Judul buku: Tokaido Inn
Pengarang: Dorothy & Thomas Hoobler Penerbit: Dastan Books, Jakarta Cetakan: Pertama, Desember 2008 Tebal buku: 368 halaman
Peresensi:
N. Mursidi
|
Setiap anak yang
lahir di atas muka bumi ini, tidak pernah “ditawari” Tuhan untuk memilih siapa
kelak yang akan menjadi orang tuanya. Tidak salah, kalau Tuhan tidak pernah
membeda-bedakan suku, ras bahkan golongan umat manusia yang menghuni bumi ini.
Di mata Tuhan, “semua manusia” itu sama. Tetapi sekelompok umat manusia
kerapkali bersikap picik; membeda-bedakan sekumpulan manusia dalam tipologi
sistem kasta. Ironisnya, sistem kasta itu nyaris berlaku hampir di negara mana
pun di atas bumi ini, tidak terkecuali di negara Jepang yang pernah menganut
sistem feodalisme.
Dalam kasta Jepang,
samurai dianggap sebagai sekelompok orang yang berdarah kesatria, dan dipandang
sebagai petarung yang dianugerahi predikat kesetiaan, keberanian bahkan
kehormatan. Tak mustahil, kalau Seikei Konoike –seorang lelaki yang baru
beranjak remaja– merasa nasibnya tidak beruntung karena ia lahir dari keluarga
saudagar. Padahal, di mata Seikei, samurai adalah manusia mulia. Maka, saat
menginjak umur empat belas tahun Seikei bercita-cita ingin jadi samurai. Tetapi
sistem kasta feodalalisme masa itu berakar kuat di tengah masyarakat, dan
nyaris tak memungkinkan Seikei berpindah kasta atau mengubah nasib; dari anak
saudagar menjadi samurai.
Tetapi kecerdikan
dan keberanian Seikei –sebagaimana dikisahkan Dorothy & Thomas Hoobler
dalam novel Tokaido Inn– ternyata tak menutup kemungkinan Seikei bisa mengubah
garis nasib sebab dalam darah “sang anak saudagar itu” tertanam jiwa samurai;
berani, memegang teguh etika samurai, menjunjung kesetiaan dan kehormatan.
Keberanian yang dimiliki Seikei itulah yang kemudian menarik hati hakim Ooka,
tatkala sang hakim itu dihadapkan pada masalah pelik untuk menyelidiki
hilangnya batu rubi milik Tuan Hakuseki sewaktu menginap di penginapan (di
Tokaido). Padahal, batu berharga itu akan dihadiahkan Tuan Hakuseki kepada
Shogun.
Seikei -bersama
ayahnya- yang kebetulan menginap di penginapan tersebut, sempat memergoki si
pencuri. Meskipun Seikei mengira sosok pencuri itu adalah hantu, tetapi ia
memiliki keberanian untuk memberikan kesaksian. Hakim Ooka menangkap kejelian
Seikei, lalu mengajak anak saudagar itu melakukan penyelidikan. Petualangan
Seikei dan Hakim Ooka menemukan jejak pencuri; membawa Seikei ke jalan samurai.
Tidak saja ia diajari oleh Hakim Ooka tentang etika samurai yang harus dipegang
teguh melainkan pernah ditinggal sendirian untuk menempuh jalan berliku.
Di luar dugaan,
Seikei dapat mengendus jejak pencuri –yang tak lain adalah Tomomi (ketua
kelompok pementasan Kabuki). Dari penyelidikan yang cermat, Seikei dapat
menemukan motif di balik pencurian batu rubi itu. Tomomi yang tak lain Genji,
adalah anak daimyo Takezaki yang dulu sempat dijatuhi hukuman akibat tak mau
melepaskan kepercayaan Kirishitan, ternyata mencuri batu rubi itu karena dua
alasan; mengambil haknya lantaran batu rubi itu dulunya milik ibu Tomomi yang
dirampas Tuan Hakuseki, dan untuk balas dendam kematian ibunya yang “memilih
mati” daripada menikah dengan Tuan Hakuseki. Tak hanya itu, Tuan Hakuseki
membantai semua keluarga Takezaki Kita lalu mengambil alih kekuasaan Takezaki.
Tapi Tomomi (Genji) kecil berhasil meloloskan diri. Setelah ia menginjak
dewasa, ia pun ingin balas dendam pada Tuan Hakuseki.
Kecerdikan Seikei
dalam mengungkap kasus tersebut, akhirnya bisa mengubah garis nasibnya; dia
bisa jadi samurai. Setelah dia berhasil melewati ujian berat yang diterapkan
Hakim Ooka untuk mengikuti langkah Tomomi bersama kelompok pementasan Kabuki,
bahkan berhasil mengungkap motif di balik pencurian itu, rupanya membuat Hakim
Ooka tak menutup mata untuk mengakui keberanian Seikei yang memiliki jiwa
samurai.
Setelah Tomomi
berhasil menjebak Tuan Hakuseki untuk mendapat balasan setimpal, kemudian
Tomomi dijatuhi hukuman mati, dalam sebuah pesta minum teh bersama Shogun,
Hakim Ooka mengajukan Seikei untuk diangkat menjadi bushido. Pasalnya, di mata
Hakim Ooka, Seikei berhasil membuktikan diri tidak saja mampu menjalani ujian
yang ditempuh seorang samurai sejati tetapi Seikei memiliki keberanian,
terhormat dan setia padahal ia masih remaja.
Shogun sempat ragu
karena Seikei mengakui lahir dari keluarga saudagar. Tetapi Hakim Ooka tidak
kehilangan akal. Keraguan Shogun itu ditepis dengan mengangkat Seikei menjadi
anak angkat. Siasat Hakim Ooka mengadopsi Seikei itu praktis menjadikan “sang
anak saudagar” itu akhirnya bisa berpindah kasta; dari anak saudagar menjadi
samurai.
Novel berlatar
sejarah Jepang yang mengangkat kisah Seikei Konoike karya Dorothy & Thomas
Hoobler (sepasang suami-istri yang dikenal sebagai sejarawan) ini memang karya
fiksi. Tapi, kedua pengarang tidak menepis bahwa tokoh Hakim Ooka sepenuhnya
tidak fiksi. Sang Hakim, bahkan dikenal sebagai teman dan penasehat Yoshimune,
Shogun kedelapan keluarga Tokugawa. Kebaradaan Hakim Ooka yang cukup dikenal
dalam sejarah Jepang ini menjadikan kisah dalam Tokaido Inn ini seperti cerita
nyata. Apalagi, dalam novel ini sang pengarang mengaitkan tentang kepercayaan
Kirishitan, upacara persembahan kepada Ameterasu dan sistem kasta ala
feodalisme Jepang.
Kelebihan cerita
debutan kedua pengarang yang kini tinggal di New York ini ternyata masih
dilengkapi dengan “taburan suspense” sejak awal cerita. Juga, capaian estetis
yang dapat menjerat pembaca untuk terus membaca hingga halaman akhir. Tak
mustahil, jika novel ini –sekali pun untuk segmen remaja/pembaca muda– tetap
enak dinikmati oleh pembaca segala umur. Jurus bertutur itulah yang membuat
kedua pengarang ini –yang sudah menghasilkan lebih dari 60 buku; baik fiksi
maupun non fiksi– memiliki keunggulan tersendiri! [*]
Sumber:
Koran Jakarta, 14
Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar