Judul:
Peaceful Jihad For Teens
Penulis: Radinal Mukhtar Harahap Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan: I, 2011 Tebal: 202 halaman ISBN: 978-979-22-6678-8 Peresensi: Abd. Basid*) |
Salah
satu kejadian besar dan merobek citra negeri ini di mata publik selain praktik
korupsi adalah praktik jihad yang kerapkali disalahtafsirkan dengan kekerasan
oleh kalangan tetentu di negeri ini—yang tidak jarang sampai merengkut jiwa tak
berdosa. Lihat saja, seperti teror Bom Bali, Bom Marriott I, Bom Marriot II dan
lainnya, berapa banyak saudara kita yang menjadi korban teror bom tersebut,
yang juga terdiri dari anak di bawah umur yang tidak tahu apa-apa. Ironisnya,
tragedi tersebut diatasnamakan agama (Islam), padahal Islam itu adalah agama
damai dan kasih sayang.
Kenapa
semua itu terjadi? Semua itu terjadi tidak lain karena adanya salah tafsir akan
makna jihad yang mereka pahami. Mereka beranggapan bahwa aksi teror merupakan
bentuk dari praktik jihad yang dibenarkan oleh agama (Islam). Padahal makna
jihad tidaklah sesempit yang mereka pahami. Karena sejatinya, jihad itu ada
tiga tingkatan; melawan hawa nafsu, melawan setan, dan melawan musuh. Tingkatan
ketiga inilah yang seringkali disalahfahami oleh mereka. Untuk itu, perlu
ditegaskan bahwa terorisme itu bukanlah jihad dan teroris bukanlah mujahid.
Teroris
tidak bisa dikatakan mujahid, setidaknya bisa ditemukan pada tiga titik
perbedaan mendasar, sesuai dengan praktik yang terjadi dan kita ketahui.
Pertama, mujahid itu akan melindungi agama Allah dengan cara melakukan
perbaikan atau islah, sedangkan teroris lebih pada sifat merusak fasilitas yang
telah ada. Kedua, mujahid akan melindungi hak-hak yang lemah dan terdzalimi,
sedangkan teroris menimbulkan ketakutan dan kehancuran pada pihak lain yang
sebagian besar tidak berdosa. Ketiga, mujahid melakukan jihad dengan aturan
yang telah ditentukan oleh syariat Islam dengan sasaran musuh yang jelas dan
nyata, sedangkan teroris melakukan aksinya tanpa melihat aturan dan sasaran
musuhnya tidak jelas.
Selain
itu, hal di atas semakin jelas titik terangnya kalau kita padukan dengan
definisi teror yang telah disepakati seluruh warga dunia bahwa suatu tindak
kejahatan akan disebut teror jika memenuhi unsur-unsur berikut; a) suatu tindak
kejahatan yang dilakukan dengan sangat jahat, b) kejahatan yang dilakukan dalam
kondisi negara damai (tidak sedang berperang), c) kejahatan yang dilakukan
terhadap penduduk sipil, d) kejahatan yang dilakukan tanpa memandang dan
memilih korban, dan d) tindak kejahatan yang menimbulkan efek atau dampak ketakutan
yang meluas di masyarakat.
Dari
tiga perbedaan mendasar dan pemaduan dengan definisi umum teror di atas tidak
dielakkan lagi bahwa aksi teror itu adalah perbuatan amoral yang tak terpuji.
Penjatuhan
hukuman mati bagi tersangka pelaku teror di negeri ini pun sampai saat ini
belum menimbulkan efek jera. Coba kita lihat eksekusi hukum mati pelaku Bom
Bali (Amrozi cs), yang dieksekusi akhir tahun kemarin. Hukuman mati yang
dijatuhkan pada pelaku Bom Bali tersebut ternyata tidak membuat aksi teror di negeri
ini lenyap. Aksi teror terus terjadi pasca eksekusi Amrozi cs., bahkan dengan
langkah pastinya mereka mengkader bawahannya untuk tetap dalam lingkaran
ideologi terorismenya. Salah satu kader yang ditargetkan para pelaku terorisme
tersebut adalah bagaimana sekiranya mereka bisa menggaet para remaja untuk
dipengaruhi dan bisa melanjutkan ideologi amoralnya di atas. Seperti kalau kita
melihat pada tragedi ledakan bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton 17 Juli
2009 lalu, yang ternyata salah satu pelakunya adalah remaja berusia 18 tahun
yang baru saja lulus SMU.
Sekarang,
bagaimana agar remaja kita tidak terpengaruh dan terjebak oleh ideologi
terorisme mereka? Ada beberapa tips agar remaja kita tidak terpengaruh rayuan
para teroris. Yaitu, remaja kita harus memperdalam ilmu agamanya, bersikap
lebih terbuka, berpikir lebih matang, tidak mudah terpengaruh, dan menemukan
jati dirinya. Selain itu, perlu diingat bahwa makna jihad itu lebih luas dari
pada sekedar berperang. Ada juga beberapa perbuatan yang bernilai jihad tanpa
harus merugikan orang lain sama sekali, yang mana hal itu memang selayaknya
dilakukan para remaja, yaitu dengan cara menjadi remaja muslim haus ilmu,
berbakti kepada kedua orangtua, bersedekah, dan selalu meningkatkan (kwalitas)
dirinya.
Beberapa
gambaran dan penawaran di atas, terbabat habis dalam buku “Feaceful Jihad
for Teens”, yang ditulis oleh Radinal Mukhtar Harahap. Buku dengan
tebal 202 halaman ini bisa menjadi jawaban atas semua permasalahan teror
yang ada di negeri ini, khususnya teror yang mengancam remaja, agar terorisme
tidak mengancam remaja (lagi).
Buku
ini sangat penting dibaca khususnya oleh para remaja dan para orangtua. Penting
dibaca remaja agar tidak kehilangan masa depannya dan bagi para orangtua agar
lebih memahami peran penting putra-putrinya di masa depan.
Dengan
bahasa yang ringan, tanpa harus mengernyitkan dahi—meski tema pembahasannya
berat, menegaskan bahwa penulis buku ini sangat lihai dalam meracik dan membaca
kebutuhan pembaca.
Namun,
layaknya tidak ada sesuatu yang sempurna, dalam buku ini saya menemukan dua
kelemahan yang keduanya mengarah pada kesan mempertebal halaman. Pertama, dalam
buku ini tidak jarang ada kutipan tidak terlalu penting dari sumber tertentu
yang banyak memakan halaman. Lihat saja halaman 105-110, yang mana kutipannya
sampai memakan 6 halaman. Kedua, 59 halaman terakhir buku ini dipenuhi dengan
lampiran fatwa dan undang-undang teroris. Hemat saya hal itu tidak perlu ada
pada sebuah buku nonformal, seperti buku ini. Lampiran fatwa dan undang-undang
itu wajarnya ada pada sebuah buku mata pelajaran atau mata kuliyah, yang
bentuknya formal. [*]
*) Kontributor buku “Islam dan Terorisme”, Grafindo Litera Media (2010)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar