Judul
Buku: Pendidikan Multikultural
Penulis: Chairul Mahfud Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan: II, 2007 Tebal: xxvii + 294 Halaman Peresensi: Ach Syaiful A'la*) |
Bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang demokratis. Meski demokrasi itu sempat
terkurung dan dikebiri masa Orde Baru. Hak-hak warga negara selama 32 tahun
disumbat dan dikekang oleh pemerintah. Setelah arus “reformasi” (public
sphere) bergulir, yang lebih bertendensi pada kebebasan rakyat ibarat
air—meminjam istilah Nurkholish Madjid—yang semula tersumbat kemudian dibuka,
air keras kontan menyerobot keluar.
Cita-cita
reformasi kini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, ada baiknya
digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya
secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model
multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap
memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, maka masyarakat
multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi
multikulturalisme atau Bhineka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi
corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Gelombang
demokrasi memang membawa dampak positif terhadap masyarakat. Sehingga Hak Asasi
Manusia (HAM) dan eksistensi kelompok bisa dihormati. Tetapi tidak mustahil
juga mengandung bahaya dan perpecahan. Perpecahan pada akhirnya akan beruntut
kepada benturan-benturan yang diakibatkan oleh adanya beberapa faktor: politik,
sosial, budaya, ras, ekonomi, bahkan agama.
Indonesia,
seperti anggapan banyak orang mengandung muatan yang sarat kemajemukan, maka
pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola
kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari
transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi
bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan melalui pendidikan.
Kenapa
menjadi tugas dan tanggung jawab pendidikan untuk menyelesaikan persoalan ini? Secara
definisi, dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973, bahwa pendidikan
pada hakikatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk dikembangkan
kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar
sekolah, dan berlangsung seumur hidup (long life education). Halaman 33.
Pendidikan
multikultural (multicultural education) adalah proses penanaman cara
hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup
di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan
adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik
sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Jika
kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi
sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan
eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum
kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan, terjadinya
konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan
ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan buntutnya masih terasa hingga
sekarang, baik yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Tanpa
pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus
menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.
Pendidikan
multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah
terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis
multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) pelajar/mahasiswa akan
lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Dengan
pengembangan model pendidikan berbasis multicultural, diharapkan mampu menjadi
salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural
bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar
tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Tak
hanya itu, pendidikan multikultural juga mencakup revisi materi-materi dan
sistem pembelajaran, seleksi penerimaan siswa, rekrutmen guru, termasuk revisi
buku-buku dan teks-teks soal Ujian Nasional (UN). Halaman 192. Misalnya,
pelaksanaan UN selama ini terus menjadi perdebatan dan menimbulkan pro-kontra,
sejak keluarnya SK No 153/U/2003 tentang UAN. Mulai teknis pelaksanaan hingga
keputusan pemerintah tentang pelulusan terhadap siswa. Secara yuridis,
pelanggaran terhadap UU No. 20 tahun 2003. Pada pasal 58 ayat (1), misalnya,
semestinya UAN menjadi tolak ukur, kontrol, alat evaluasi tingkat kemampuan
peserta didik dan penyerapan terhadap materi. UU lahir, oleh pemerintah malah
dibelokkan menjadi alat untuk menentukan tingkat kelulusan siswa. Secara tidak
langsung pemerintah masih berkeinginan menyeratakan dan tidak mendukung adanya
paradigma atau pijakan pendidikan multikultaral.
Menjadi
penting kiranya buku setebal 295 halaman ini untuk dijadikan santapan awal bagi
siapa saja yang hendak memperkaya khazanah tentang diskursus pendidikan multikultural.
Kata Prof Dr A Syafiq Mughni, sekaligus sebagai pengantar buku ini, wacana
“pendidikan multikultural” kian hari bagaikan bola salju (snow ball)
yang menggelinding semakin besar dan marak diperbincangkan oleh pelbagai
kalangan, pengamat pendidikan, akademisi pendidikan, aktivis, budayawan,
lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain. Selamat membaca! [*]
*) Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Aktif di lesehan Komunitas Baca Surabaya (Kombas).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar