Judul:
Titik-titik Kisar di Perjalananku;
Autobiografi Ahmad Syafii Maarif
Peresensi: Ali Rif’an Penulis: Ahmad Syafii Maarif Penerbit: Mizan Tahun: I, April 2009 Tebal: 422 halaman |
Membaca buku
berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku; Autobiografi Ahmad Syafii Maarif
ini kita serasa sedang diajak berselancar mengarungi samudera makna, berliku,
dramatik, menyedihkan, menegangkan, tetapi penuh nilai dan sarat dengan
pelajaran. Buku ini merekam perjalanan insan Minangkabau, putra bangsa, dan intelektual
Muslim kenamaan Indonesia. Ia adalah Buya Syafii—panggilan akrab Ahmad Syafii
Maarif.
Ahmad Syafii Maarif
dilahirkan di Sumbar Kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Ia terlahir
sebagai anak biasa yang kemudian merangkak mengikuti arah retak tangan dan
terlibat dalam pusaran waktu yang cukup panjang dan berliku. Syafii kecil tak
memiliki cita-cita tinggi karena alam Sumpur Kudus yang sempit dan terpencil
membuat alam bawah sadarnya tak memiliki angan-angan besar dan aneh-aneh. Ia
seperti anak biasa yang suka menjala, memancing ikan, mengadu sapi dan ayam,
mandi di sungai, dan sebagainya. Bahkan tikar kasar adalah sahabat sejatinya
tatkala tidur.
Syafii kecil tumbuh
dan berkembang di tanah Minang yang sarat dengan kekhasan budaya dan makna
filosofi. Salah satu filosofi yang akrab melekat pada anak-anak Minang itu
berbunyi: “alam terkembang jadi guru”. Secara filosofis, orang Minang
seharusnya tidak saja jadi perantau, tetapi juga tampil sebagai warga dunia
dengan wawasan universal (hal.67).
Dalam perspektif
ini, si Minang yang ciut nyalinya memasuki kultur lain yang asing sifatnya,
tidak saja terkurung dalam kategori pengecut, tetapi memang tidak paham
filosofi dasar Minangkabau yang sering dituturkan kaum adat pada
upacara-upacara tertentu. Sebab, jika filosofi Minang ini dipahami secara benar
dan dalam, akan melahirkan spirit reflektif untuk selalu maju, berkembang, dan
suka dengan segala tantangan.
Dari catatan
sejarah, misalnya, filosofi tersebut tengah menjadikan manusia-manusia
Minangkabau memiliki karakteristik yang khas, demokratik, pembenari, dan
egalitarian. Tengok saja sosok seperti Tan Malaka yang pernah tampil sebagai
salah seorang tokoh Komintren (Komunis Internasional), tentu diilhami oleh
doktrin “alam terkembang jadi guru”. Begitu juga tokoh-tokoh seperti Hamka,
Agus Salim, Hatta, Natsir, Sjahrir, Bahder Djohan, Assaat, Halim, Sjabilal
Rasjad, dan Isa Ansyary. Mereka semua adalah Minang belaka, tetapi jadi “orang”
setelah bergumul dengan kultur lain di rantau.
Setidaknya terdapat
tiga titik kisar yang menjadi aras menggeliatnya perjalanan pemikiran Buya
Syafii. Titik kisar pertama dimulai ketika ia mengenyam pendidikan di Madrasah
Mu’allimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau. Di sinilah kali pertama
konstruksi imajiner Buya Syafii mulai terbagun. Ia sudah berani berpidato di
depan publik dan mengisi ceramah di kampung-kampung. Pun getol dalam berdebat.
Sementara titik
kisar kedua terjadi ketika ia meneruskan pelajaran ke Madrasah Mu’allimin
Yogyakarta. Di sini wawasannya semakin luas, tetapi naluri sebagai seorang
“fundamentalis” belum berubah, jika bukan semakin menguat. Bahkan sampai
belajar sejarah pada Universitas Ohio di Athens AS, paham agamanya belum
mengalami perubahan.
Virus pencerahan
yang memasuki titik kisar ketiga hadir ketika beliau singgah di ligkungan
kampus Universitas Chicago. Di sini kebangkitan intelektual dan spiritualnya
semakin meningkat. Ini adalah titik kisar ketiga dalam pemikiran keislaman,
keindonesiaan, dan kemanusiaan. Fazlur Rahman adalah sosok yang sangat membantu
Buya Syafii dalam mengembangkan pemikirannya. Kekayaan khazanah Islam klasik
dan modern dengan al-Qur’an tengah membuat titik kisar terakhir di perjalanan
Buya Syafii.
Buku ini menarik
sekali untuk dibaca. Pertautan insan Minang yang penuh dengan lika-liku
kehidupan serasa membuat kita senang membacanya. Bukan hanya perantauan
lahiriah yang ditampilkan dalam buku ini, tetapi lebih kepada perantauan
intelektual, spiritual, dan kemanusiaan. Buya Syafii berusaha menembus
sekat-sekat di antara umat manusia, merengkuh semua golongan untuk bersama
mewujudkan nilai pluralisme, kebersamaan, dan semangat saling menghormati. [*]
*) Pengelola Rumah
Pustaka FLP Ciputat.
Sumber:
Minggu, 30 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar