangsa Gagal, Mencari Identitas Kebangsaan


Judul Buku: Bangsa Gagal, Mencari Identitas Kebangsaan
Penulis: HM. Nasruddin Anshari Ch
Penerbit : LKiS
Cetakan : 1, Mei 2008
Tebal : xvi + 196 Halaman


Kegagalan bahkan kehancuran suatu bangsa lebih banyak disebabkan oleh minimnya kesadaran terhadap sejarah perjalanan bangsanya srendiri. Tidak jarang, suatu bangsa kehilangan identitas kebangsaannya karena tercerabut dari akar sejarahnya. Kondisi seperti inilah yang sekarang di alami oleh suatu bangsa yang namanya Indonesia.
Di satu sisi, Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan “imperialisme” global, yang disebut kapitalisme. Dalam konteks ini, Indonesia ditutuntut untuk bisa menempatkan identitasnya sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat dalam segala bidang. Di lain sisi, masalah nasional tidak kalah akutnya. Mulai dari krisis pangan hingga konflik elite di pusat kekuasaan seakan-akan memamerkan bahwa Indonesia berada dalam satu titik ekstrim yang membahayakan: kehancuran sebagai bangsa dan Negara.
Buku yang ditulis oleh HM. Nasruddin Anshori kali ini merupakan edisi khusus untuk menumbuhkan kembali kesadaran berbangsa yang telah lama hilang dari bumi Indonesia. Dengan gaya bahasa yang lentur dan terhindar dari kesan mnggurui, penulis menunujkkan kekuatan dan kekayannya dalam kemampuannya menghadirkan data-data historis-sosiologis. Meskipun tidak terikat secara ketat pada aturan ilmiah, penyajiannya benar-benar membangunkan kita tentang sejarah perjuangan bangsa yang selama ini bisa kita kenal.
Berbeda dengan buku sejarah lainnya, dengan bahasanya yang mengalir, buku ini mampu menyihir pembaca menjadi lupa bahwa ia sedang membaca buku sejarah. Penulis yang memang telah di kenal sebagai penulis papan atas di Indonesia, mampu membuat pembaca merasa bahwa ia hanya menyaksikan runtutan-runtutan peristiwa perjuangan yang sangat mengasikkan. Sehingga secara tidak langsung dan tanpa di sadari, dalam diri pembaca sedikit demi sedikit mulai tumbuh semangat nasionalisme yang memang menjadi tujuan utama penulis dalam menghadirkan buku ini.
Dalam buku ini penulis mengatakan “dalam masyarakat indonesia saat ini, khususnya di kalangan para pemuda, saya tidak lagi melihat adanya gema dari semangat nasionalisme, yang saya lihat hanyalah para pemuda yang adem ayem dan manut-manut saja atas hegemoni kapitalisme global yang terus mencerabuti akar-akar kebangsaan.
Saya tidak mengatakan bahwa mereka harus berdemonstrasi dan semacamnya, tetapi yang harus mereka lakukan adalah semacam gerakan-gerakan yang menunjukkan bahwa mereka itu hidup dan menaruh perhatian serius terhadap persoalan-persoalan yang yang akan dihadapi bangsa dan Negara di masa depan”.
Hal demikian memang bewnar adanya. Diakui atau tidak, pada kalangan pemuda saat ini kita hampir tidak menemukan lagi semacan persiapan-persiapan untuk menghadapi infiltrasi dari luar, seperti globalisasi informasi dan ekonomi yang dipaksakan oleh kapitalisme global. Sepertinya mereka mengabaikan itu semua.
Pandangan mereka akan ketergantungan kita pada modal-modal asing, utang luar negeri, fasilitas-fasilitas ekonomi yang sebagian besar dinikmati golongan non-pribumi, sedangkan kebudayaan dan sebagainya, sepertinya tidak menjadi agenda penting.
Dan hal demikian tentunya sangat bertolak belakang dengan para pejuang yang hidup sebelum mereka, misalnya seperti para pemuda angkatan ’45 yang bersedia masuk penjara demi membela bangsa dan tanah air. Ini mungkin karena mereka dibesarkan dalam atmosfir yang jauh berbeda. Anak muda sekarang tidak lagi gandrung akan perubahan dan trnsformasi sosial menuju bangsa Indonesia yang bermartabat.
Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa ini mengaca kembali terhadap nlai-nilai kearifan dan kebudayaan bangsanya sendiri, yang telah dibangun melalui proses yang panjang dan melelahkan, oleh para founding fathers dan nenek moyang kita sendiri.
Dalam buku ini penulis menyajikan berbagai peristiwa-peristiwa masa lalu, bagaimana para founding fathers kita dengan semangat yang menyala-nyala telah mempertaruhkan harta, jiwa dan bahkan nyawa demi mempertahanka bangsa dan tanah air tercinta. Mungkin lebih tepatnya, kalau saya boleh mengandaikan, buku ini serupa sebuah cermin bagi kita, sehingga dengan cermin itu kita bisa melihat diri kita, apa yang kita miliki dan kekurangan apa yang telah membuat kita lupa diri.
Melalui buku ini penulis mengajak seluruh komponen bangsa untuk merenungkan sejarah perjalanan bangsa, yang jauga berarti menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Didalamnya terdapat upaya menggali kearifan masa lalu tanpa melepaskan kontekstualitasnya. Barang kali, kearifan inilah yang kini hilang dari bangsa ini. Padahal kita sangat kaya akan nilai-nilai kearifan tersebut.[*]

*) Ahmad Faidi Ridla, Peresensi adalah penikmat buku, Tinggal di Yogyakarta.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar