Judul: Pavilion of Women
/ Madame Wu
Penulis: Pearl S.Buck
Alih Bahasa: Ny. Suwarni A.S Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Tahun: 2004, cetakan keempat Tebal: 516 hal |
Pada ulang tahunnya yang ke empat puluh, Ailien, atau lebih
dikenal dengan sebutan Madame Wu, memutuskan untuk berhenti melayani kebutuhan
seks suaminya yang lima tahun lebih tua darinya. Untuk itu ia lalu mencarikan
istri muda bagi suaminya. Sudah pasti, keputusan tersebut mengundang protes
dari seluruh isi rumah besar Keluarga Wu. Keempat anak lelakinya,
menantu-menantunya, para pembantu serta para sepupu terkejut dibuatnya.
Terlebih-lebih lagi suaminya, Mr. Wu. Sebagai keluarga terpandang, mengambil
seorang gundik bukan merupakan hal yang terhormat. Orang-orang bisa saja
menganggap bahwa hubungan suami istri Wu sudah tidak harmonis lagi. Pada hal
selama usia pernikahan mereka yang lebih dari dua puluh tahun, Mr. Wu selalu
bersetia kepada istrinya yang cantik dan cerdas itu. Tak sekalipun Mr. Wu
pernah bermain-main dengan wanita lain atau bersenang-senang di rumah bordil.
Ia sudah cukup puas dengan pelayanan yang diberikan Madame Wu.
Madame Wu, sebagai seorang yang paling berkuasa di rumah tersebut,
tetap pada keputusannya. Sudah bulat niatnya untuk mengakhiri pengabdian kepada
suaminya. Kini ia ingin menikmati sisa hari tua untuk dirinya sendiri, terbebas
dari segala macam tugas dan kewajiban seorang istri. Mr. Wu akhirnya tak
membantah dan terpaksa (benar nih terpaksa??) menerima Chiuming sebagai istri
mudanya. Tetapi benarkah persoalan rumah tangga mereka lalu berarti selesai?
Novel karya Pearl S.Buck yang -- sekali lagi -- berlatar belakang
kehidupan sebuah keluarga di Cina ini, mengetengahkan permasalahan
keperempuanan di Cina berpuluh tahun lalu yang mungkin masih banyak kita jumpai
dewasa ini di sana dan di seluruh dunia, khususnya negara-negara dunia ke tiga.
Muatan novel ini sarat dengan pesan-pesan feminis yang menyuarakan kepentingan
perempuan untuk memperoleh hak dan kedudukan yang sama dalam rumah tangga,
masyarakat, dan kehidupan. Tokoh sentralnya adalah Madame Wu, seorang dengan
karakter kuat yang menjadi ruh keluarga besarnya.
Agak ganjil juga melihat peran dan kekuasaan Madame Wu yang
demikian besar di keluarganya jika mengingat ia hanya seorang perempuan,
menantu pula, yang menurut tradisi Cina kala itu taklah cukup penting. Peran
lelaki dalam masyarakat patriarkhi - apalagi jika itu masyarakat agraris -
sangat dominan. Tak akan ada seorang lelakipun dengan kedudukan sebagai kepala
rumah tangga yang rela diatur dan dikuasai hidupnya oleh sang istri. Sepintar
apapun istrinya itu. Adalah hal yang memalukan bila itu sampai terjadi,
terlebih dalam keluarga kaya dan terpandang seperti keluarga Wu. Atau justru
dengan menampilkan kenyataan sebaliknya itulah penulisnya berupaya membuka
cakrawala baru kepada pembacanya tentang peran perempuan yang tidak boleh
diabaikan begitu saja dalam seluruh kehidupan? Bahwa perempuan pun manusia juga
sebagaimana halnya lelaki.
Madame Wu yang cerdas dan haus pengetahuan itu kemudian berguru
pada Bruder Andre, seorang pastor berkebangsaan Amerika yang lari ke Cina
karena dianggap murtad oleh gerejanya, tentang banyak hal baru yang ingin
diketahuinya. Kedekatannya dengan pria asing tersebut, membuatnya tersadar
bahwa selama ini ternyata ia selalu hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Ia
seorang narcis yang hanya mencintai dirinya sendiri. Dalam diri Andre, ia
menemukan kebesaran cinta. Tragisnya, ia menemukan semua setelah kematian
gurunya itu. Andre membawa cintanya ke dalam kubur.
Saya agak sebal juga dengan peran Andre sebagai orang yang
membukakan jendela dunia kepada Madame Wu. Ia mewakili Barat (dan lelaki)
sebagai lambang yang membawa kemajuan (pengetahuan) kepada Timur ( Madame
Wu/perempuan), simbol ketertinggalan. Mengapa harus selalu demikian? Barat
(lelaki) sebagai si pembawa cahaya ke dalam kegelapan negeri Timur (perempuan).
Jika boleh membandingkan, The Good Earth, novel Buck yang lain,
menurut saya, lebih mendekati kenyataan riill yang ada di Cina pada masa itu
dari pada Pavilion of Women ini. Jangankan berabad yang lampau, hari ini pun
masih bisa kita temui di sebuah keluarga Cina yang menganggap anak lelaki lebih
penting dari pada anak perempuan. Sebenarnya, bukan hanya pada orang-orang Cina
saja, fakta seperti itu dapat juga kita lihat pada suku bangsa lain. Tetangga
saya, orang Batak, istrinya disuruh beranak terus karena belum ada anak lelaki
dalam keluarga mereka. Atau seorang teman di kantor - orang Sunda - yang lebih
mementingkan pendidikan anak lelakinya dari pada anak perempuannya. Anak
lelakinya boleh sekolah sampai SMA, sedangkan yang perempuan terpaksa berhenti
sampai SMP saja.
Apa sih salahnya dilahirkan sebagai perempuan? [*]
--Endah Sulwesi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar