Judul
Buku: Perjalanan dan Ajaran Gus Miek
Penulis: Muhammad Nurul Ibad Editor: Fahruddin Nasrullah & A. Muhaimin Azzet Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta Cetakan: I, Februari 2007 Tebal: xx + 336 halaman Peresensi: Noviana Herliyanti*) |
KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah tulisannya mengatakan, istilah kiai,
gus, bindere, dan ajengan adalah sebutan yang semula diperuntukkan bagi para
ulama tradisional di pulau Jawa, walaupun sekarang kiai sudah digunakan secara
generik bagi semua ulama, baik tradisional maupun modernis, baik yang ada di
pulau Jawa maupun di luar Jawa.
Sementara,
menurut teori yang dilakukan Clifford Geertz yang menyebutkan, kiai sebagai
“makelar budaya” (cultural brokers). Teori ini, kiai
harus mampu membendung dan menjaga terhadap dampak negatif arus budaya yang
masuk ke dalam kehidupan masyarakat tradisional saat ini. Belum lagi kalau
seorang kiai yang memiliki kualifikasi penuh, dan spesialisasi tersendiri dalam
disiplin ilmu ke-Islam-an yang ia kuasainya. Kiai seperti ini, misalnya, KH.
Hamim Djazuli, atau akrab disapa Gus Miek.
Gus
Miek, putra KH. Jazuli Utsman, salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan
pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan
berbagai tokoh Islam ternama, khususnuya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus
Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang
sulit dijangkau akal.
Selain
menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan
patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya
sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan
kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas).
Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat
dengan (alm) KH. Hamid, Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui
keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka
yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di
kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah
ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.
Hal
terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana
dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak
didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang
saleh, baik di dunia maupun akhirat.
Gus
Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran
adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa
dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek
merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan (hal: 113 dan
133).
Buku
ini, mengulas tuntas perjalanan Gus Miek sejak ia lahir sampai kematian yang
menjadi langkah awal untuk berjumpa Sang Khaliq. Di samping itu juga, buku ini
mengisahkan seputar kearifan dan lika-liku perjalanan seorang Gus Miek. Gus
Miek adalah, salah seorang dari sekian ulama besar Jawa yang berkharisma
lantaran Allah telah menganugerahinya sebuah keistimewaan yang jarang dimiliki
khalayak umum.
Dengan
demikian, di balik keistimewaan dan karifan Gus Miek yang menyimpan banyak
kisah mesteri dan penuh kontroversial ini, sangatlah penting untuk patut
diteladani, khususnya bagi masyarakat pesantren. Karena apa yang dilakukan Gus
Miek, tentunya memiliki arti penting bagi kita dalam memahami sikap dan
perilakunya.
Selain
itu, buku ini adalah hasil penelitian yang diperoleh melalui metode kualitatif
yang berupa pengamatan dan wawancara mendalam ke berbagai tokoh. Dengan cara
demikian, Muhammad Nurul Ibad, penulis buku ini, telah menentukan pilihan yang
amat sesuai dengan bakatnya, sehingga, darinya dapat diperoleh informasi yang
begitu langsung dari para keluarga Gus Miek, dan 100 tokoh yang tersebar mulai
dari Jakarta sampai Jember.
Sungguh
menarik, gambaran hasil penelitian penulis mengenai sosok perjalanan Gus Miek
semuanya disajikan dengan bahasa yang egaliter, sistematis, komonikatif
sehingga siapa pun, dari kasta sosial apa pun mudah menangkapnya.
Sayang,
penulis buku ini hanya banyak mengandalkan hasil-hasil penelitian yang diproleh
secara kuantitatif yang berupa pengamatan dan wawancara saja, tidak secara
kualitatif. Sehingga dimungkinkan data-data yang diperoleh penulis itu tidak
valid. Sebab, bisa jadi data itu tidak sama dengan maksud tokoh-tokoh tersebut.
Dari
buku ini setidaknya dapat menjadi langkah awal sejauhmana bisa kita mengenal
sosok, dan latar belakang Gus Miek. Dengan harapan, agar muncul para penulis
dan peneliti yang bisa menulis biografi para tokoh-tokoh lain, terutama tokoh
pesantren. Karena, selama ini buku-buku yang membahas tokoh-tokoh pesantren
relatif terbatas.[*]
*) Pecinta buku, Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura. Kini Aktif sebagai guru pada Madrasah Ibtidaiyah Al-Qodiri, Batang-batang, Sumenep, Madura.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar