Judul:
Tuck Everlasting
Peresensi:Truly Rudiono Pengarang: Natalie Babbitt Penerjemah: Mutia Dharma Penyunting: Ida Wajdi
Penerbit:
Atria
|
Di sebuah pavlium
kecil tak jauh dari sebuah rumah megah bertingkat, tampak seorang wanita
paruh baya sedang duduk dengan nyaman di sebuah sofa. Tangannya terlihat
memegang sebuah buku. Wajahnya memancarkan ketenangan. Itu dikarenakan ia
berada di tempat yang paling disukainya, perpustakaan pribadinya. Ia berada di
antara buku-buku yang dikoleksinya sejak dulu.
Setiap buku
mengandung cerita. Ia sangat menyukai saat bersantai dalam hening sambil
sesekali membuka-buka buku koleksinya. Ada yang memang dibaca ulang, namun ada
juga yang hanya dibuka sekedar karena dorongan sentimentil seorang perempuan
paruh baya belaka.
Namun keheningan
mendadak pecah oleh suara berlari beberapa orang. Perempuan itu hanya
terseyum sambil melirik jam yang ada di dinding. Rupanya ia sudah tahu
siapa yang harus .bertanggung jawab karena merusak keheningan di
perpustakaannya
Beberapa orang ABG
mendekat dengan setengah berlari.
“Maaf
Grandnie, hari ini kami terlambat. Sepulang sekolah kami melayat
orang tua seorang teman sekelas” kata seorang pemuda dengan napas
terengah-engah akibat berlari. Ia rupanya menjadi juru bicara diantara
lain lain
Perempuan paruh
baya itu hanya tersenyum simpul sambil menatap wajah-wajah yang ada
dihadapannya. Mereka adalah cucu tersayangnya dan para sahabat. Setiap hari
jumat sepulang sekolah, mereka pasti mampir ke perpustaakaan pribadi nya
untuk meminjam buku dan berdiskusi seputar dunia tulis menulis, dunia
yang belakangan menarik perhatian mereka.
”It’s ok…suatu saat
nanti juga tiba giliranku. Hidup dan mati memang harus dihadapi” jawabnya
dengan santai.
Jawabannya
membuat mereka sesaat saling menatap dengan heran.
”Grandnie, ada buku
yang berkisah tentang kehidupan dan kematian?” tanya seorang gadis muda.
Rupanya
mereka masih terbawa suasana sehabis melayat tadi.
Perlahan perempuan
paruh baya yang dipanggil Grandnie itu mendekati sebuah rak. Tangannya menyusuri
susunan buku yang ada dan berhenti di sebuah buku tipis berjudul Tuck
Everlasting. Diambil dan disodorkannya buku itu ke anak perempuan yang tadi
bertanya.
”Hah…? Ini khan
buku anak-anak Grandnie! Masak aku disuruh baca buku anak-anak” Anak perempuan
itu menunjukkan keberatannya. Maklum diusia 13 tahun mereka tidak mau
dianggap anak-anak, walau remaja juga belum.
”Kata siapa?
Buku ini berkisah tentang pilihan hidup. Apakah mau hidup abadi atau hidup
sesuai kodrat” jawab perempuan itu dengan tersenyum. Anak gadis itu menerima
dengan ragu. Matanya memancarkan rasa tak percaya sambil tangannya
membolak-balik halaman buku secara acak dengan lesu.
Melihatnya
perempuan paruh baya itu tertawa tanpa suara. Diambilnya buku yang tadi
diserahkan sambil berkata,
”Ya sudah, duduk
sana. Untuk sekali ini biar Grandnie bercerita ala pendongeng” kata
perempuan itu sambil duduk di sofa nyamannya. Seketika suasana menjadi
riuh. Anak-anak remaja itu berebutan mencari posisi yang nyaman untuk
mendengarkan cerita.
Untuk sesaat mereka
melupakan tekatnya untuk dianggap remaja. Biar bagaimana juga, dalam diri
setiap individu terdapat unsur anak-anak yang tak pernah hilang.
Perlahan, mulailah
perempuan itu bercerita…
Alkisah,
disuatu masa hiduplah seorang gadis kecil bernama Winnie Foster. Ia
merupakan anak tunggal dari sebuah keluarga yang memegang ketat
peraturan. Semuanya harus teratur dan rapi. Hidup seakan monoton baginya.
Ia bahkan tnyaris ak boleh pergi melewati pagar rumahnya. sendirian
Kadang Winnie merasa bosan dan ingin memberontak.
Suatu hari,
guna menghilangkan kejenuhannya Winnie nekat pergi keluar pagar
sendirian. Di dekat rumah kelurga Foster, terdapat sebuah hutan kecil. Tanpa
sengaja, kakinya melangkah ke dalam hutan hingga berhenti di sebuah mata air
kecil.
Disana ia bertemu
dengan seorang anak laki-laki bernama Jesse yang kelihatannya sebaya
dengannya.
Sebaya…?
Sebenarnya tidak
juga.
Winnie juga
bertemu dengan
Angus
Mae
Miles
Seluruh anggota
keluarga Tuck yang kelihatan ramah dan menghadapi hidup dengan tenang.
Tanpa sengaja,
Winnie bertemu dengan sebuah keluarga yang hidup abadi. Entah kutukan
atau anugrah. Mereka bukanlah golongan orang yang berusaha mencari obat umur
panjang apalagi obat untuk hidup abadi. Semuanya diperoleh tampa sengaja
dari kolam kecil di hutan milik keluarga Winnie.
Keluarga Tuck
sepertinya sudah bisa menberima kondisi mereka dengan lapang dada. ”Hidup harus
dijalani, tidak perduli pendek atau panjang, kau harus menerima apa yang
datang…. Kami tidak layak mendapatkan anugrah-kalau ini memang anugrah.
Dan sebaliknya, aku juga tidak melihat harus dikutuk, kalau ini memang
kutukan… dan mengeluh tidak akan mengubah apa-apa” kata Mae Tuck kepada
Winnie
Perkenalan yang
singkat mampu mengubah pandangan hidup Winnie. Winnie yang merupakan anak
tunggal menemukan sesuatu yang menarik hatinya. ”….Aku muak diperhatikan setiap
saat. Aku ingin menajdi diriku sendiri sesekali” Di rumah sederhana
keluarga Tuck, ia menemukan apa yang diimpikannya, menjadi dirinya sendiri.
Hidup dan kelahiran
bagaikan dua mata uang. Saat kita lahir, kita sudah harus mempersiapkan diri
guna menghadapi kematian, tanpa tahu entah kapan datangnya. Hal itu juga
diajarkan kepada Winnie oleh Angus Tuck.
”Aku tidak ingin
mati”,kata Winnie
”Tidak,” kata Tuck
dengan tenang.
”Tidak sekarang.
Waktumu bukan sekarang. Tetapi kematian adalah bagian dari roda itu,
peris di samping kelahiran. Kau tidak bisa memilih bagian yang tidak
kausukai dan menyisakan yang lain…..Roda itu akan terus berputar… tetapi orang
tidak akan berubah kecuali menjadi batu-batu di sisi jalan. Karena mereka tidak
akan tahu sampai sesudahnya, dan pada saat itu semuanya sudah terlambat.”
Buku ini
mengisahkan bagaimana Winnie diusia yang belia harus mengambil keputusan yang
paling berpengaruh dalam hidupnya. Menjadi abadi seperti keinginan Jesse yang
sangat disukainya atau tetap menjalani roda kehidupan seperti yang ditakdirkan.
Pelajaran bagaimana kehiduapn harus dijalani dan bagaimana kita harus
bersikap terhadap kematian bisa di peroleh dalam buku ini. Jangan meremehkan
sebuah buku, karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita dapati dari
buku itu.
Perlahan perempuan
paruh baya itu menutup buku yang tadi dibacanya dan menyerahkan kembali ke anak
perempuan yang tadi bertanya. Untuk kali ini anak perempuan itu
menerimanya dengan takjub dan membalik-balik halaman dengan mata-mata yang
berbinar kagum.
“Kalian tahu,
penulis buku ini adalah Natalie Zane Moore, dikenal dengan
nama Natalie Babbitt lahir di Dayton, Ohio, pada 28 Juli 1932 . Selain
menulis buku anak-anak, ia juga seorang ilustrator buku . Buku ini juga
sudah difilmkan. Jika kalian mau menonton, filmnya ada disebelah sana”
kata perempaun paruh baya itu sambil menunjuk sebuah rak.
Sang cucu tersayang
yang juga bertindak sebagai juru bicara, bergegas menuju rak yang
dimaksud dan mencari-cari dengan semangat. Saat film sudah didapat
diacung-acungkannya keatas bagai memamerkan sebuah piala.
“Ayo kita menonton
di rumah induk ditemani cemilan” ajaknya yang segera disambut gembira oleh yang
lain.
“Bye Grandnie, love
you” katanya sambil memeluk perempuan paruh baya itu sekilas. Yang lain juga
mengikuti sambil bergegas menuju rumah induk
Perempuan paruh
baya itu hanya tersenyum sambil memandangi mereka berlalu.
Keheningan mendadak
datang kembali. Perempuan paruh baya itu kembali mendapatkan ketenangannya
Ia kembali duduk di
sofa nyamannya ditemani sebuah buku.
Namun mendadak ia
terduduk! Telinganya seakan menangkap sebuah tawa
Tidak…! [*]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar