Judul
buku: Tangklukan, Abangan, dan Tarekat;
Kebangkitan Agama di Jawa
Penulis:
Ahmad Syafi'i Mufid
Pengantar:
Moeslim Abdurrahman
Penerbit: Obor Jakarta, Cetakan: 1, 2006
Tebal:
xi + 322 halaman
Peresensi: Muhammadun AS*) |
Membaca trend
keberagamaan di Indonesia dewasa ini, terlihat sekali bahwa spirit agama belum
menjadi common denominator
(kalimatun sawa’) dalam merancang etika kebangsaan dan kenagaraan.
Yang terjadi agaam justru dijadikan komoditas kepentingan (politik, ekonomi,
budaya, dan sebagainya), sehingga pesan agama dalam membangun persaudaraan dan
perdamaian seringkali tersendat, terlantar, bahkan tergadaikan. Sejarah
mencatat bahwa sidang konstutuante tahun 1950-an gagal mencapai kesepakatan
dikarenakan elite politik menjadikan agama sebagai komoditas kepentingan,
sehingga rumusan agenda kebangsaan gagal terwujud. Berbeda dengan yang
dilakukan para Wali Songo. Agama ditangan para wali justru tampil sebagai
spirit dalam melakukan kerja-kerja kebangsaan. Spirit agama tampil digarda
depan untuk membuka kran-kran penindasan dan penjajahan.
Spirit keberagamaan
Wali Songo inilah yang coba ditelaah lebih mendalam dalam buku
"Tangklukan, Abangan, dan Tarekat; Kebangkitan Agama di Jawa".
Penulis melihat bahwa para wali mampu menampilkan agama sebagai spirit
persaudaraan dan perdamaian. Agama tidak melihat perbedaan status sosial
masyarakat tertentu. Pesan keberagamaan para wali itu kemudian dilanjutkan para
kiai di Jawa. Buku secara kritis membaca gerakan perdamaian dakwah agama KH
Ahmad Durri Nawawi, mursyid tarekat Qodiriyah wan Naqsyabandiyah Kajen Pati
Jawa Tengah. Para kiai pemimpin tarekat di Indonesia telah membawa agama Islam
dengan strategi yang sangat halus, damai, dan moderat. Jalan moderat para kiai
tarekat tersebut terlihat ketika mereka mengajak umat memeluk agama. Mereka
tidak pernah memaksakan agama Islam kepada masyarakat. Mereka lebih concern
mengajak masyarakat untuk menebarkan persaudaraan. Terbukti, para kiai bisa
tampil berdakwah dengan lapisan masyarakat yang beragam. Gus Mik Kediri,
misalnya, justru tampil dengan para preman, germo, dan para gelandangan di
Surabaya dan sekitarnya. Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari justru memilih desa
Tebuireng sebagai tempat pesantren, padahal Tebuireng waktu itu merupakan
markas besar para bromocoroh (penjahat). Demikian juga KH As’ad Samsul Arifin
yang mampu mengakrabi pimpinan bromocoroh daerah Tapal kuda, sehingga banyak
pengikutnya yang masuk Islam kepada Kiai As’ad. Dalam konteks perjuangan
membela kemerdekaan, merekalah yang mampu memobilisasi massa dalam mengusir
berbagai tindak penjajahan. Bahkan ketika melakukan pertempuran di Ambarawa
Jawa tengah, banyak para kiai yang gugur, termasuk KH Mahfudh Salam, ayah KH
MA. Sahal Mahfudh (hal. 230).
Potret keberagamaan
yang ditorehkan para wali dan kiai tersebut sungguh telah banyak terdistorsi
dewasa ini. Agama sering kali dijadikan sebagai modal menggapai kursi
kekuasaan. Simbol-simbol agama bukannya dijadikan modal untuk menggelorakan
perlawanan atas ketidakdilan dan kesewenangan, melainkan dijadikan media
menduduki posisi strategis tertentu. Ironisnya lagi, mereka sering
mendemontrasikan agama sebagai ideologi negara, padahal itu hanya akan
mendistorsi pesan damai kehadiran agama. Karena agama telah terkooptasi gerakan
dan tafsir kelompok tertentu, sehingga wajah agama seolah tunggal, menafikan
tafsir spirit lain yang lebih transformativ dan emansipatoris (hal 89).
Berbagai distorsi spirit agama tersebut di Indonesia pasca reformasi telah
terjadi. Banyak partai politik yang mengatasnamakan agama tertentu, dan
mengklaim merekalah wakil umat agama tersebut. Dari kasus era reformasi
terlihat bahwa agama justru menjadi media menggapai kekuasaan, bahkan menjadi
sumber konflik, karena sering menafikan kelompok lain yang tidak sefaham dan
sealiran.
Pesan damai
bangkitnya agama di Jawa yang telah dicontohkan para wali dan kiai yang telah
terekam dalam buku ini mampu membantu pembaca dalam menganalisis berbagai trend
keberagamaan kontemporer. Bukan sekedar memotret relasi agama dan kekuasaan,
buku ini juga menawarkan konsep agama dalam merumuskan agenda kebudayaan dan
peradaban di masa depan. Beradasarkan pemaparan buku ini, agama yang harus kita
hadirkan di Nusantara adalah agama yang mampu tampil sebagai kritik sosial
untuk menggapai kemaslahatan sosial. Kritik sosial berarti agama harus memihak
berbagai tindakan yang menggerus ketidakadilan dan menyuburkan kesewenangan.
Agama selalu
memihak kaum mustad’afin
yang selama ini selalu dimarginalkan. Setelah tampil sebagai kritik sosial,
maka hasilnya harus dimaksimalkan untuk kemaslahatan sosial. Hal inilah yang
dilakukan Umar bin Khattab ketika menjadi pemimpin Islam. Dia dengan gagah
berani mengkritik berbagai diskriminasi dan ketidakadilan, tetapi hasil kritik
semata untuk kemaslahatan umat, bukan dirinya dan keluarganya (hal 132).
Berbeda dengan manusia pascamodern sekarang. Pada awalnya mereka begitu gigih
mengkritik rezim tertentu, tetapi ketika diberi kursi kekuasaan, mereka diam
seribu bahasa.
Spirit kritik
sosial untuk kemaslahatan umat inilah yang oleh penulis harus terus
dilestarikan umat beragama di Nusantara. Mereka yang menyandang pemimpin, oleh
penulis, sebaiknya mengkaji ulang peran politisnya dalam lingkaran kekuasaan.
Karena ternyata para pemimpin agama, kiai misalnya, gagal mentransformasikan
spirit agama ditengah lingkaran kekuasaan. Para pemimpin agama sebaiknya berada
dalam garis oposan yang leluasa mengkritik kebijakan yang tidak merakyat dan
bebas melakukan pemberdayaan dakwah masyarakat tanpa terikat kepentingan
politik kekuasaan partai.
Demikian itu yang
telah dilakukan para kiai dulu, sehingga Indonesia mampu menggapai kemerdekaan.
Para kiai sukses menyajikan agama untuk membebaskan Indonesia dari penjajah.
Para kiai berjuang tanpa kepentingan politik. Mereka ikhlas, sehingga ketika
Indonesia merdeka mereka tidak berebut kursi kekuasaan. Mereka mengamanahkan
kuasa negara kepada kaum cendekiawan dan negarawan yang lebih kompeten dalam
administrasi kenegaraan. Pesan-pesan perjuangan dan kebangkitan keberagamaan di
Jawa yang penuh kedamaian dan ketulusan dalam buku ini sangat tepat untuk
menghadirkan agama sebagai etika kebangsaan dan kenegaraan.[*]
*) Pengelola Taman
Baca Kutub Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar