Judul:
Perang Tiga Triliun Dolar
Penulis: Joseph Stiglitz, Linda Bilmes Terbit : Februari 2009 Penerbit: Mizan ISBN: 978-979-433-530-7 Halaman: 272 / HVS
Peresensi:
Moh Samsul Arifin*)
|
Invasi Amerika ke
Irak pada 2003 telah mengirim kabar buruk bukan hanya bagi jutaan warga sipil
Irak yang hingga kini hidup dalam kecamuk konflik atau empat ribuan keluarga
tentara AS yang tewas di sekujur negeri Abu Nawas itu. Tetapi juga buat warga
AS yang harus merogoh kocek –membayar pajak– demi membiayai perang yang tak
pernah memiliki pembenaran itu. Presiden George Walker Bush –yang menabuh
genderang perang– pun akan dikenang sebagai salah seorang presiden Amerika yang
penuh bercak darah. Selain menghabiskan triliunan dolar, Bush telah mengirim
popularitas Amerika tersungkur di seantero jagad –bahkan di negara-negara
sekutunya.
Survei Pew Research
Center menyebutkan perang telah mengubah secara dramatis kekaguman warga dunia
pada Amerika. Kekaguman warga dunia pada Amerika di 26 dari 33 negara yang
disurvei menurun. Pada 2007, kekaguman itu merosot sembilan persen di Turki dan
29 persen di Indonesia. Bahkan di Kanada, Inggris, Jerman, dan Prancis,
kepercayaan pada kepemimpinan Vladimir Putin (Rusia) melampaui kepercayaan
terhadap kepemimpinan Bush. Survei lebih mutakhir Pew menunjukkan, keberadaan
AS di Irak dianggap sebagai ancaman yang lebih besar bagi perdamaian dunia
daripada Korea Utara.
Amerika juga tak
lagi dipercaya sebagai benteng hak-hak sipil dan demokrasi. Sekitar 65 persen
rakyat Jerman, 66 persen rakyat Spanyol, dan 67 persen rakyat Brasil, misalnya,
tidak suka terhadap gagasan Amerika soal demokrasi. Angka ini makin tinggi di
Palestina (71 persen), Pakistan (72 persen) dan Turki (81 persen). Perang Irak
tak pelak menjatuhkan martabat AS. Tak urung kini warga dunia selalu awas
dengan setiap gagasan yang ditelurkan negeri itu, termasuk di bawah Presiden
Barack Husein Obama yang diinginkan mengubah wajah “polisi dunia” itu.
Buku Joseph E
Stiglitz dan Linda J. Belmes ini secara khusus menyelidiki biaya yang dikeluarkan
AS dan juga para sekutunya untuk perang Irak. Biaya yang ditanggung Depkeu AS
dan itu berarti harus ditanggung pembayar pajak antara 1,7 trilun hingga 2,7
triliun dolar. Ditambah biaya “sosial” substansial, yakni biaya-biaya yang tak
tertangkap dalam anggaran pemerintah federal, tapi sebenarnya mencerminkan
beban sesungguhnya yang dipikul warga AS berkisar antara 300 miliar hingga 400
miliar dolar AS. Total antara 2 triliun hingga 3,1 triliun dolar. Sama dengan
12 tahun biaya perang di Vietnam dan dua kali lipat dibandingkan dengan biaya
perang di Korea!
Padahal dengan 1
triliun dolar, negeri itu bisa membangun 8 juta unit rumah, menggaji 15 juta
guru selama setahun, membayar asuransi kesehatan 530 juta anak selama setahun,
memberikan beasiswa empat tahun pada 43 juta mahasiswa di universitas negeri.
Akan semakin banyak lagi manfaat yang didapat warga AS dengan dana 3 triliun
dolar.
Peraih Nobel
Ekonomi 2001, Stiglitz dan Bilmes, membagi biaya perang itu menjadi dua: biaya
perang saat ini dan biaya perang masa datang. Biaya saat ini yang sudah
dikeluarkan meningkat dari 4,4 miliar dolar (2003) menjadi 16 miliar dolar pada
2008. Dengan demikian, tiap keluarga Amerika telah membelanjakan 138 dolar
setiap bulan untuk biaya operasi perang dan 100 dolar per bulan secara otomatis
mengalir ke Irak (hlm. 63). Pada April 2009 ini, Barak Obama tengah butuh dana
83,4 juta dolar untuk keperluan mengirim pasukan ke Irak dan Afganistan.
Menurut riset Kongres AS, total pengeluaran untuk perang di kedua negara itu menjadi
satu triliun dolar AS sejak serangan teroris pada 11 September 2001.
Biaya perang masa
datang dihitung sebab para pembayar pajak AS berutang miliaran dolar kepada
para veteran yang memenuhi syarat mendapat kompensasi cacat, perawatan dan
tunjangan medis. Dengan taksiran pasukan AS bertahan di Irak hingga 2017, biaya
untuk pasukan akan bertambah 382 miliar dolar. Ini hampir 200 miliar dolar yang
diminta Bush untuk operasi tahun fiskal 2008 serta operasi dari 2009 hingga
2017. Ini skenario terbaik. Tapi, bagaimana jika hingga 2017 jumlah pasukan
yang diterjunkan di medan perang Irak dan Afganistan –termasuk operasi terhadap
Al Qaeda– mencapai 2,1 juta orang? Dalam skenario ini, biaya penugasan pasukan
mencapai 400 ribu dolar per kapita. Sedangkan biaya total operasi masa datang
akan lebih dari 913 miliar dolar. Dari jumlah itu, 669 miliar dolar untuk Irak.
Misalnya klaim
cacat veteran sekitar 45 persen dan 88 persen dari klaim-klaim itu sebagian
dikabulkan, maka ada 712.800 pasukan AS akan mengklaim tunjangannya. Rata-rata
pembayaran pada veteran Perang Irak dan Perang Afganistan 542 dolar per bulan
per orang. Belum lagi tunjangan veteran berupa penyesuaian biaya hidup yang
setara jaminan sosial. Lihatlah data ini: pada 2003 Departemen Urusan Veteran
menanggung biaya perawatan 13.800 orang veteran Irak dan Afganistan. Pada 2008,
sudah ada 263.000 veteran Irak dan Afganistan yang harus ditanggungnya.
Untuk para veteran
dua perang ini, pemerintah AS harus mengeluarkan 398 miliar dolar (121 miliar
dolar untuk perawatan kesehatan dan 277 miliar dolar untuk tunjangan cacat).
Membengkaknya biaya
perang merupakan kombinasi dari tiga faktor. Pertama, kenaikan biaya personel
–baik pasukan AS atau para tenaga kontrak militer (perusahaan jasa keamanan
militer). Kedua, naiknya harga minyak secara drastis. Dan ketiga, kebutuhan
untuk membayar “pengaturan kembali” secara umum peralatan dan persenjataan
karena cadangan peralatan militer bisa aus dan lamanya perang membuat Pentagon
harus memberikan pembelian yang tidak direncanakan.
Soal perusahaan
jasa keamanan militer, jurnalis Los Angeles Times T. Christian Miller dalam
bukunya Blood Money juga mengungkapnya. Menurut Miller, bahkan perusahaan tak
berpengalaman asal sanggup mengumbar janji-janji palsu, ditunjuk Pemerintahan
Koalisi Sementara (CPA) dan Kantor Rekonstruksi dan Bantuan Kemanusiaan (ORHA)
–kepanjangan tangan Pemerintahan Bush– untuk menggarap proyek penting dan
sensitif seperti jasa keamanan untuk melancarkan proses rekonstruksi di Irak.
Namun, yang paling eksesif adalah Halliburton –perusahaan yang dekat dengan
Dick Cheney (wapres di masa Bush). Bahkan Halliburton acapkali menggelembungkan
tagihan kepada otoritas Pemerintahan Koalisi Sementara, termasuk ketika
ditunjuk untuk memasok minyak ke Irak, Mei 2003. Apabila Defense Energy Support
Center (lembaga bahan bakar Pentagon) mampu mengimpor bahan bakar keperluan
militer senilai 1,08 dolar per galon. Halliburton meminta bayaran 2,68 dolar
untuk setiap galon minyak yang didatangkannya.
Stiglitz dan Bilmes
menduga ada pembayaran berlebih (baca: aroma korupsi) kepada Halliburton. Bukan
itu saja, Halliburton mendapat kontrak menyediakan jasa keamanan
bertahun-tahun, melebihi dari yang dibutuhkan. Maklum jika perusahaan ini
pernah menerima kontrak tunggal menguntungkan senilai 19,3 miliar dolar. Hingga
2007, Deplu AS telah menghabiskan 4 miliar dolar untuk para penjaga keamanan.
Dan, penghasilan perusahaan seperti Blackwater dan Dyncorp lebih tinggi dari
sersan angkatan darat. Setiap hari para penjaga keamanan mendapat 1.222 dolar
atau 445 ribu dolar setahun. Sedangkan sersan hanya menghasilkan 140-190 dolar
per hari atau 51.100-69.350 dolar setahun (hlm. 41-44). Sesuatu yang membuat
persaingan tidak sehat. Korporasi mendompleng perang, bukan hanya merugikan
rakyat Irak tapi menguras pundi-pundi pembayar pajak Amerika.
Perang akan terus
memakan dolar jika tak selekas mungkin dihentikan. Bukan itu saja, sederet
persoalan kejiwaan menghantui para veteran Irak dan Afganistan. Survei terhadap
2.000 veteran dua perang ini menemukan hampir sepertiganya menderita gangguan
stres pascatrauma (PTSD), depresi mayor, cedera otak traumatik atau
kombinasinya. Riset the RAND Corporation bahkan menaksir sekitar 300 ribu
tentara menderita PTSD atau depresi mayor dan 320 ribu mengalami cedera otak
traumatik. Stiglitz dan Bilmes, lewat angka-angka yang dipaparkan mengabarkan
pada kita bahwa perang sungguh hal yang mubazir. [*]
*) Anggota Klub
Buku dan Film SCTV
Sumber:
Jawa Pos, Minggu,
19 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar