Judul: Perang Eropa (Jilid III)
Penulis: P.K. Ojong Editor: R.B. Sugiantara Penerbit: Penerbit Buku Kompas Cetakan Kedua, Agustus 2005 Tebal: xii + 294 halaman ISBN: 979-709-203-8 |
PANTAI
NORMANDIA. 6 Juni 1944. The Supreme Commander Tentara Sekutu, Dwight Eisenhower
(atau yang sering dipanggil Ike), menunggu hari yang satu itu dengan kecemasan
berhari-hari. Bocornya operasi ke pihak musuh—ia dan Perdana Menteri Inggris
takutkan itu sejak hari H diputuskan bersama.
Persiapan
dilakukan. Para prajurit disekap di barak-barak. Penduduk sipil dilarang berada
dekat barak-barak. Konon bahkan, seorang perwira Angkatan Darat diusir-pulang
ke Amerika Serikat gara-gara pernah kelepasan bicara tentang hari H operasi itu
suatu hari waktu minum-minum dengan rekan-rekannya. Tak ada keringanan baginya,
sebab ini perang.
Demikianlah.
Dan P.K. Ojong bercerita banyak dalam Perang Eropa III. Tentang perang. Tentang
kepahlawanan. Tentang ambisi manusia. Tentang peristiwa-peristiwa yang ia
yakin: ada pelajaran di sana.
OPERASI
pendaratan tersebut berjalan lancar tanpa bocor ke pihak lawan. Semua lega.
Lalu diteruskan dengan pembebasan wilayah demi wilayah yang telah diduduki
lawan. Jerman, yang kebetulan adalah pihak lawan saat itu, terpaksa mundur,
melepaskan wilayah-wilayah tersebut sambil merencanakan pembalasan telak pada
pihak Sekutu.
Namun,
perimbangan kekuatan saat itu sudah jauh berbeda dengan perimbangan kekuatan di
awal pecahnya perang. Superioritas Luftwaffe (Angkatan Udara) Jerman seperti di
awal pecahnya perang sudah tak-ada lagi. Mereka telah kehilangan-banyak, baik
dari jumlah ataupun hasil yang dapat dipaksakan. Yang tinggal adalah bertahan
habis-habisan.
Tentang
habis-habisan ini, sebenarnya relatif. Pertama adalah tuntutan Sekutu agar
Jerman menyerah tanpa syarat. Ini kesalahan, rupanya. Sebuah blunder yang
membuat Jerman susah dikalahkan dalam waktu singkat. Semakin lama perang
berlangsung, semakin besar kemungkinan akan jatuh korban banyak. Resiko yang
merugikan semakin besar. Mereka, Sekutu itu, seperti lupa akan perkataan bijak
Sun Tzu dalam Art of War, “Jangan biarkan musuh terdesak tanpa satu pun celah
untuk meloloskan diri.”
Akibatnya,
baik Hitler dengan Nazinya maupun Tentara Jerman dan penduduk sipil bertahan
mati-matian. Bagi mereka, menyerah tanpa syarat itu menyakitkan. Sebab pada
akhirnya, nasib mereka ditentukan oleh pihak yang menuntut itu tanpa sekalipun
dapat memilih nasib yang dipandang baik untuk masa depan seusai perang.
Itu
belum apa-apa. Sebab, kedua, habis-habisan Jerman ini jangan dibayangkan
seperti Jepang yang terkenal dengan tradisi jibakunya dalam serangan
pesawat-pesawat Kamikaze. Jerman tetaplah Jerman. Orang-orangnya masih banyak
yang sadar tentang arti hidup.
Banyak,
ternyata, tentara Wehrmacht (Angkatan Darat) Jerman yang lebih memilih jadi
tawanan (Prisoners of War) Sekutu. Apapun resikonya. Bagi mereka, adalah sebuah
pilihan manusiawi untuk menyerah ketimbang mati-matian menuruti ambisi Hitler
dan Nazinya. Dan memang, banyak yang sudah jengkel melihat ambisi Hitler yang
sering tak-masuk akal dan konyol itu.
Stephen
E. Ambrose pernah menggambarkan dalam Citizen Soldiers (yang untungnya sudah
diterjemahkan dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, tahun 2004) bahwa
menyerah pada Sekutu membuat Tentara Jerman itu menikmati lagi hidup normal
seperti sebelum pecah perang.
Banyak
dari mereka yang ditawan itu dikirim ke perkebunan-perkebunan di Amerika
sebagai pekerja upahan sampai perang usai. Mereka dapat upah, rumah sementara,
dan (kalau beruntung) beristri wanita Amerika Serikat atau setidaknya wanita
keturunan imigran Jerman, serta jadi warga negara sana. Kalaupun tak-dikirim ke
sana, tawanan-tawanan Sekutu dijamin hidupnya selayaknya hidup Tentara Sekutu
sendiri.
Sebenarnya,
dari sejak pendaratan itu, Sekutu dapat menyudahi-cepat perang itu. Namun,
perselisihan pendapat dalam menjalankan taktik di antara jenderal-jenderal
Sekutu membuat mereka mesti melalui berbagai pertempuran berlarut-larut. Ike
berbeda-pandang dengan dengan bawahannya, Jenderal Montgomery (sering dipanggil
Monty) dari Inggris.
Menurut
Ike, cara yang paling baik dalam menyerang Jerman adalah dengan serangan yang
melebar, sedang menurut Monty dengan serangan yang terpusat (hal. 159, 164).
Akhirnya, pendapat yang dipilih adalah pendapat Ike. Seusai perang, ketika
diceritakan dua pendapat itu ke hadapan jenderal-jenderal Jerman, mereka
mengakui pendapat Monty-lah yang benar karena saat itu (bulan-bulan pertama
setelah pendaratan) Tentara Jerman dalam keadaan terpencar di berbagai tempat
di Eropa.
Perbedaan
pendapat seperti itu, ternyata, terjadi juga di pihak Jerman. Untuk menghadapi
serangan Sekutu itu, Hitler lebih memilih taktik pertahanan statis ketimbang
pertahanan dinamis. Taktik pertahanan statis adalah taktik terbaik menurut
Marsekal Runsted, sedang taktik pertahanan dinamis justru yang terbaik menurut
Marsekal Rommel (hal. 42-43).
Padahal,
kalau saja Tentara Jerman memakai taktik pertahanan dinamis, Tentara Sekutu
akan kewalahan dan dapat terusir keluar dari Pantai Normandia. Hal itu nyata
sekali dan dapat dirasakan dengan baik oleh Tentara Sekutu saat pendaratan.
Keberuntungan akibat kurang mobilnya pertahanan Jerman itu yang membuat
pendaratan tersebut berhasil.
Lain
halnya dengan teknologi. Perkembangan teknologi perang saat itu pun sudah
“berpihak” ke Sekutu. Meski demikian, Jerman masih ditakuti oleh Sekutu dalam
teknologi senjata-senjata perang. Bom nuklir, betapa pun, amat ditakuti Sekutu
bila sampai Jerman berhasil membuatnya lebih dulu. Meski pernah berusaha dengan
tak terlalu serius, kabar bahwa Jerman sedang membuat bom atom sudah beredar di
pihak Sekutu waktu itu. Sebab kalau Jerman berhasil dalam usahanya, maka segala
usaha Sekutu untuk memenangi perang akan sia-sia!
Satu
hal yang masih kontroversi dan sering dibahas seusai perang oleh berbagai kalangan
adalah keputusan Ike untuk tak-merebut Berlin, pusat kedudukan Hitler. Perdana
Menteri Inggris, Winston Churchill, berkali-kali mendesak Ike untuk juga
merebut dan mendahului Tentara Merah Rusia. Sudah rencana, memang, bahwa
Tentara Merah akan menyerang Jerman dari Front Timur Eropa sedang Tentara
Gabungan Amerika-Inggris-Kanada-dan beberapa negara Sekutu lainnya dari Front
Barat.
Menurut
Churchill, bila Berlin berhasil direbut oleh Tentara Merah, maka memudahkan
Rusia untuk menguasai Eropa Timur dan menyebarkan ideologi mereka di sana.
Pertimbangan politis, memang. Akan tetapi, Ike tetap bersikeras untuk
tak-merebutnya dengan alasan-alasan yang bersifat militer (hal. 321). Lagipula,
menurutnya—dan ini yang benar-benar ditekankannya, bahwa kepentingan Sekutu
adalah membebaskan Eropa dari cengkeraman Hitler dan Nazi-nya bukan berusaha
menaklukkan dan mempengaruhinya.
APA
YANG terjadi pada Perang Dunia (PD) II sebenarnya telah banyak diceritakan
Ojong dalam tulisan-tulisannya di mingguan Star Weekly sebelum dibredel pada
masa pemerintahan Soekarno dulu. Beruntung, tahun-tahun belakangan ini,
penerbit buku Kompas mengumpulkan dan menerbitkan ulang tulisan-tulisan itu
dalam seri Perang Eropa: Jilid I-III dan Perang Pasifik.
Memang
buku-buku itu bukan sebuah karya komprehensif tentang PD II di Front Eropa
Barat. Tetapi sebagai pengantar untuk melihat sejarah PD II, buku-buku itu
dapat bermanfaat baik. Semuanya itu diterbitkan untuk mengisi kekosongan
tulisan tentang PD II.
PD II
dengan segala kisah-kisah kepahlawan yang sering diceritakan di dalamnya, tak
pernah habis-habis diangkat dalam tulisan-tulisan. Apalagi dalam bentuk film.
Di
Front Eropa (Barat Laut), misalnya, kita mengenal film Band of Brothers, yang
diangkat dari buku Band of Brothers karya Stephen E. Ambrose. Kita pun mengenal
Saving Private Ryan, yang disutradarai oleh Steven Spielberg, yang bercerita
dengan latar belakang pendaratan di Normandia itu. Di Front Asia kita pun tak
lupa dengan film Pearl Harbor, yang disutradarai oleh James Cameron, dan Tora
Tora Tora yang bercerita tentang pemboman Pearl Harbor. Belum lagi Wind Talker,
yang dibintangi Nicholas Cage, dan Into The Red Line yang bercerita tentang
kemajuan Sekutu di pulau-pulau Pasifik.
Pada
akhirnya, perang tetap perang. Ia adalah tragedi di mana manusia perlu
mengingatnya. Ia adalah cerita di mana nafsu manusia sering dilakonkan dengan
baik. Dan kita tahu (juga dengan baik): nafsu itu makan biaya, makan korban,
juga dengan baiknya. [*]
--Rimbun
Natamarga
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar