Judul: Syarah
Al-Hikam, Kalimat-kalimat Menakjubkan
Ibnu Athaillah + Tafsir Motivasinya
Penulis: Denis Arifandi Pakih Sati, Lc Penerbit: Divapress, Yogyakarta Cetakan: I, September 2011 Tebal: 492 halaman Peresensi: Ammar Machmud*) |
Perjalanan seorang
hamba dalam menggapai kesucian jiwa menuju sang Khalik demi meraih cinta-Nya
jelas tak semudah seperti membalikkan telapak tangan, tapi hal ini bukan
berarti tak mungkin bisa ditempuh. Jika kita memang benar-benar memiliki niat
suci, hati yang bersih, jiwa yang tenang, serta selalu pasrah kepada-Nya, maka
bukan tak mungkin kita akan selalu mendapat pertolongan-Nya dan mendapatkan
keridlaan-Nya.
Untuk bisa memiliki
niat yang suci, hati yang bersih, serta jiwa yang tenang, maka jawabannya tak
ada pilihan lain selain memahami ilmu mistisisme Islam (tasawwuf) secara
aplikatif. Dalam blantika mistisisme Islam, nama Ibnu Athaillah as-Sakandari
yang tersohor dengan master piecenya, Al-Hikam, tentu tak diragukan lagi
kapasitas dan kredibilitas keilmuannya. Ia adalah salah satu dari sekian banyak
ulama yang telah melampaui umur sejarah keilmuannya ketimbang umur
biologisnya.
Tentu dalam
memahami karyanya itu, terkadang sebagian diantara kita dapat memahaminya
secara komprehensif pada bagian tertentu, tapi tak jarang juga kita justru
bingung di bagian yang lain. Maka, kehadiran buku berjudul Syarah Al-Hikam, anggitan
Denis Arifandi Pakih Sati ini bermaksud mengelaborasi hikmah serta pelajaran
yang terkandung di dalamnya secara detail dengan suguhan bahasa yang lugas dan
mudah dipahami.
Buku setebal empat
ratus sembilan puluh dua halaman ini sungguh dahsyat, karena di dalamnya
terkandung dua ratus enam puluh enam nasehat berharga sarat teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi
kehidupan umat Islam sehari-hari. Isinya, sungguh mampu menggetarkan jiwa umat
Islam sekaligus mampu memberikan motivasi ditengah kegersangan dahaga
spiritualitas keagamaan.
Sebagai tamsil,
dalam judul “Menunda Amal” Pakih Sati mengelaborasi bahwa sebagian diantara
kita, (mungkin) sering kali menunda ibadah dan amal kebajikan dengan dalih yang
beranekaragam; seperti sibuk bekerja, waktunya belum tepat, atau alasan
lainnya. Tapi, sadarkah Anda seandainya waktu ibadah Anda habis karena ajal
telah tiba? Kepada siapa Anda hendak minta pertolongan, jika tak punya amal
saleh? Dari sini, dapat disimpulkan secara gamblang bahwa menunda amal
kebajikan untuk menunggu waktu luang merupakan bentuk kebodohan jiwa yang nyata
(hal. 56).
Selain itu, dalam
buku ini juga diterangkan terkait pelajaran berharga ihwal cara agar mampu
mencapai Allah Swt. Sadar atau tidak, terkadang diantara hati kecil kita —yang
mengklaim telah melakukan amal saleh lebih banyak dari pada orang lain—
membersitkan kesombongan diri bahwa “kelak, saya pasti dijamin Allah akan masuk
surga”. Meski ungkapan semacam ini baru sebatas didalam hati (belum atau tidak
diujarkan pada orang lain), tapi ungkapan semacam ini jelas sudah menodai
kesucian hati seorang muslim yang hendak meraih cinta-Nya.
Jika hal ini
dibiarkan begitu saja tanpa ada usaha untuk menghilangkannya, maka lama
kelamaan, hal ini akan menjadi penyakit hati. Dan jika penyakit hati ini terus
bersemayam dalam diri seseorang tanpa adanya baluran nasehat, maka kelak hati
tersebut akan keras membatu, dan pada akhirnya terhalang menuju makrifat
pada-Nya dan sirna memperoleh cinta dari-Nya.
Buku ini sungguh
merupakan pedoman wajib bagi para salik (pencari Tuhan) yang ingin serius
mendekatkan diri kepada Sang Khalik dan ingin mendapatkan cinta-Nya. Buku ini
ibarat pelita yang menjadi penerang bagi setiap salik yang hendak bertamu ke
rumah-Nya. Selain itu, buku ini juga sangat bagus dan layak baca bagi umat
Islam siapapun yang hendak mengarungi ganasnya kehidupan di dunia agar kelak
mendapatkan kebahagiaan abadi di negeri akhirat. [*]
*) Penikmat buku, alumnus IAIN Walisongo Semarang
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar