Judul
Buku: Perisai Pribadi Muslim,
Sebuah Catatan dari Ladang
Dakwah
Penulis: Moh Nurhasan Penerbit: Resist Literacy, Malang Cetakan: I, Oktober 2010 Tebal: xviii + 146 halaman Peresensi: M Husnaini*) |
Tidak
banyak aktivis dakwah yang mau menuliskan pengalaman dan materi dakwahnya
menjadi sebuah buku. Sebab itulah, buku berjudul Perisai Pribadi Muslim, Sebuah
Catatan dari Ladang Dakwah ini jelas merupakan sebuah upaya cerdas untuk
mengisi kekosongan itu.
Memang,
buku ini berisi kumpulan tulisan tentang pengalaman dan materi dakwah yang
ditulis oleh salah seorang juru dakwahyang sudah berpengalaman terjun dalam
bidang dakwah Islam. Menyibak helai demi helai halaman buku ini, segera tampak
kepada kita betapa Moh Nurhasan, sang penulis, adalah seorang “duta Islam” yang
mampu mengemas dakwahnya dengan bahasa-bahasa yang menyejukkan. Ia telah
menghadirkan Islam dengan bahasa cinta.
Orang
bilang, agama (baca: Islam) itu ibarat musik. Bisa dipahami jika setiap orang
yang memeluk Islam, hidupnya dipenuhi keindahan. Jiwa orang Islam senantiasa
merasa damai dan tentram karena diayomi dan diselimuti oleh ajaran Islam.
Meski
demikian, tidak gampang menghadirkan ajaran Islam sebagai sesuatu yang indah
dan menentramkan. Diperlukan juru dakwah yang benar-benar mampu memahami Islam
secara paripurna. Ia dituntut mampu menerjemahkan ajaran Islam dengan bahasa
cinta. Dakwah yang disampaikan harus menyejukkan, agar menarik simpati banyak
orang. Lugasnya, keberhasilan dakwah dapat dilihat dari sejauh mana cinta
berperan di dalamnya.
Sebaliknya,
dakwah itu tidak boleh dilakukan dengan media-media atau cara-cara yang
menakutkan. Sebab, yang demikian itu justru antitesa dari wajah Islam yang
sebetulnya sedang ia tampilkan. Cinta adalah ruh Islam. Dan, Rasulullah,
sebagai duta teladan Islam, adalah juga seorang maestro cinta. Cinta yang
begitu dalam menyebabkan tidak setitik nila dari kebencian singgah di hati
Rasulullah. Inilah di antara kunci sukses dakwah Rasulullah. Bahasa cinta
terbukti lebih dahsyat ketimbang bahasa yang kasar.
Sayang,
fakta di lapangan tidak seindah harapan. Tidak susah menemukan juru dakwah yang
justru bertolakbelakang dengan yang telah Rasulullah teladankan itu. Islam
tidak diajarkan dengan bahasa cinta. Akibatnya mudah diduga. Banyak pengajian,
ceramah, tausiah, forum keagamaan, dan semisalnya, tidak mampu meneteskan embun
kesejukan dan keramahan bagi jamaahnya. Jamaah mundur dengan teratur.
Dalam
konteks inilah, sesungguhnya buku ini layak menjadi bahan perenungan. Ia berisi
contoh-contoh nyata tentang kegiatan dakwah dengan cinta. Materi dakwah seperti
tersaji dalam buku ini juga dikemas dengan bahasa yang lugas, sederhana, dan
bahkan cenderung kocak, sehingga menarik minat banyak orang. Benar Pradana Boy
ZTF, dalam pengantarnya, yang menyatakan bahwa sang penulis telah sanggup
menggabungkan pendekatan akademis dengan pendekatan kemasyarakatan saat
menyajikan materi dakwahnya.
Ini
jelas bukan persoalan mudah. Faktanya, banyak juru dakwah mampu menyampaikan
ceramah dengan bahasa-bahasa akademis, tetapi gagal menerjemahkannya ke dalam
bahasa yang mudah dicerap masyarakat awam. Demikian pula, mudah menemukan juru
dakwah yang cerdas menyampaikan ceramah-ceramah dengan bahasa awam, tetapi
tidak benar-benar fasih memformulasikannya ke dalam bahasa akademis.
Ada
yang malah mengubah wajah Islam menjadi kaku. Sang juru dakwah tiba-tiba
menjelma menjadi “malaikat” yang gemar sekali melakukan penghakiman terhadap
berbagai persoalan keagamaan di kalangan umat. Ia tidak lagi menjadi “keranjang
sampah” yang menampung segala keluhan umat. Banyak persoalan hidup sehari-hari
segera diberikan vonis hukum tanpa dipahami terlebih dahulu secara tuntas,
sehingga dakwah yang disampaikan tidak membuat jamaah nyaman.
Padahal,
juru dakwah adalah ujung tombak penyebaran ajaran Islam. Sudah selaiknya ia
menjadi representasi dari ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Masjid dan
majelis taklim itu adalah tempat-tempat yang memancarkan cinta. Masjid dan
majelis taklim bukan tempat yang dipenuhi acungan tangan yang mengepal atau
mata yang merah menyala karena kemarahan.
Dakwah
harus disampaikan dengan hati nurani dan kelembutan. Inilah yang dicontohkan
Rasulullah ketika beliau menjawab pertanyaan dari seorang yang merasa banyak
dosa dan tidak akan dapat mencicipi surga. Orang itu bertanya, “Wahai
Rasulullah! Siapakah sebenarnya yang berhak masuk surga?” Dengan lembut
Rasulullah menjawab, “Semua umat Islam masuk surga, kecuali mereka yang
enggan.” Merasa masih ada yang mengganjal dalam hati, orang itu melanjutkan
pertanyaan, “Siapakah yang engkau maksud sebagai orang-orang yang enggan itu?”
Jawab Rasulullah, “Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasulullah, dia
masuk surga. Dan barangsiapa yang berkhianat kepadaku, itulah orang-orang yang
enggan itu.”
Jawaban
Rasulullah itu terdengar amat sejuk di telinga. Riwayat itu membuktikan betapa
Rasulullah benar-benar menggunakan bahasa cinta dalam berdakwah. Beliau tidak
serta merta memvonis si penanya sebagai calon penghuni neraka, meskipun beliau
tahu betul bahwa orang yang sedang di hadapannya adalah seorang ahli maksiat.
Dus,
kehadiran buku ini menjadi inspirasi kita bersama. Di dalamnya ada kritik,
refleksi, dan petuah-petuah bijak yang akan menyelamatkan kita dari kegilaan
zaman modern. Memang, tidak ada metode khusus yang digunakan sebagai patokan
dalam berdakwah di zaman sekarang. Semua bentuk metode bisa diterapkan. Yang
harus diingat, hakikat dakwah adalah untuk mengajak umat mengamalkan ajaran
Islam. Sementara Islam itu sendiri adalah agama kedamaian, ketenangan, dan kesejukan.
[*]
*) Pecinta buku, pendidik di PP Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar