Judul:
Surrendering to Motherhood, I Love to be a Mom
Penulis:
Iris Krasnow
Penerjemah: Rahmani Astuti Penerbit: Serambi
Peresensi:
Retnadi Nur’aini*)
|
Tiga puluh lima
tahun yang lalu, saat Iris Krasnow muda tengah berjemur dengan santai di pagar
balkon yang menghadap Samudera Pasifik, dengan mengenakan sepasang sandal jepit
beludru dari sol bambu, tak terlintas di pikirannya untuk menjadi seorang ibu.
Ide menjadi seorang
ibu juga masih tak terpercik di pikiran gadis kosmopolitan ini, saat ia menjadi
eksekutif humas di Margie Korshak & Associates di John Hancock Tower atau
saat awal-awal bekerja sebagai jurnalis di United International Press.
Sampai pada suatu
hari sebelum Thanksgiving Day, ia bertemu dengan seorang arsitek bernama Chuck
Anthony. Bersama Chuck, Iris bermimpi punya empat anak sebelum mereka berusia
40 tahun. Dan bersama Chuck pula, Iris kemudian mewujudkan impian itu dengan
memiliki empat orang anak lelaki saat ia berusia 39 tahun.
Dengan empat orang
anak lelaki inilah, Iris pun melakukan perjalanan panjang sarat perenungan.
Yang membawanya pada hakikat ketenteraman: berserah menjadi ibu.
***
Lika-liku
perjalanan panjang Iris untuk berserah menjadi ibu dalam buku ini terbagi atas
delapan bab. Dimulai dengan bab Pendakian yang berkisah tentang awal karier
Iris yang gemilang. Dilanjutkan dengan bab Kekacauan, saat karier Iris di
bidang jurnalistik menanjak. Pada bab ini pula, Iris bertutur tentang luka
psikologis saat ayahnya, Theodore Krasnow meninggal.
Secara spesifik,
bab-bab yang menggambarkan perjalanannya menjadi ibu termuat dalam enam bab
berikutnya: Kesulitan saat Mendapat yang Diinginkan, Mama Militan, Menyerah,
Menyerah pada Perkawinan, Aku Tunduk, dan bab pamungkas: Terperangkap dan
Terbebaskan.
Dalam perjalanan
panjang ini, pembaca akan diajak untuk menyusuri cabang-cabang pemikiran Iris
yang bersifat global. Ia bicara tentang kehampaan spiritual, akar feminisme,
sampai pemikiran para tokoh terkenal yang diwawancarainya. Beberapa diantaranya
adalah Yoko Ono, Ratu Noor, Annie Leibovitz, Ted Kennedy, dan masih banyak
lagi.
“Tetapi mata rantai
yang paling menginspirasi saya bahkan tidak muncul di majalah Life,” tulis Iris
di halaman 146. Di halaman ini, Iris berkisah tentang kesulitannya untuk
menemui Ethel Kennedy. Ethel selalu sedang pergi atau sedang sibuk, saat Iris
berusaha menemuinya untuk wawancara. Tak dinyana, pada suatu siang dua hari
sebelum tenggat waktu, Ethel menelepon Iris. Kala itu, Iris tengah memeluk anak
pertamanya, Theo, yang baru saja bangun dari tidur siang dan jeritan suaranya
terdengar pada pesawat telepon. “Dan sungguh menakjubkan, ibu dari sebelas anak
itu berkata ‘Kita bisa berbicara lain kali. Lakukan dulu apa yang benar-benar
penting’,” kenang Iris di halaman 146.
***
Kalimat “Melakukan
apa yang benar-benar penting” selalu terpatri di kepala Iris saat ia kemudian
bicara tentang prioritas dan komitmen. “Saya telah berubah dari tahun ke tahun.
Dulu saya berpikir saya bisa melakukan segalanya dan bahwa anak-anak saya akan
baik-baik saja diselipkan di antara daftar tugas saya. Sekarang saya tahu,
anak-anak harus ditempatkan pada daftar paling atas, dan daftar itu harus
banyak dikurangi” (hal 344).
Pun telah mampu
memetakan ulang skala prioritas dan komitmennya, dalam buku ini Iris tidak
serta merta mengelu-elukan peran seorang ibu yang tinggal di rumah, ataupun
mendiskreditkan peran seorang ibu yang bekerja di luar rumah. Dalam pidato
utama yang disampaikannya untuk acara tahunan Penyerahan Penghargaan Kepada
Mass Media Area Metropolitan di Washington, Iris mengatakan:
“…Setiap wanita
harus bisa memilih apa yang tepat baginya berdasarkan kebutuhan emosional dan
finansialnya tanpa harus dicela masyarakat, dan tanpa memunculkan rasa tidak
suka dari teman-temannya yang berada di jalur yang berbeda.
Kita harus
menghargai pilihan masing-masing, dan menyadari bahwa seorang ibu maupun
seorang wanita profesional sama-sama kesulitan untuk memutuskan apakah ia harus
bekerja penuh waktu atau tinggal di rumah. Keputusan itu sarat dengan
pertimbangan untung-rugi. Mari kita berharap bahwa di masa sekarang ini kita
akan menyaksikan berkurangnya celaan; semoga tidak ada lagi tuduhan bahwa
wanita itu seorang anti-feminis, atau bahwa wanita yang bekerja keras di
rumahnya itu menyia-nyiakan jam biologisnya.
Tidak ada lagi
penghalang antara kita dan mereka; kita semua satu sebagai wanita yang berusaha
tetap menjalani bersama kehidupan karier, keluarga dan perkembangan pribadi..”
(hal 204-205).
***
Sulit rasanya untuk
tidak bercermin dari buku ini. Menikah di usia 23, kemudian memiliki anak di
usia 25 dan memutuskan untuk meninggalkan dunia kantor untuk selamanya, membawa
saya sendiri pada tahap perenungan panjang.
Meski ada demikian
banyak hari-hari cerah karena bayi kami mulai belajar banyak hal, terselip
hari-hari mendung saat saya lunglai kehabisan tenaga. Dan betapa meski saya
sadar sepenuhnya bahwa “I’ve never been this happier”, sesekali saya masih
merindukan masa-masa muda saat saya dan teman-teman berdiskusi tengah malam
tentang framing, analisis wacana, feminisme dan mimpi-mimpi, sambil menonton
serial Friends dan makan camilan keripik kentang beroleskan mayonaise.
Dalam buku ini,
Iris menggunakan kata “berserah” bukan “menyerah”. Karena menurutnya
“menyesuaikan diri dengan naluri keibuan merupakan suatu proses, bukan tindakan
yang sudah selesai.” (hal 18). Kalimat yang menjelaskan kalimat berikut, yang
juga menjadi mantra baru saya sejak beberapa hari terakhir: “Saya tak ingin
mengatakan bahwa saya seorang ibu teladan yang sempurna; saya hanyalah seorang
ibu yang berusaha setiap hari untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya.”
(hal 18). [*]
*) IRT &
pengelola toko buku online halamanmoeka.com
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar