Senin, 24 Maret 2014

Pavilion of Women / Madame Wu

Judul: Pavilion of Women / Madame Wu
Penulis: Pearl S.Buck
Alih Bahasa: Ny. Suwarni A.S
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2004, cetakan keempat
Tebal: 516 hal


Pada ulang tahunnya yang ke empat puluh, Ailien, atau lebih dikenal dengan sebutan Madame Wu, memutuskan untuk berhenti melayani kebutuhan seks suaminya yang lima tahun lebih tua darinya. Untuk itu ia lalu mencarikan istri muda bagi suaminya. Sudah pasti, keputusan tersebut mengundang protes dari seluruh isi rumah besar Keluarga Wu. Keempat anak lelakinya, menantu-menantunya, para pembantu serta para sepupu terkejut dibuatnya. Terlebih-lebih lagi suaminya, Mr. Wu. Sebagai keluarga terpandang, mengambil seorang gundik bukan merupakan hal yang terhormat. Orang-orang bisa saja menganggap bahwa hubungan suami istri Wu sudah tidak harmonis lagi. Pada hal selama usia pernikahan mereka yang lebih dari dua puluh tahun, Mr. Wu selalu bersetia kepada istrinya yang cantik dan cerdas itu. Tak sekalipun Mr. Wu pernah bermain-main dengan wanita lain atau bersenang-senang di rumah bordil. Ia sudah cukup puas dengan pelayanan yang diberikan Madame Wu.
Madame Wu, sebagai seorang yang paling berkuasa di rumah tersebut, tetap pada keputusannya. Sudah bulat niatnya untuk mengakhiri pengabdian kepada suaminya. Kini ia ingin menikmati sisa hari tua untuk dirinya sendiri, terbebas dari segala macam tugas dan kewajiban seorang istri. Mr. Wu akhirnya tak membantah dan terpaksa (benar nih terpaksa??) menerima Chiuming sebagai istri mudanya. Tetapi benarkah persoalan rumah tangga mereka lalu berarti selesai?
Novel karya Pearl S.Buck yang -- sekali lagi -- berlatar belakang kehidupan sebuah keluarga di Cina ini, mengetengahkan permasalahan keperempuanan di Cina berpuluh tahun lalu yang mungkin masih banyak kita jumpai dewasa ini di sana dan di seluruh dunia, khususnya negara-negara dunia ke tiga. Muatan novel ini sarat dengan pesan-pesan feminis yang menyuarakan kepentingan perempuan untuk memperoleh hak dan kedudukan yang sama dalam rumah tangga, masyarakat, dan kehidupan. Tokoh sentralnya adalah Madame Wu, seorang dengan karakter kuat yang menjadi ruh keluarga besarnya.
Agak ganjil juga melihat peran dan kekuasaan Madame Wu yang demikian besar di keluarganya jika mengingat ia hanya seorang perempuan, menantu pula, yang menurut tradisi Cina kala itu taklah cukup penting. Peran lelaki dalam masyarakat patriarkhi - apalagi jika itu masyarakat agraris - sangat dominan. Tak akan ada seorang lelakipun dengan kedudukan sebagai kepala rumah tangga yang rela diatur dan dikuasai hidupnya oleh sang istri. Sepintar apapun istrinya itu. Adalah hal yang memalukan bila itu sampai terjadi, terlebih dalam keluarga kaya dan terpandang seperti keluarga Wu. Atau justru dengan menampilkan kenyataan sebaliknya itulah penulisnya berupaya membuka cakrawala baru kepada pembacanya tentang peran perempuan yang tidak boleh diabaikan begitu saja dalam seluruh kehidupan? Bahwa perempuan pun manusia juga sebagaimana halnya lelaki.
Madame Wu yang cerdas dan haus pengetahuan itu kemudian berguru pada Bruder Andre, seorang pastor berkebangsaan Amerika yang lari ke Cina karena dianggap murtad oleh gerejanya, tentang banyak hal baru yang ingin diketahuinya. Kedekatannya dengan pria asing tersebut, membuatnya tersadar bahwa selama ini ternyata ia selalu hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Ia seorang narcis yang hanya mencintai dirinya sendiri. Dalam diri Andre, ia menemukan kebesaran cinta. Tragisnya, ia menemukan semua setelah kematian gurunya itu. Andre membawa cintanya ke dalam kubur.
Saya agak sebal juga dengan peran Andre sebagai orang yang membukakan jendela dunia kepada Madame Wu. Ia mewakili Barat (dan lelaki) sebagai lambang yang membawa kemajuan (pengetahuan) kepada Timur ( Madame Wu/perempuan), simbol ketertinggalan. Mengapa harus selalu demikian? Barat (lelaki) sebagai si pembawa cahaya ke dalam kegelapan negeri Timur (perempuan).
Jika boleh membandingkan, The Good Earth, novel Buck yang lain, menurut saya, lebih mendekati kenyataan riill yang ada di Cina pada masa itu dari pada Pavilion of Women ini. Jangankan berabad yang lampau, hari ini pun masih bisa kita temui di sebuah keluarga Cina yang menganggap anak lelaki lebih penting dari pada anak perempuan. Sebenarnya, bukan hanya pada orang-orang Cina saja, fakta seperti itu dapat juga kita lihat pada suku bangsa lain. Tetangga saya, orang Batak, istrinya disuruh beranak terus karena belum ada anak lelaki dalam keluarga mereka. Atau seorang teman di kantor - orang Sunda - yang lebih mementingkan pendidikan anak lelakinya dari pada anak perempuannya. Anak lelakinya boleh sekolah sampai SMA, sedangkan yang perempuan terpaksa berhenti sampai SMP saja.
Apa sih salahnya dilahirkan sebagai perempuan? [*]

--Endah Sulwesi

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar