Judul: Kiai Politik Politik Kiai
Penulis: Dr H Abd. Latif Bustami M Si Editor: Ahmad Haidar Penerbit: Pustaka Bayan Cetakan: I, 2009 - Tebal : xv+278 hlm. Peresensi: Noviana Herliyanti |
Kiai
adalah figur yang selalu dihormati kapan dan dimanapun keberadaannya. Tak bisa
dipungkiri jika kehadirannya di anggap berkah tersendiri bagi masyarakat
sekitar. Kiai merupakan pewaris para Nabi sebagai penuntun jalan bagi kehidupan
pada masa sekarang ini, di mana kebaikan merupakan hal asing atas menjamurnya
nilai-nilai kejelekan. Sehingga peran dan gerakan politik kiai, sampai saat ini
mampu mewarnai perjalanan demokrasi di Indonesia. Bahkan yang ikut
memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia ini, tidak terlepas
dari peranan para kiai.
Entah
karena memang sudah demokrasi yang telah ternodai atau status kiai terkotori
oleh segelintir yang disebut kiai palsu yaitu ketidaksesuaian antara perkataan,
perbuatan dan ketetapan dalam melaksanakannya, menjadikan yang disebut politik
kiai merupakan hal yang kotor. Padahal manusia dan kiai merupakan bagian dari
masyarakat, tidak akan pernah terlepas dari yang namanya politik. Dan sejak
lahirpun kita telah diperkenalkan oleh politik, entah kita sadari atau tidak.
Pesantren
dan masyarakat, adalah lingkungan di mana seorang kiai merupakan pegangan
sebagaimana rakyat jelata menyerahkan segala keputusan hidupnya pada sang raja.
Tapi kiai, ia orang yang berilmu dan beribadah di mana setiap perilakunya
menyatu antara perkataan, perbuatan dan peraturan yang tertulis atau tidak.
Seorang
peneliti Clifford Geertz, mengatakan bahwa peran kiai hanyalah sebagai “makelar
budaya”. Benarkah demikian? Lalu bagaiamana tugas utamanya sebagai pewaris para
Nabi? Bukankah masih banyak hal yang tak hanya dilestarikan tapi juga
mempertanyakan tentang berbagai konflik baru termasuk politik?
Kiai
merupakan sentral pengetahuan, dan keagamaan. Masyarakat lebih mempercayakan
setiap permasalahannya pada kiai dari pada tokoh masyarakat yang lain. Karena predikat
kiai tak hanya sebatas opini publik, melainkan tugasnya adalah orang yang
mengajar dan mendidik manusia.
Berangkat
dari predikat kiai yang diuraikan di atas, penulis buku ini lebih menonjolkan
istilah politik kiai-kiai politik. Bahwa pada dasarnya kiai merupakan penunjuk
jalan politik benar-salah dan hitam putih bukan politik menang-kalah atau
abu-abu. Tugas kiai adalah penerang antara yang salah dan yang benar, bukan
yang menang diperjuangkan walau harus hitam yang dilewati. Peran kiai bagaimana
ia mampu merekonstruksi bahwa dunia politik itu putih dan yang hitam harus
dienyahkan dari dunia politik.
Masyarakat
mempunyai penilaian tersendiri atas status rangkap yang dimiliki kiai. Kiai
independen lebih mereka hormati dari pada kiai yang berafiliasi pada kekuasaan
Negara. Realitasnya, rakyat mulai kehilangan kepercayaan yang telah mendarah
daging pada sosok yang dikenal kiai. Di mana pada saat sekarang ini, kiai mulai
berlomba-lomba meraih kursi kekuasaan. Parahnya ada yang telah merabunkan jalan
politik itu sendiri.
Kiai
seharusnyalah menempatkan posisinya sebagaimana status ulama, ngopeni,
mengayomi yang kata orang madura “manjeki” pesantren dan masyarakat. Ranah
politiknya hanya di pesantren dan masyarakat bukan merangkap sebagai negarawan.
Karena realitasnya ketika kiai mulai terjun ke dunia kekuasaan, tak lagi
nilai-nilai keagamaan yang menjadi prioritas utamanya.
Seperti
halnya Jawa Timur saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagian besar kiai
tapi tak justru mengurangi hitam kelamnya para pengeruk darah rakyat, kelaparan
tak jua musnah, kemiskinan ternyata malah meningkat. Walau tak sedikit yang
benar-benar memperjuangkan tapi lihatlah bahwa, penyebab kondisi di atas
terjadi atas keringnya rohani dan minimnya pengetahuan keagamaan masyarakat
pada saat ini.
“Jikalau
tidak ada ulama/kiai, niscaya keadaan kehidupan manusia seperti
binatang”. Perkataan Imam Hasan tersebut, semakin mempertegas bahwa peran dan
fungsi kiai adalah sebagai pendidik dan bertugas menyiapkan generasi masa depan
yang mampu menyeimbangkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Ketika kiai mampu
melahirkan generasi-generasi yang tak hanya mengkotori nilai-nilai politik,
tapi juga membersihkan noda yang melekat padanya serta mampu melestarikan
kehidupan politik yang sehat. Maka predikat kiai sebagai ahli ibadah yang
berilmu akan tetap sejajar dengan status Nabi, sebagai penyelamat manusia dari
nilai-nilai kebobrokan manusia.
Buku
ini menguraikan secara gamblang tentang peran kiai yang telah mewarnai
perpolitikan di Indonesia. Sayang, penulis tak menyertakan gagasan tentang
peran kiai yang seharusnya dan selayaknya seperti apa. Namun kehadiran buku ini
sangatlah dibutuhkan dan bermanfaat bagi para politisi khususnya bagi kalangan
santri. Juga penulis buku ini patutlah diapresiasi, karena ia membantu
memberikan pelajaran politik demi tegaknya demokrasi bangsa ini. [*]
*)
Peresensi adalah Alumnus PP An-nuqayah Guluk-guluk Sumenep, Mahasiswi Fak.
Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan saat ini aktif di Pondok Budaya Ikon
Surabaya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar